Blogger templates

Jumat, 03 Juni 2011

Identifikasi Strategi Pembelajaran Matematika dalam Menyikapi Pergeseran Paradigma dari Teacher centered ke Student centered pada Guru SMP/MTs Negeri di Kota Mataram

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Sejak dulu hingga saat ini, orang sudah sering mengungkapkan fakta tentang rendahnya minat siswa atau bahkan tingginya ketakutan siswa pada pelajaran Matematika. Hal ini merupakan salah satu dampak dari adanya kesalahan proses pembelajaran yang menyebabkan siswa yang pada dasarnya suka pada pelajaran Matematika, namun seiring waktu harus merasa jenuh karena mereka merasa terus disuapi dengan angka-angka dan merasa ketakutan karena harus berpikir keras menguras otak untuk mendapatkan jawaban dari suatu perhitungan. Fenomena lain yang juga nyata terlihat bahwa mungkin saja ada beberapa siswa dengan mudah menebak dan menemukan solusi dari suatu perhitungan matematika namun solusi tersebut mereka peroleh tanpa adanya proses mengerti.
Usaha untuk memperbaiki kesalahan proses pembelajaran matematika telah berlangsung sejak lama dan hingga kini masih berlanjut, termasuk didalamnya berkaitan dengan kurikulum pelajaran Matematika. Kurikulum pelajaran Matematika telah mengalami 5 kali pergantian, yaitu kurikulum 1975, kurikulum 1984, kurikulum 1994, suplemen kurikulum 1999, dan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang kini diganti pula dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang telah diserukan oleh pemerintah untuk diterapkan mulai tahun ajaran 2006/2007.
BAB I
Salah satu tuntutan penting KBK adalah adanya perubahan paradigma atau reorientasi terhadap proses pembelajaran dan prosedur penilaian hasil belajar.
Perubahan dari pembelajaran yang mekanistik, dan berpusat pada guru (teacher centered), serta besifat �mencekoki� (telling/transfering) ke pembelajaran yang kreatif, berdasarkan masalah real yang dekat dengan kehidupan siswa (contextual) dan berorientasi pada siswa aktif (active learning/student centered), serta mendorong siswa untuk menemukan kembali (reinvention) dan membangun (construction) pengetahuan secara mandiri (Sudiarta, 2005:330).
Karnadi (2006:1) mengungkapkan bahwa implementasi KTSP sebenarnya membutuhkan penciptaan iklim pendidikan yang memungkinkan tumbuhnya semangat intelektual dan ilmiah bagi setiap guru, mulai dari rumah, di sekolah, maupun di mayarakat. Hal ini berkaitan dengan adanya pergeseran peran guru yang semula lebih sebagai instruktur dan kini menjadi fasilitator pembelajaran.
Selanjutnya usaha perbaikan kesalahan proses pembelajaran matematika dari segi yang lebih sempit, yaitu strategi pembelajaran. Sentyasa (2003:125) menyatakan bahwa beberapa strategi dalam mengembangkan kemandirian peserta didik, antara lain dengan menerapkan CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif), belajar melalui modul dan paket belajar. Pengajaran berprogram strategi-strategi belajar tersebut dapat terlaksana apabila lembaga pendidikan, utamanya sekolah, didukung oleh bahan pustaka yang memadai dan pusat sumber belajar.
Namun dewasa ini pada umumnya strategi belajar lebih difokuskan pada penggunaan pendekatan, metode, dan media pembelajaran. Penggunaan pendekatan, metode, dan media dalam suatu kegiatan pembelajaran harus dirancang secara cermat. Guru senantiasa perlu memperhatikan karakteristik pokok bahasan, TPK (Tujuan Pembelajaran Khusus), materi, dan siswa. Kecermatan guru dalam memahami karakteristik ini sangat menentukan ketepatan pemilihan pendekatan metode dan media (Heryanto, 2001:874).
Akhir-akhir ini maraknya para peneliti dalam Penelitian Tindakan Kelas (PTK) menerapkan pembelajaran matematika dengan pendekatan CTL (Contextual Teaching and Learning), PMRI (Pembelajaran Matematika Realistik Indonesia), dan PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan).
Pembelajaran dengan pendekatan CTL harus dikemas menjadi proses �mengkonstruksi� bukan �menerima� pengetahuan. Dalam proses pembelajaran siswa membangun sendiri pengetahuan mareka melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar dan mengajar. Siswa menjadi pusat kegiatan bukan guru (Depdiknas, 2004 : 11).
PMRI merupakan pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik (pembelajaran yang dimulai dengan hal-hal nyata) yang memberikan kesempatan pada anak untuk saling bekerja sama dalam pembelajaran, jadi pembelajaran ini tidak fokus pada guru (Qozimah, 2005:3).
Hal yang biasa terdengar di telinga kita bahwa umumnya siswa takut dengan pelajaran Matematika, ketakutan siswa ini berusaha digantikan menjadi suatu hal yang menyenangkan melalui pembelajaran dengan pendekatan PAKEM. Dari hal menyenangkan diharapkan siswa mampu dengan sendirinya menjadi lebih aktif dalam pembelajaran.
Dari uraian di atas, titik kesamaan dari adanya implementasi kurikulum baru yaitu KBK dan KTSP yang saat ini sedang gencar diterapkan di sekolah-sekolah serta maraknya penerapan pendekatan-pendekatan baru pada pelajaran Matematika adalah usaha untuk mengubah paradigma (reorientasi) pembelajaran matematika dari teacher centered ke student centered. Akibatnya, para guru matematika memiliki tugas berat untuk menerapkan perubahan paradigma pembelajaran ini.
Guru matematika harus pintar memilih dan menerapkan strategi-strategi pembelajaran matematika yang sesuai dengan kondisi siswa di kelas, khususnya siswa yang duduk di bangku SMP/MTs. Anak-anak SMP/MTs pada umumnya masih memiliki sifat kekanak-kanakan karena peralihan dari SD (Sekolah Dasar). Guru di SMP/MTs tidak hanya dituntut mempunyai kemampuan mengajar yang baik tetapi juga kemampuan merancang dan mengelola pembelajaran. Itu berarti penguasaan terhadap bidang ajaran (subject matter) bukan lagi menjadi tekanan utama. Sebaliknya bagaimana mengelola kelas dan mengemas bahan ajar secara menarik sehingga dapat merangsang minat belajar siswa.
Untuk Provinsi Nusa Tenggara Barat, diharapkan kota Mataram yang dikenal sebagai kota pendidikan sekaligus Ibu Kota Nusa Tenggara Barat telah mampu menemukan dan menerapkan strategi-strategi pembelajaran matematika untuk menyikapi perubahan paradigma ini.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji dan meneliti masalah ini dengan mengambil judul penelitian �Identifikasi Strategi Pembelajaran Matematika dalam Menyikapi Pergeseran Paradigma dari Teacher centered ke Student centered pada Guru SMP/MTs Negeri di Kota Mataram�.

1.2 Fokus Penelitian
Untuk memperoleh kedalaman studi dalam konteksnya, maka situasi sosial yang ditetapkan sebagai tempat penelitian adalah SMPN 1 Mataram, SMPN 2 Mataram, SMPN 6 Mataram, SMPN 15 Mataram, dan MTsN 1 Mataram.
Situasi sosial yang diambil dalam penelitian ini adalah single social situation yaitu satu situasi sosial yang terdiri atas satu orang, dengan aktivitas tertentu dan tempat tertentu, sehingga subyek penelitian yang diambil adalah satu orang guru untuk masing-masing situasi sosial yang telah ditetapkan.
Untuk mempertajam penelitian, peneliti menetapkan fokus penelitian (batasan masalah). Fokus penelitian ditetapkan berdasarkan teori-teori dan referensi yang telah ada. Adapun Fokus penelitian diarahkan pada :
1. Pengetahuan guru SMPN 1 Mataram, SMPN 2 Mataram, SMPN 6 Mataram, SMPN 15 Mataram, dan MTsN 1 Mataram tentang pembelajaran student centered.
2. Perencanaan pembelajaran student centered yang disiapkan oleh guru SMPN 1 Mataram, SMPN 2 Mataram, SMPN 6 Mataram, SMPN 15 Mataram, dan MTsN 1 Mataram.
3. Proses pelaksanaan pembelajaran student centered yang dilakukan oleh guru SMPN 1 Mataram, SMPN 2 Mataram, SMPN 6 Mataram, SMPN 15 Mataram, dan MTsN 1 Mataram.
4. Teknik penilaian pembelajaran student centered yang diterapkan oleh guru SMPN 1 Mataram, SMPN 2 Mataram, SMPN 6 Mataram, SMPN 15 Mataram, dan MTsN 1 Mataram.

