Menurut spesialis saraf dari RS Islam Pondok Kopi Jakarta Timur dr. Gea Pandhita, penyakit epilepsi sebenarnya tidak menimbulkan kerugian yang banyak pada lingkungan lantaran penyakit tersebut tidak menular. Penyakit lain yang sebenarnya lebih berbahaya daripada epilepsi justru dapat diterima lebih baik, hanya karena tidak memiliki stigma.
Faktanya, lanjut Gea, epilepsi juga bukan penyakit jiwa, melainkan penyakit fisik yang dialami akibat ketidaknormalan kelistrikan sekelompok sel saraf di otak (bangkitan). Seseorang dikatakan mengidap epilepsi apabila ia mengalami bangkitan berulang, berselang lebih dari 24 jam, yang timbul tanpa provokasi.
Dapat diobati
Gea menjelaskan, epilepsi sejatinya bisa diobati. Pengobatan bertujuan untuk menghindari terjadinya bangkitan, sehingga mencegah gejalanya untuk timbul. Obat-obatan epilepsi antara lain valproate, phenytoin, lamotrigrine, gabapentine, levetiracetam, oxcarbazepine, zonisamide, dan beberapa jenis obat lainnya.
Prinsip pengobatan epilepsi, tutur Gea, yaitu dimulai dengan memberikan satu jenis obat dengan dosis yang rendah. Apabila bangkitan sudah tidak timbul dalam dua tahun berturut-turut artinya dosis obat sudah adekuat sehingga tak perlu ada penambahan dosis. Namun bila bangkitan masih terjadi maka dosis obat bisa ditambahkan.
"Dan bila bangkitan masih timbul, maka perlu diberikan dosis kombinasi dua hingga tiga obat sekaligus," paparnya dalam seminar edukasi oleh RSI Pondok Kopi dan SOHO Group, Kamis (27/6/2013) di Jakarta.
Pemberian obat didasari oleh jenis gejala epilepsi, usia penyandang, dan kesesuaian reaksi obat, yaitu apabila ada reaksi alergi maka obat perlu dihentikan dan dialihkan ke jenis obat epilepsi lain.
Di samping pemberian obat, penyandang epilepsi sebaiknya menghindari bernapas pendek-pendek dan cepat, cemas, kurang tidur, dan makan tidak teratur. Hal-hal tersebut perlu dihindari guna menghindari terjadinya bangkitan.
0 komentar:
Posting Komentar