1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan fokus penelitian yang ditetapkan tersebut, maka masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut.
1. Bagaimana pengetahuan guru SMPN 1 Mataram, SMPN 2 Mataram, SMPN 6 Mataram, SMPN 15 Mataram, dan MTsN 1 Mataram tentang pembelajaran student centered?
2. Bagaimana perencanaan pembelajaran student centered yang disiapkan oleh guru SMPN 1 Mataram, SMPN 2 Mataram, SMPN 6 Mataram, SMPN 15 Mataram, dan MTsN 1 Mataram?
3. Bagaimana proses pelaksanaan pembelajaran student centered yang dilakukan oleh guru SMPN 1 Mataram, SMPN 2 Mataram, SMPN 6 Mataram, SMPN 15 Mataram, dan MTsN 1 Mataram, khususnya metode, pendekatan, dan media yang digunakan dalam pembelajaran serta bagaimana keaktifan siswa?
4. Bagaimana teknik penilaian pembelajaran student centered yang diterapkan oleh guru SMPN 1 Mataram, SMPN 2 Mataram, SMPN 6 Mataram, SMPN 15 Mataram, dan MTsN 1 Mataram?

1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi strategi pembelajaran matematika menyikapi pergeseran paradigma dari teacher centered ke student centered pada guru SMP/MTs Negeri di Kota Mataram. Namun secara spesifik tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui :
1. Pengetahuan guru SMPN 1 Mataram, SMPN 2 Mataram, SMPN 6 Mataram, SMPN 15 Mataram, dan MTsN 1 Mataram tentang pembelajaran student centered.
2. Perencanaan pembelajaran student centered yang disiapkan oleh guru SMPN 1 Mataram, SMPN 2 Mataram, SMPN 6 Mataram, SMPN 15 Mataram, dan MTsN 1 Mataram.
3. Proses pelaksanaan pembelajaran student centered yang dilakukan oleh guru SMPN 1 Mataram, SMPN 2 Mataram, SMPN 6 Mataram, SMPN 15 Mataram, dan MTsN 1 Mataram. khususnya metode, pendekatan, dan media yang digunakan dalam pembelajaran serta bagaimana keaktifan siswa.
4. Teknik Penilaian pembelajaran student centered yang diterapkan oleh guru SMPN 1 Mataram, SMPN 2 Mataram, SMPN 6 Mataram, SMPN 15 Mataram, dan MTsN 1 Mataram.

1.5 Manfaat Penelitian
Bila tujuan penelitian ini dapat tercapai, maka hasil penelitian akan memiliki manfaat teoritis dan praktis.
1.5.1 Manfaat teoritis
Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah untuk menambah corak ilmu pengetahuan khususnya dalam profesi keguruan pada aspek strategi pembelajaran matematika. Penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan atau referensi untuk penelitan lebih lanjut.
1.5.2 Manfaat praktis
Bila proses perencanaan, pelaksanaan, dan teknik penilaian pembelajaran student centered yang dilakukan oleh guru SMPN 1 Mataram, SMPN 2 Mataram, SMPN 6 Mataram, SMPN 15 Mataram, dan MTsN 1 Mataram telah ditemukan, maka akan bermanfaat untuk :
a) Guru
Sebagai masukan mengenai strategi pembelajaran matematika dalam rangka menyikapi pergeseran paradigma dari teacher centered ke student centered bagi guru matematika SMP/MTs khususnya guru yang masih menggunakan strategi pembelajaran teacher centered.

b) FKIP
Dapat dijadikan acuan dalam mempersiapkan lulusan yang berkompeten dan dapat lebih banyak membekali lulusannya dengan pengetahuan tentang strategi pembelajaran matematika yang student centered.
c) Mahasiswa
Agar mahasiswa calon guru khususnya mahasiswa FKIP program studi pendidikan matematika dapat lebih mempersiapkan diri menghadapi tantangan yang lebih besar yang berkaitan dengan penerapan strategi pembelajaran menyikapi perubahan paradigma pembelajaran matematika dari teacher centered ke student centered.
d) Peneliti
Peneliti memperoleh pengetahuan mengenai strategi pembelajaran matematika student centered serta dapat melihat langsung bagaimana implementasinya.
e) Lembaga penelitian
Bagi lembaga penelitian maupun perorangan dapat dijadikan titik tolak dalam melakukan penelitian lanjutan mengingat keterbatasan dalam penelitian ini.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Strategi Pembelajaran Matematika
Sudjana (2000:6) mengungkapkan bahwa pembelajaran adalah upaya pendidik untuk membantu peserta didik melakukan kegiatan belajar. Dalam pembelajaran guru menciptakan kondisi-kondisi atau mengatur lingkungan sedemikian rupa sehingga terjadi interaksi antara murid dengan lingkungan, guru, alat pelajaran dan sebagainya sehingga tercapai tujuan pelajaran yang ditentukan.
Sedangkan menurut Aqib (2002:41), pembelajaran adalah upaya mengorganisasi lingkungan untuk menciptakan kondisi belajar siswa.
Winataputra (1997:2) mengungkapkan bahwa pembelajaran merupakan sarana untuk memungkinkan terjadinya proses belajar dalam arti perubahan perilaku individu melalui proses yang diciptakan dalam rancangan proses pembelajaran. Pembelajaran harus melahirkan proses belajar melalui berbagai aktivitas yang sengaja dirancang untuk mencapai tujuan tertentu.
Hamzah (2006:145) mengemukakan bahwa dalam strategi pembelajaran menjelaskan komponen umum suatu perangkat material pembelajaran dan mengembangkan materi secara prosedural yang berdasarkan karakteristik siswa. Strategi pembelajaran merupakan hasil nyata yang digunakan untuk mengembangkan material pembelajaran, menilai material yang ada, merevisi material, dan merencanakan kegiatan pembelajaran.
Strategi pembelajaran dapat diartikan sebagai perencanaan yang berisi tentang rangkaian kegiatan yang didesain untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Ada dua hal yang patut dicermati dari pengertian di atas. Pertama, strategi pembelajaran merupakan rencana tindakan (rangkaian kegiatan) termasuk penggunaan metode atau pemanfaatan berbagai sumber daya/kekuatan dalam pembelajaran. Ini berarti penyusunan suatu strategi baru sampai pada proses penyusunan rencana kerja belum sampai pada tindakan. Kedua, strategi disusun untuk mencapai tujuan tertentu. Artinya arah dari semua keputusan penyusunan strategi adalah pencapaian tujuan. Dengan demikian penyusunan langkah-langkah pembelajaran, pemanfaatan berbagai fasilitas dan sumber belajar semuanya diarahkan dalam upaya pencapaian tujuan. Oleh sebab itu, sebelum menetapkan strategi, perlu dirumuskan tujuan yang jelas yang dapat diukur keberhasilannya, sebab tujuan adalah rohnya dalam implementasi suatu strategi (Sanjaya, 2007:124).
Sedangkan menurut Ahmadi (2005:12) strategi berarti pilihan pola belajar mengajar yang diambil untuk mencapai tujuan secara efektif.
Mengadopsi definisi-definisi di atas dalam pembelajaran matematika, berarti strategi pembelajaran matematika adalah upaya pendidik dalam mengorganisasi baik dalam merencanakan berupa penggunaan pendekatan, metode, dan sumber daya pembelajaran yang berdasarkan karakteristik siswa maupun dalam mengembangkan, menilai, dan merevisi material pembelajaran matematika yang sengaja dirancang untuk mencapai tujuan pelajaran Matematika secara efektif.
2.2 Perubahan Paradigma dalam Pembelajaran Matematika
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, paradigma adalah kerangka berpikir atau model dalam teori ilmu pengetahuan. Sesuai dengan definisi tersebut, tentunya orang-orang yang bergelut di bidang pendidikan menginginkan adanya suatu kerangka berpikir yang dapat dijadikan model (paradigma) baru untuk meningkatkan kualitas pembelajaran khususnya pelajaran Matematika karena memang belajar maupun mengajar matematika tidaklah mudah.
Perubahan paradigma ini tentunya memiliki latar belakang yang perlu kita ketahui khususnya bagi guru matematika maupun kalangan pendidikan matematika lainnya. Dengan memahami secara memadai latar belakang perlunya dilakukan perubahan paradigma pembelajaran matematika maka diperoleh semangat positif dalam mengembangkan model dan strategi pembelajaran yang sesuai dan berdampak pada kualitas pembelajaran matematika di kelas serta berdampak positif pula terhadap sikap, minat, apresiasi, dan prestasi siswa dalam pelajaran Matematika.
Menurut Sudiarta (2005:321), dari hasil penelitiannya terdapat 4 dasar pemikiran perubahan paradigma dalam pembelajaran matematika yang dapat dijadikan latar belakang munculnya paradigma baru dalam pendidikan matematika, khususnya latar belakang perlunya perubahan dalam pembelajaran matematika yaitu dasar faktual, dasar filosofis, dasar metodologis, dan dasar kurikulum.

1. Dasar Faktual
Selama ini orang lebih memperhatikan tentang rendahnya prestasi belajar matematika siswa yang ditunjukkan dengan angka-angka, namun sangat jarang orang mencermati bagaimana proses pembelajaran matematika sehingga terjadi rendahnya prestasi belajar matematika siswa tersebut.
Proses pembelajaran matematika sangat bergantung pada kualitas pembelajaran di sekolah dan fakta yang ditemukan bahwa kualitas pembelajaran matematika di sekolah masih rendah karena pembelajaran matematika di kelas pada umumnya masih dengan rutinitas yang sama yaitu kegiatan yang diawali dengan penjelasan konsep yang diperjelas dengan contoh, kemudian dilanjutkan dengan latihan soal-soal matematika, sehingga tak jarang ditemukan banyak siswa yang merasa kesulitan ketika disuruh menyelesaikan soal yang berbeda dengan contoh yang diberikan oleh guru.
Kesulitan yang dirasakan oleh siswa dipengaruhi oleh penyajian masalah matematika dalam bentuk tertutup yaitu masalah (soal) matematika yang dirumuskan hanya memiliki satu jawaban yang benar dan satu cara pemecahan. Fakta ini menuntut adanya perubahan dalam pembelajaran sehingga pembelajaran matematika tidak berkutat hanya pada penyampaian masalah tertutup namun lebih kepada pembelajaran yang benar-benar memberikan kekuatan lebih besar kepada siswa sehingga ide-ide yang telah ada dalam pikiran mereka dapat dijadikan konsep yang lebih bermakna.
Dengan adanya perubahan dalam pembelajaran matematika, diharapkan siswa memiliki kemampuan berpikir sesuai dengan enam jenjang kognitif yang dikemukakan oleh Bloom yaitu : 1) tahap pengetahuan, berupa kemampuan mengerjakan algoritma rutin; 2) tahap pemahaman, berupa pemahaman konsep, prinsip, aturan, generalisasi, dan struktur matematika; 3) tahap aplikasi, berupa kemampuan untuk memilih, menggunakan, dan menerapkan dengan tepat suatu teori atau cara pada situasi baru; 4) tahap analisis, berupa kemampuan untuk menguraikan suatu masalah (soal) menjadi bagian-bagian yang lebih kecil serta mampu untuk memahami hubungan di antara bagian-bagian tersebut; 5) tahap sintesis, berupa kemampuan untuk menyusun kembali elemen masalah dan merumuskan suatu hubungan dalam penyelesaiannya; 6) tahap evaluasi, berupa kemampuan untuk mendapatkan pertimbangan terhadap suatu situasi, ide, dan metode berdasarkan suatu patokan atau kriteria.
Tak hanya dari segi kognitif, perubahan pembelajaran matematika juga diharapkan dapat meningkatkan ranah kognitif maupun afektif siswa sehingga pembelajaran dapat berlangsung secara interaktif.

2. Dasar Filosofis
Cara pandang atau persepsi terhadap suatu hal sangat mempengaruhi perlakuan atau interaksi seseorang dengan hal tersebut. Begitu juga dengan cara pandang atau persepsi terhadap matematika. Proses penyusunan kurikulum matematika (isi, pendekatan, strategi, dan prosedur evaluasi pembelajaran) dan pembelajaran matematika di kelas dipengaruhi oleh cara pandang atau persepsi terhadap matematika. Secara historis dan filosofis, ada beberapa cara pandang matematika yang dikemukakan oleh para ahli pendidikan yang berdampak pada terbentuknya metode dan perlakuan terhadap siswa dalam pembelajaran matematika.
Ada beberapa cara pandang matematika yang sejalan dengan kaum behavioristik yang memunculkan adanya pembelajaran teacher centered, antara lain the platonic view yaitu pandangan yang berasumsi bahwa matematika cenderung hanya cocok untuk orang berbakat saja, jadi bagi orang yang tidak memiliki bakat tersebut akan sia-sia saja usaha mereka untuk memahami palajaran matematika.
Pandangan the platonic view senada dengan the instrumentalist view, yang memandang matematika itu sebuah keranjang alat-alat (a bag of tools) yang terdiri atas kumpulan prosedur dan teknik menghitung atau a body of computational rules and prosedure (Resnick dalam Sudiarta, 2005:325). Implikasi pandangan ini adalah dominannya pembelajaran matematika yang menekankan penguasaan fakta-fakta, prosedur, dan teknik-teknik atau algoritma rutin matematika, sehingga pembelajaran sering direduksi menjadi training dan drill rutin mengerjakan soal matematika. Hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa sejak lama pembelajaran matematika di sekolah-sekolah didominasi oleh metode pembelajaran yang diilhami oleh pandangan tersebut di atas.
Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan muncullah beberapa pandangan yang barlawanan dengan pandangan tadi yaitu pandangan yang memposisikan siswa sebagai pusat pembelajaran (student centered) yang memiliki seperangkat konsep alternatif tentang ide-ide matematika yang mempengaruhi belajar selanjutnya. pandangan-pandangan tersebut antara lain the problem solving view, yang memposisikan matematika itu bukan sebagai pengetahuan akhir, tetapi sebagai continually expanding field of human creation and invention (Ernest dalam Sudiarta, 2005:326). Pandangan inilah yang mengilhami perubahan pendekatan pembelajaran konvensional menjadi pembelajaran berpendekatan pemecahan masalah.
Pandangan the problem solving view sebenarnya bukanlah suatu yang baru, paling tidak secara historis dan filosofis, pernah diwakili oleh filosuf idealis seperti George Berkeley (1753), Immanuel Kant (1780), namun sekitar awal tahun 1970-an pandangan ini muncul lagi dalam bentuk constructivism dan mendapat sambutan luas di dunia pendidikan.
Esensi dari pandangan konstruktivisme adalah bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan apabila itu dimungkinkan informasi itu menjadi milik mereka sendiri (Depdiknas, 2004:11) sehingga kontruktivisme ini mengilhami terjadi pergeseran paradigma dalam pendidikan matematika, terutama di negara-negara barat seperti Belanda dan Jerman. Belanda dengan bendera Realistic Mathematics dan Jerman dengan bendera Cognitive Mathematics sama-sama mengklaim bahwa pelajaran Matematika merupakan human activity baik mental maupun fisik berdasarkan real life yang dapat dilakukan oleh semua orang.

3. Dasar Metodologis
Karena mengajar matematika tidaklah mudah, maka diperlukan suatu pedoman dalam mengajar matematika yang benar-benar menjadikan siswa mengalami apa yang dialami bukan hanya �mengetahui�nya. Para ahli atau peneliti dalam bidang matematika berpendapat bahwa tidak cukup mengandalkan teori psikologi atau metode-metode umum dalam ilmu psikologi sebagai pedoman dalam mengajar matematika. Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa tidak selamanya teori sejalan dengan kenyataan yang ada, walaupun teori tersebut terbentuk dari adanya penelitian terhadap suatu kenyataan.
Melihat kenyataan tersebut sudah seharusnya disediakan �ilmu psikologi khusus� sebagai cabang ilmu yang mewadahi penelitian pendidikan yang �menyentuh� substansi matematika itu sendiri. Sebagai contoh, tidaklah cukup mengatakan bahwa metode belajar tertentu, metode kartu kerja misalnya, dapat meningkatkan prestasi belajar matematika tanpa menyentuh dan menguraikan apa konsep matematika yang dituangkan dalam lembaran kartu kerja tersebut, mengapa konsep matematika tersebut dituangkan dalam lembaran kartu kerja, dan bagaimana implementasi konsep matematika itu dituangkan dalam kartu kerja tersebut.
Dengan adanya dasar filosofi yang berupa pandangan-pandangan tentang matematika seperti yang telah diuraikan di atas, memunculkan pertanyaan implikasi metodologis yaitu pendekatan dan metode pembelajaran apa yang sesuai untuk masing-masing cara pandang atau persepsi terhadap matematika tersebut. Jika matematika itu di pandang sebagai proses konstruksi human thinking (konstruktivisme) maka pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan paradigma pembelajaran saat ini yaitu CTL (Contextual Teching and Learning) dan PMRI (Pembelajaran Matematika Realistik Indonesia) yang diadopsi dari RME (Realistic Mathematic Education) yang dibentuk dan dikembangkan oleh Belanda.

4. Tuntutan Kurikulum
Amerika dengan NCTM-nya (National Council of Teachers of Mathematics) dapat dipandang sebagai kiblat reformasi dan inovasi pembangunan kurikulum matematika sedunia. Sejak Agenda For Action (1980) diluncurkan, NCTM merekomendasikan bahwa problem solving menjadi fokus pendidikan dan pembelajaran matematika. Walaupun agak terlambat kini diadopsi dengan baik dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang telah diujicobakan dan dikembangkan di Indonesia sejak tahun 2001. Namun sejak tahun 2006 pemerintah Indonesia telah mengembangkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Baik KBK maupun KTSP menuntut adanya perubahan paradigma terhadap proses pembelajaran dan prosedur penilaian hasil belajar siswa, namun dalam KTSP guru diharapkan dapat lebih kreatif dan inovatif dalam mengembangkan bahan ajar sesuai kebutuhan sekolah.

2.3 Paradigma Pembelajaran dari Teacher centered ke Student centered
Sebelum munculnya istilah pembelajaran teacher centered, telah sering terdengar istilah-istilah seperti pembelajaran konvensional atau pembelajaran teacher oriented. Seperti yang diungkapkan oleh Wicaksono (2007:1) bahwa pada dasarnya, ketiga bentuk pembelajaran yaitu pembelajaran teacher centered, teacher oriented maupun pembelajaran konvensional merupakan model pembelajaran kaum behavioristik.
Wicaksono (2007:1) dalam artikelnya mengungkapkan bahwa kalangan behaviorist berasumsi bahwa : 1) Proses belajar dapat berlangsung dengan tanpa mempertimbangkan potensi-potensi yang dimiliki peserta didik. Potensi peserta didik hanya menentukan tingkat kecepatan perubahan perilaku sebagai hasil belajar; 2) Proses belajar dapat berlangsung tanpa mempertimbangkan kesadaran dan kemauan peserta didik.
Wicaksono (2007:1) juga mengungkapkan bahwa kaum behaviorist ini mengembangkan sebuah model pembelajaran teacher centered. Tujuan Pembelajaran ditentukan oleh pengajar atau institusi, peserta didik tidak perlu punya kehendak sendiri. Segala macam potensi peserta didik harus diarahkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan yang implikasinya sebagai berikut :
� Materi pelajaran hanya ditentukan oleh institusi dan pengajar. Pengajar aktif menerangkan materi pelajaran, peserta didik hanya memasukkan materi tersebut ke dalam otaknya. Setelah periode tertentu dilakukan evaluasi berupa menjawab soal-soal yang berasal dari materi yang diterangkan tadi. Bisa dikatakan, guru telah menjadi satu-satunya sumber belajar peserta didik.
� Model reward dan punishment merupakan satu-satunya cara untuk merangsang motivasi belajar. Pengkondisian ini harus diakui cukup berhasil. Pengejaran tersebut seolah telah menjadi tujuan belajar itu sendiri. Mereka telah melupakan bahwa belajar adalah untuk mengembangkan segala potensi diri dan memperoleh keterampilan untuk hidup mereka kelak.
� Tak jarang menjadikan peserta didik sebagai alat mencapai kebanggaan institusi. Salah satu kriteria untuk disebut sekolah unggul adalah jika sebagian besar besar lulusannya memperoleh Danem tinggi. Untuk mencapai itu, kebanyakan sekolah-sekolah kita memberi pelajaran tambahan untuk latihan mengerjakan soal-soal yang di-UAN-kan. Akibatnya, segala potensi, kemauan, dan waktu peserta didik terserap ke sini.
Dewasa ini, telah banyak penelitian yang mengungkapkan perlunya bahkan suatu keharusan untuk mengubah paradigma pembelajaran dari teacher centered ke student centered.
�Pembelajaran student centered (student centered learning) merupakan pembaharuan metode pembelajaran konvensional teacher centered learning� (UNAS, 2004:1).
Sentyasa (2003:126) menarik kesimpulan sebagai berikut :
�Dalam rangka mengatasi kelemahan-kelemahan pendidikan esensialis dan behavioristik, sistem pendidikan hendaknya menerapkan paradigma pendidikan progresif futuristik. Terdapat tiga pilar utama pendidikan progresif. Pertama, pendidikan berpusat pada anak. Pendidikan ini akan mengembangkan kemampuan individu, kreatif, mandiri, dan mengembangkan secara optimal potensi anak-anak ...�

Sapaat (2002:1) menegaskan bahwa situasi pembelajaran yang student centered menuntut guru agar lebih proaktif dalam membantu perkembangan belajar siswa dengan menjadi fasilitator.
Lebih lanjut Soenardiyanto (2004:17) menuliskan dalam penelitiannya:
�untuk menyediakan dan memperkaya pengalaman belajar peserta didik, pembelajaran di sekolah harusnya berubah dari yang teacher centered menjadi yang student centered. Permasalahan tersebut membutuhkan suatu solusi yang konkret ... adalah dengan meningkatkan mutu proses belajar mengajar, antara lain dengan menerapkan metode-metode belajar yang lebih memberikan kesempatan kepada siswa untuk menggunakan semua potensi yang dimiliki dengan paradigma pembelajaran baru. Pembelajaran yang menggunakan paradigma baru tersebut adalah pembelajaran kontekstual (contextual learning) (Depdiknas, 2002:1)�.

Gizi Penting Ibu Hamil

Kehamilan sebagai anugerah harus direncanakan dan dijalankan dengan baik. Apa yang dimakan si ibu akan menentukan perkembangan janin yang dikandungnya. Bagi Anda kaum ibu, sudahkah menjalankan kehamilan yang sehat?
Makanan merupakan salah satu aspek esensial menuju kehamilan yang sehat. Pasalnya, makanan yang dikonsumsi sebelum dan selama hamil akan berperan mempersiapkan tubuh dalam menunjang pertumbuhan janin. "Makanan yang baik merupakan awal bagi pertumbuhan janin yang sehat," ujar spesialis kebidanan dan kandungan dari FKUI/RSCM Jakarta,Dr dr Dwiana Ocviyanti SpOG(K), dalam seminar awam tentang kehamilan yang diselenggarakan Frisian Flag di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Ibu hamil (bumil) menanggung hidup janin dalam perutnya, sehingga kebutuhan gizinya pun berbeda dengan wanita dewasa umumnya. Selain untuk tumbuh kembang janin, asupan gizi diperlukan untuk mempertahankan kesehatan dan kekuatan badan ibu sendiri.

"Kegunaan lainnya adalah supaya luka-luka persalinan lekas sembuh dalam masa nifas (40 hari setelah melahirkan), dan sebagai cadangan untuk masa menyusui," papar nutrisionis dari PERSAGI (Persatuan Ahli Gizi Indonesia), Marzuki Iskandar STP MTP.

Perlunya penambahan zat gizi bagi bumil ini juga terkait dengan beragam perubahan yang terjadi manakala hamil. Antara lain tumbuhnya plasenta, rahim membesar, adanya cairan ketuban, meningkatnya volume darah, payudara membesar, serta penimbunan lemak.



Selama hamil, kebutuhan energi, protein, dan mineral pun meningkat. Untuk itu, bumil harus makan-makanan yang baik untuk berdua (dirinya dan janin). Asupan jumlah kalori ekstra diupayakan memenuhi 300 kalori per hari, dari makanan yang mengandung protein, karbohidrat, lemak, vitamin, mineral, dan air.

"Ukuran 300 kalori ini setara dengan dua gelas susu. Sebaiknya juga tidak terlalu banyak mengonsumsi kue atau cake, karena isinya hanya kalori, bukan zat gizi. Makanlah yang bervariasi, dengan nutrisi seimbang," saran Dwiana Ocviyanti atau yang akrab disapa Ovy.

Adapun beberapa nutrisi esensial selama masa kehamilan di antaranya zat besi, asam folat, kalsium, dan vitamin D. Zat besi penting untuk produksi sel darah merah sekaligus pencegahan anemia. Pilihan terbaik adalah pada daging merah tanpa lemak dan bayam.

Asam folat yang terkandung dalam sayuran berdaun hijau, buah dan sayuran berwarna kuning gelap, kacang merah, kacang polong, dan kacang tanah, dibutuhkan untuk produksi darah dan protein, enzim efektif, serta mencegah kecacatan janin.

Sementara kalsium dan vitamin D dibutuhkan untuk gigi dan tulang yang kuat, penyerapan kalsium, serta kontraksi otot rahim. Sumber terbaik kalsium dapat ditemui pada susu, keju, yoghurt, dan bayam. Adapun vitamin D bisa didapat dari paparan sinar matahari pagi sebelum jam 10 dan makanan dengan tambahan zat gizi. Jadi, alangkah baiknya bila bumil rajin beraktivitas ringan seperti jalan kaki di pagi hari sambil bermandikan hangatnya mentari pagi.

Santapan lainnya yang harus ada dalam daftar menu adalah buah dan sayur. Selain tinggi vitamin dan mineral, juga kaya serat dan asam folat. Sehingga, diharapkan bumil mengonsumsi sayur dan buah setidaknya lima porsi per hari.

Nah, tak kalah penting adalah asupan cairan. Gunanya untuk proses pembuangan dan mencegah sembelit. Jika bumil kurang minum juga dapat memicu keinginan untuk muntah. Untuk itu, dianjurkan minum air putih minimal delapan gelas per hari. "Hindari minuman instan yang banyak mengandung gula. Pilih jus dari buah segar saja. Kalaupun ingin minum softdrink atau kopi, batasi jangan lebih dari satu gelas per hari," saran Ovy.

Selain kopi, bumil sebaiknya juga menghindari konsumsi alkohol, susu yang belum dipasteurisasi, telur mentah, daging olahan, makanan tinggi lemak,dan gula. Daging dan aneka seafood yang masih mentah atau dimasak setengah matang juga kurang baik. Pasalnya, banyak seafood di pasar atau restoran yang diambil dari laut yang telah tercemar limbah.

"Sayuran dan buah juga bisa tercemar pestisida sehingga perlu dicuci bersih dengan air mengalir atau disertai cairan khusus pencuci buah dan sayur," imbuhnya.


Sumber: www.lifestyle.okezone.com

Kamis, 02 Juni 2011

Penerapan Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik dengan metode Preview-Question-Read-Reflect-Recite-Review (PQR4) untuk meningkatkan aktivitas dan prestasi belajar siswa pada pembelajaran pokok bahasan bilangan pecahan di kelas VII

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Informasi yang diperoleh melalui observasi dan wawancara dengan Ibu Aminah selaku guru mata pelajaran matematika kelas VII SMP Negeri 13 Mataram, bahwa di dalam mengajar sering menggunakan metode ekspositori. Pada kondisi ini, siswa cenderung menghafal contoh-contoh yang diberikan oleh guru tanpa terjadi pembentukan konsep yang benar pada struktur kognitif siswa. Hal ini juga akan berdampak pada perilaku siswa yang kurang percaya diri baik dalam bertanya, menyampaikan ide maupun dalam proses pemecahan masalah yang dihadapi. Bagi siswa, belajar matematika hanya pada saat akan menghadapi ulangan atau ujian dan terlepas dari masalah nyata dalam kehidupan sehari-hari sehingga pelajaran matematika dirasakan tidak bermanfaat, tidak menarik, dan membosankan yang akhirnya akan bermuara pada rendahnya prestasi belajar matematika siswa. Rendahnya prestasi belajar matematika siswa kelas VII SMP Negeri 13 Mataram dapat dilihat dari hasil ulangan harian kelas VII semester I tahun ajaran 2007/2008 pada tabel 1.1 sebagai berikut.


Tabel 1.1 Nilai Ulangan harian kelas VII semester 1 tahun ajaran 2007/2008
No Kelas Jumlah Siswa Nilai Rata�rata Kelas
1 VIIA 38 60,65
2 VIIB 38 61,34
3 VIIC 38 58,74
4 VIID 38 60,23
(Sumber : Daftar nilai guru matematika)
Berdasarkan pengalaman mengajar Ibu Aminah sebelum tahun ajaran 2007/2008, materi yang dianggap paling rendah penguasaannya bagi siswa kelas VII yaitu bilangan pecahan. Walaupun materi ini telah dipelajari siswa di Sekolah Dasar (SD), namun pada kenyataannya siswa belum menguasai materi tersebut. Hal ini dapat dilihat pada tabel 1.2 berikut.

Tabel 1.2 Rata-rata nilai matematika per pokok bahasan kelas VII semester I tahun ajaran 2006/2007
Kelas Pokok bahasan
Bilangan bulat Bilangan pecahan Aljabar dan Aritmetika SPLV Perbandingan
VIIA 62,40 52,02 60,25 60,00 61,54
VIIB 63,33 51,45 61,29 60,75 59,85
VIIC 60,25 50,44 60,37 59,45 60,50
(sumber: daftar nilai guru matematika)
Pada saat observasi terlihat ada potensi siswa untuk berpartisipasi aktif dalam pembelajaran matematika. Hal ini terlihat dari antusiasme siswa dalam mengerjakan soal-soal yang berkaitan dengan materi yang diajarkan. Potensi tersebut dapat dikembangkan oleh guru dengan memilih pendekatan, strategi, metode dan model pembelajaran yang tepat. Menurut Sudjana (1989:73), tinggi rendahnya kegiatan belajar siswa juga dipengaruhi oleh model pembelajaran yang digunakan oleh guru. Selain pemilihan model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik materi yang diperlukan juga pemilihan alat peraga yang tepat untuk mengurangi sifat abstrak dari objek matematika. Hal ini diharapkan dapat memberikan sumbangan untuk meningkatkan prestasi belajar matematika siswa.
Untuk mengatasi permasalahan di atas, dapat disikapi melalui suatu tindakan berupa penerapan pendekatan pendidikan matematika realistik dengan metode Preview-Question-Read-Reflect-Recite-Review (PQR4). Pendidikan matematika realistik (PMR) diadopsi dari kata Realistic Mathematic Education (RME). Pada konsep PMR, pengembangan suatu konsep matematika dimulai dari siswa secara mandiri berupa kegiatan eksplorasi sehingga memberikan peluang pada siswa untuk berkreasi mengembangkan pemikirannya. Pengembangan konsep berawal dari pengalaman siswa dan siswa menggunakan strateginya masing-masing dalam memperoleh suatu konsep. Guru diharapkan tidak tergesa-gesa menyampaikan pemikirannya kepada siswa tentang suatu hal yang dibahas. Bila suatu materi dirasa sulit, maka siswa dapat membentuk kelompok kecil, sehingga tejadi negosiasi antar siswa dalam mendiskusikan materi tersebut. Peranan guru hanya sebagai fasilitator atau pendamping yang akan meluruskan arah pemikiran siswa, jika tidak mengarah pada konsep yang akan dibangun. Pembelajaran berpendekatan PMR dengan metode PQR4 diharapkan dapat membantu siswa mengatasi kesulitan dalam mempelajari pokok bahasan bilangan pecahan. Disamping itu, memudahkan guru untuk memperbaiki cara berfikir dan keterampilan komunikasi siswa serta dapat mengoptimalkan keterlibatan siswa dalam pembelajaran. Pada kondisi ini, diharapkan materi yang dipelajari siswa akan melekat untuk waktu periode yang lebih lama.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti mengadakan penelitian tindakan kelas yang berjudul Penerapan Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik dengan metode Preview-Question-Read-Reflect-Recite-Review (PQR4) untuk meningkatkan aktivitas dan prestasi belajar siswa pada pembelajaran pokok bahasan bilangan pecahan di kelas VII.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: �Apakah dengan penerapan pendekatan Pendidikan Matematika Realistik dengan metode PQR4 dapat meningkatkan aktivitas dan prestasi belajar siswa pada pembelajaran pokok bahasan bilangan pecahan di kelas VII SMP Negeri 13 Mataram tahun ajaran 2007/2008?�.

C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan aktivitas dan prestasi belajar siswa kelas VIIC tahun ajaran 2007/2008 melalui penerapan Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik dengan metode PQR4 pada pembelajaran pokok bahasan bilangan pecahan.





E. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat penelitian ini sebagai berikut :
1. Bagi Siswa, dapat merangsang kemampuan berfikir siswa dalam pemecahan masalah dan menambah rasa percaya diri siswa serta dapat meningkatkan pemahaman siswa
2. Bagi Guru, memberi wawasan baru sebagai bahan alternatif model pembelajaran matematika yang dapat mendayakan potensi belajar siswa.
3. Bagi Sekolah, penelitian ini memberi sumbangan pemikiran bagi pengelola sekolah untuk perbaikan teknik dan model pembelajaran.

Senin, 30 Mei 2011

penerapan model pembelajaran kooperatif berbasis tutor sebaya khususnya dalam pembelajaran mata pelajaran matematika pokok bahasan Sistem Persamaan Linear Dua Variabel kelas II-4 semester I di SMP Negeri 3 Mataram dalam meningkatkan prestasi belajar siswa.

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berdasarkan informasi yang diperoleh melalui observasi dan wawancara dengan guru mata pelajaran matematika kels II SMP Negeri 3 Mataram tahun pelajaran 2005/2006 terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi, terutama adalah rendahnya prestasi belajar siswa. Hal ini dapat dilihat dari rata-rata nilai yang mereka peroleh pada saat mereka masih duduk di kelas I
Prestasi belajar siswa yang rendah tersebut lebih disebabkan karena terdapat permasalahan pembelajaran matematika dan sulitnya guru menciptakan lingkungan belajar yang kondusif dalam proses pembelajaran. Padahal guru sudah menerapkan metode mengajar dari sistem yang klasikal yaitu guru sebagai pusat informasi, juga metode kelompok yaitu guru sebagai fasilitator dan pengarah yang bertujuan agara siswa bersama-sama lebih terpacu dalam meningkatkan prestasi belajar. Tetapi, metode yang pernah diterapkan ternyata kurang optimal, dilihat dari proses pembelajaran yang tidak kondusif
dan suasana proses pembelajaran
tidak berjalan baik yaitu melihat sering ributnya peserta didik, baik ribut bertanya kepada rekan kelas mereka tentang pelajaran maupun mengerjakan hal lain di luar pelajaran. Keadaan ini juga dipengaruhi oleh kurang simpatinya siswa kepada gurunya. Hal ini dapat diamati di lapangan, yaitu banyaknya siswa yang ragu bertanya kepada gurunya dan jarangnya siswa mengeluarkan ide atau pendapat pada saat pelajaran berlangsung ataupun di luar jam pelajaran, sehingga guru sulit juga menangkap kemampuan verbal mereka yang tidak nampak. Hal ini didukung oleh kurang adilnya guru dalam menempatkan siswanya dalam proses pembelajaran, yaitu menganggap bahwa kemampuan rata-rata siswa adalah sama, sehingga ada siswa yang lambat dalam belajar merasa tertinggal dan yang cepat (pandai) terpaksa tertahan kemajuannya.
Melihat fenomena seperti yang diuraikan di atas, maka pemilihan pendekatan, strategi, metode dan model pembelajaran harus dipertimbangkan dengan baik oleh guru, yaitu dengan melihat keberagaman (heterogen) nya kelas, terutama dari segi prestasi peserta didik dan mempertimbangkan permasalahan yang muncul. Artinya bahwa guru dituntut agar dapat menciptakan proses pembelajaran yang inovatif dan kreatif yang mampu memotivasi siswa untuk memahami pelajaran matematika agar lebih mudah dipelajari. Sehingga keragaman tidak dijadikan sebagai penyebab lemahnya prestasi siswa, tetapi bagaimana keragaman itu dijadikan motivasi bersama agar prestasi siswa dapat meningkat secara merata.
Keberagaman siswa dalam hal ini dilihat pada prestasi siswa, juga diperhatikan dari sulitnya guru menangkap kemampuan verbal siswa seperti yang telah disebutkan di atas. Karena kesempatan yang telah diberikan untuk mengemukakan pendapat untuk berdiskusi atau bertanya kepada guru tidak dimanfaatkan oleh siswa dengan baik. Bahkan cenderung ribut bertanya kepada temannya. Karena di dalam kesehariannya siswa akan lebih mudah untuk menerima �bantuan� pengajaran dari teman-teman nya daripada dari gurunya. Hal ini disebabkan karena biasanya seorang teman tidak memiliki rasa enggan ataupun rendah diri untuk bertanya dan meminta bantuan kepada teman yang lain.
Melihat kenyataan tersebut di atas, untuk mengoptimalkan pembelajaran dari segi proses maupun waktu pelaksanaan pembelajaran dan agar siswa mampu mengungkapkan kesulitan-kesulitannya untuk memaksimalkan kemampuan individu mereka, dengan melihat kenyataan bahwa mereka banyak bertanya kepada teman sekelasnya dibandingkan dengan guru, maka perlu respon guru untuk mengatasi permasalahan tersebut, yaitu dengan mengoptimalkan potensi siswa yang berprestasi sebagai basis pembelajaran. Karena walaupun rata-rata nilai yang diperoleh relatif rendah, namun ada beberapa orang siswa yang nilainya lebih dari rata-rata nilai kelas, hal ini menunjukan bahwa siswa-siswa yang berprestasi tersebut dapat dijadikan tutor untuk membantu rekannya dalam memahami materi yang diajarkan.
Sehubungan dengan itu, peneliti ingin mengkaji model pembelajaran kooperatif yang berbasis tutor sebaya, karena dalam setingan kooperatif siswa lebih banyak belajar dari satu teman ke teman yang lain dari pada belajar dengan guru. Menurut Slavin dalam Nurhadi (2000:16), teknik pembelajaran kooperatif lebih unggul dalam meningkatkan hasil belajar dibandingkan pengalaman belajar individual atau kompetitf.
Untuk penelitian ini, yang akan menjadi sampelnya adalah kelas II-4 pada tahun pelajaran 2006 / 2007, merupakan tingkatan kelas bagi kelas I-4 untuk yang naik ke kelas II, karena di SMP Negeri 3 sendiri tidak ada sistem roling kelas seperti yang terjadi di sekolah yang lain. Dengan melihat rendahnya nilai rata-rata matematika yang diperoleh oleh mereka pada tahun ajaran sebelumnya yang terlihat pada tabel 1.
Untuk diketahui, kurikulum terbaru 2006 ini di kelas II semester satu dibagi menjadi dua garis besar materi yang di ajarkan yaitu 1) Aljabar, terdiri dari Faktorisasi Suku Aljabar, Fungsi, Persamaan garis lurus, dan Sistem persamaan Linear dua variabel, dan 2) Geometri dan pengukuran yaitu Dalil Phytagoras. Dari peneliti sendiri mengambil pokok bahasan Sistem Persamaan Linear dua Variabel sebagai pokok bahasan yang akan diteliti, dilihat dari karakteristik materi. Sistem persamaan linear variabel terdiri dari tiga sub pokok bahasan, yaitu : Persamaan Linear dua Variabel ,Sistem Persamaan Linear dengan dua Variabel , dan Menyelesaikan Soal Cerita yang Berkaitan dengan Sistem Persamaan Linear dua variabel.
Seperti yang dipaparkan sebelumnya bahwa di dalam kegiatan pembelajaran di kelas ada beberapa orang siswa yang cepat memahami materi pembelajaran, sehingga pembelajaran pokok bahasan sistem persamaan linear dua variabel tidak terlalu sulit dipelajari dan masih berkaitan dengan materi pelajaran sebelumnya yaitu pokok bahasan bentuk aljabar, persamaan garis lurus dan sistem persamaan linear satu variabel, yang menjadi pokok bahasan prasyarat atau pendukung materi pelajaran Sistem persamaan linear dua variabel. Berdasarkan hal tersebut maka rekan kelas yang memiliki kemampuan pemahaman cepat dapat memberikan bimbingan bagi rekan kelas yang lain yang lambat dalam memahami pelajaran, sehingga peran guru dapat dibagi kepada siswa yang dijadikan tutor bagi rekan kelas mereka. Apabila ada di antara tutor yang menemukan kesulitan dalam menyampaikan materi terkait dengan pemodelan matematika dari pernyataan soal cerita, maka di sinilah peran guru sebagai pembimbing.
Sehingga dari penjelasan di atas maka pembelajaran dengan tutor sebaya dapat diterapkan pada pokok bahasan Sistem persamaan linear dua variabel dengan menggunakan pembelajaran kooperatif untuk mengefektifkan pembelajaran dan mempermudah guru dalam memantau maupun mengevaluasi perkembangan prestasi akademik siswa.
Berdasarkan uraian di atas maka perlu diadakan penelitian untuk melihat bagaimana penerapan model pembelajaran kooperatif berbasis tutor sebaya khususnya dalam pembelajaran mata pelajaran matematika pokok bahasan Sistem Persamaan Linear Dua Variabel kelas II-4 semester I di SMP Negeri 3 Mataram dalam meningkatkan prestasi belajar siswa.
B. Identifikasi Masalah
Adapun masalah-masalah yang ada dalam proses pembelajaran di SMP Negeri 3 Mataram, antara lain :
1. Pembelajaran yang cenderung klasikal dan monoton yang menyebabkan kebosanan dan antipatinya siswa terhadap pelajaran yang diajarkan.
2. Siswa malu dan ragu bertanya kepada gurunya apabila mengalami kesulitan dalam memahami materi pelajaran.
3. Kurangnya interaksi antara guru dengan siswa dalam proses pembelajaran.
Keadaan inilah yang menyebabkan adanya tuntutan kepada guru untuk mengantisipasi hal tersebut, yaitu dengan menerapkan suatu model pembelajaran yang kreatif, maksudnya walaupun model tersebut sudah sering digunakan maka dicobalah dengan pendekatan yang lebih inovatif, yaitu model pembelajaran yang akan memaksimalkan kondisi belajar demi tercapainya tujuan pembelajaran yang diinginkan, dengan memanfaatkan tutor sebaya sebagai basis pembelajarannya untuk membimbing rekan-rekan sekelasnya. Sehingga diharapkan dengan penerapan model pembelajaran kooperatif berbasis tutor sebaya dapat meningkatkan prestasi belajar matematika siswa, khususnya pokok bahasan Sistem Persamaan Linear Dua Variabel kelas II-4 semester I SMP Negeri 3 Mataram.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah, maka yang menjadi rumusan permasalahannya adalah �Bagaimana meningkatkan prestasi belajar matematika siswa kelas II-4 semester I SMP Negeri 3 Mataram dengan penerapan pembelajaran kooperatif berbasis tutor sebaya�.


D. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan prestasi belajar matematika siswa pada pokok bahasan Sistem Persamaan Linear Dua Variabel, melalui perapan model pembelajaran kooperatif berbasis tutor sebaya.
E. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1. Pengembangan Ilmu
Matematika sebagai salah satu mata pelajaran excact, dan dalam pembelajarannyapun perlu metode-metode dalam menciptakan pemahan. Untuk itulah penerapan model pembelajaran ini diharapkan dapat dijadikan sumber informasi dalam mengembangkan strategi pembelajaran matematika.
2. Penerapan dan kemanfaatan
a. Bagi Guru, Hasil penelitian ini dapat dijadikan pedoman bagi guru, untuk mengajar sebagai model pembelajaran alternatif. Dan dapat memanfaatkan model pembelajaran ini sebagai pengalaman manajemen kelas untuk mengenal karakteristik dan keragaman peserta didik
b. Bagi siswa, mengembangkan sikap kebersamaan, dan menerapkan kerjasama postitif , saling memberikan motivasi, dan kepemimpinan.
c. Bagi sekolah, diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan yang baik dalam perbaikan pembelajaran dan peningkatan mutu dalam proses pembelajaran.
d. Bagi peneliti, diupayakan sebagai titik awal perbandingan untuk penelitian berikutnya.

Minggu, 29 Mei 2011

Manfaat Air Kelapa Muda untuk Kesehatan & Kecantikan

YANG orang tahu tentang air kelapa muda adalah bahwa air kelapa muda bisa memuaskan dahaga orang. Membuat orang segar kembali setelah kehausan dan kelelahan. Tapi selanjutnya tak hanya sebatas itu. Air kelapa muda malah punya banyak kandungan berharga untuk kesehatan dan kecantikan. Apa saja kandungannya? Apa saja manfaatnya?

Menurut dr Inayah Budiasti S,MS SpGK, spesialis gizi dari Hang Lekiu Medical Centre, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pohon kelapa termasuk pohon yang serbaguna. Buah dan airnya bisa dikonsumsi, daunnya bisa dibuat hiasan janur atau sebagai kulit ketupat. Orang pedesaan biasa menggunakan batang pohon kelapa sebagai jembatan. Setelah buah dan airnya dikonsumsi, batoknya dapat digunakan sebagai arang pembakar. Sari buahnya diolah menjadi minyak.

Buah kelapa memiliki berbagai khasiat, antara lain, mengobati berbagai macam penyakit. "Air kelapa baik dikonsumsi oleh ibu hamil karena diyakini dapat membuat kulit jabang bayi menjadi putih dan bersih," terang dr Inayah. Selain itu, air kelapa juga bisa dibuat sebagai nata de coco dan kecap. Nata de coco dapat dikonsumsi sebagai minuman segar dengan campuran koktail, es buah, maupun pengganti kolang-kaling. Dan air kelapa yang sama ini bisa dibuat kecap dengan cara mencampurkannya dengan kedelai, gula merah, bawang putih, kemiri, daun salam, lengkuas, kluwak, dan natrium benzoat.



Ada kandungan mikro dan makro dalam air kelapa. Unsur makro yang terdapat dalam air kelapa adalah karbon dan nitrogen. Unsur karbonnya berupa karbohidrat sederhana seperti glukosa, sukrosa, fruktosa, sorbitol, inositol, dan lain-lain. Unsur nitrogennya berupa protein yang tersusun dari asam amino air kelapa lebih tinggi ketimbang asam amino dalam susu sapi. Selain karbohidrat dan protein, air kelapa juga mengandung unsur mikro berupa mineral yang dibutuhkan tubuh. Mineral tersebut, antara lain, kalium (K), natrium (Na), kalsium (Ca), magnesium (Mg), ferum (Fe), cuprum (Cu), fosfor (P), dan sulfur (S). Kandungan mineral dalam air kelapa dibutuhkan sebagai pengganti ion tubuh. Tak heran, setelah orang minum air kelapa muda, tubuhnya kembali segar.

Air kelapa juga mengandung banyak vitamin, antara lain, vitamin C, asam nikotinat, asam folat, asam pantotenat, biotin, serta riboflavin. Tak heran jika air kelapa juga dimanfaatkan sebagai bahan pengobatan tradisional sekaligus kecantikan. Selain mineral, air kelapa juga mengandung gula (bervariasi antara 1,7-2,6 persen) dan protein (0,07-0,55 persen). Karena komposisi gizi yang demikian, air kelapa dijadikan bahan baku produk pangan. "Di Filipina, air kelapa dimanfaatkan untuk proses pembuatan minuman, jelly, alkohol, dektran dan cuka," imbuhnya.


Sumber: www.lifestyle.okezone.com

Bengkak saat Hamil Bisa Menjadi Indikator Preeklampsia

Indikator Preeklampsia 
JIKA kaki Anda bengkak pada saat hamil, itu wajar. Tapi jika pada saat kaki Anda bengkak dan Anda pusing atau sakit kepala, Anda harus berhati-hati. Bisa saja Anda terkena preeklampsia atau yang biasa disebut dengan keracunan kehamilan. Jika tidak diatasi, preeklampsia bisa berakibat fatal. Apa sebetulnya penyebab penyakit ini? Bagaimana pula cara pengobatannya?

Menurut dr Otamar SpOG, ahli kandungan dari Rumah Sakit MMC, preeklampsia atau keracunan kehamilan adalah kumpulan suatu gejala. Ibu hamil mana pun akan dapat mengalami preeklampsia. Tapi yang lebih berisiko adalah ibu hamil yang baru pertama kali hamil, ibu dengan kehamilan bayi kembar, ibu yang menderita diabetes, yang punya hipertensi sebelum hamil, yang memiliki masalah dengan ginjal, dan yang hamil pertama di bawah usia 20 tahun atau di atas 35 tahun. Ibu, yang pernah mengalami preeklampsia pada kehamilan sebelumnya, kemungkinan besar mengalaminya lagi pada kehamilan berikutnya atau mungkin juga tidak.

Sayangnya, sampai saat ini penyebab preeklampsia masih merupakan misteri. "Orang banyak yang menduga berkaitan dengan teori. Ada prostaglanden, ada teori urine, ada juga yang berkaitan dengan pengentalan darah karena bisa mengakibatkan tekanan darah tinggi dan merusak dinding kapiler pembulu darah sehingga terjadi kebocoran dan proteinnya jadi ketarik," ungkap dr Otamar.



Kondisi preeklampsia sangat kompleks dan sangat besar pengaruhnya terhadap ibu maupun janin. Gejalanya sendiri dapat dikenali melalui pemeriksaan kehamilan yang rutin. Preeklampsia sendiri biasanya muncul pada trimester ketiga kehamilan, tapi bisa juga muncul pada trimester kedua. Gangguan ini, sekitar 7 persen, bisa berupa gangguan ringan maupun parah.

Secara klinis, gejala preeklampsia sendiri ditandai dengan penemuan tekanan darah yang tinggi maupun peningkatan tekanan darah daripada biasanya. Itu merupakan salah satu hal terpenting untuk menentukan apakah seorang ibu hamil mengalami preeklampsia atau tidak. Preeklampsia sendiri terbagi atas tiga. Preeklampsia ringan, sedang, maupun berat. Bila seorang terkena darah di atas 160/110 mlHg itu disebut preeklampsia berat dengan disertai tiga gejala yang tadi," terang dr Otamar.

Selain tekanan darah, gejala yang lain adalah bengkak. Bengkak ini dapat dengan mudah dikenali di daerah kaki dan tungkai. Pada keadaan yang lebih berat muncul bengkak di seluruh tubuh. Pembengkakan ini terjadi akibat pembulu kapiler yang bocor sehingga air yang merupakan bagian dari sel merembes keluar dan masuk ke dalam jaringan tubuh dan tertimbun di bagian tersebut. Terdapatnya kadar protein yang tinggi dalan urin juga merupakan gangguan ginjal. Gejala preeklampsia ringan dapat menunjukkan angka kadar protein urin lebih tinggi daripada 500 mb per 24 jam. Sementara itu, yang terparah dapat mencapai angka 5 gram dalam 24 jam. Pengeluaran urin sendiri pun kurang dari 400 ml per 24 jam.

"Biasanya pada usia kehamilan 5 bulan, tapi paling sering menjelang kehamilan. Terjadi preeklampsia pada saat hamil, proses persalinan dan setelah persalinan. Normalnya, orang setelah melahirkan itu tensi turun. Tapi kalau setelah melahirkan tensi malah meningkatkan, itu bahaya," lanjut dr Otamar.

Jika terkena preeklampsia, ada beberapa organ tubuh yang ikut terkena, antara lain otak, di mana terjadi pembengkakan di otak sehingga timbul kejang dengan penurunan kesadaran. Itulah yang biasa disebut dengan preeklampsia. Dapat pula terjadi pecahnya pembuluh darah dari otak akibat hipertensi. Selain itu, dapat pula menyerang paru-paru sehingga terjadi pembengkakan yang kemudian menyebabkan sesak napas yang hebat dan bisa berakibat fatal.

Janin yang dikandung oleh ibu hamil yang terkena preeklampsia akan hidup dalam rahim dengan nutrisi dan oksigen di bawah normal. Keadaan ini bisa terjadi karena pembulu darah yang menyalurkan darah ke plasenta menyempit karena buruknya nutrisi. Dengan demikian, pertumbuhan janin akan terhambat sehingga berat badan bayi yang lahir rendah. Atau bisa juga janin dilahirkan dalam hitungan kurang bulan (prematur) dan biru pada saat dilahirkan (asfiksia).

Pada penderita preeklampsia yang berat, janin harus segera dilahirkan. Ini dilakukan untuk menyelamatkan nyawa ibu tanpa melihat apakah si janin sudah dapat hidup di luar rahim atau tidak. Tapi adakalanya keduanya tak bisa ditolong. Oleh karena itu, ibu hamil harus melakukan pemeriksaan rutin dan berkonsultasi dengan dokter. Minimal setiap bulan pada kehamilan awal dan seminggu sekali menjelang kelahiran.

Untuk penyakit yang satu ini, cara pengobatannya tergantung pada gejala yang dihadapinya. Jika yang dialami adalah tekanan darah tinggi, sesegera mungkin tekanan darah diturunkan. Tekanan darah yang tinggi secara terus menerus membuat jantung bekerja ekstrakeras, yang pada akhirnya mengakibatkan kerusakan pembulu darah pada jantung, ginjal, otak, dan mata. Jika tekanan darah tinggi itu tidak segera diatasi, bisa muncul masalah atau kasus-kasus yang lebih serius, bahkan bisa menyebabkan kematian. Jika preeklampsia karena kebocoran, yang harus dilakukan adalah menjalankan diet dengan mengurangi konsumsi garam dan makanan berkolesterol.

Pengobatan hipertensi biasanya dikombinasikan dengan beberapa obat, yakni diuretic atau tablet Hydrochlorothiazide (HCT), Lasiz (Furosemide). Juga dapat digunakan Beta-blockers (Atenolol Tenorim), Capoten (Captopril). Obat ini dapat dikonsumsi dalam upaya pengontrolan tekanan darah melalui proses memperlambat kerja jantung dan memperlebar pembulu darah (vaso dilatasi).


Sumber: www.lifestyle.okezone.com

Waspadai Sering Buang Air Kecil

SERING buang air kecil atau yang lebih dikenal oleh orang awam dengan istilah beser harus diwaspadai karena bisa memicu penyakit lainnya.

Dalam istilah kedokteran, sering buang air kecil lebih dikenal dengan overactive bladder (OAB). Berdasar definisi dari International Continence Society (ICS) tahun 2002, overactive bladder (OAB) diartikan sebagai kumpulan gejala: urgensi, dengan atau tanpa inkontinensia urgensi, biasanya disertai dengan frekuensi dan nokturia.

"Beser bisa dikatakan dengan kencing berkalikali lebih dari 8x/hari, atau 1 kali/ 4 jam, selain itu juga si penderita sangat ingin berkemih," tutur Dokter spesialis penyakit dalam dan konsultan geriatri FKUI/RSCM, Dr Siti Setiati, SpPD K-Ger.



Penyakit ini lebih sering menimpa perempuan. Berdasarkan studi Asia Pacific Continence Advisory Board (APCAB) di negara-negara Asia, setidaknya 53 persen wanita di Asia terkena gejala overactive bladder. "Sekarang OAB tidak hanya dialami perempuan lanjut usia, tetapi juga pada perempuan di usia produktif (25-30 tahun)," ucap dokter yang biasa berpraktik di Nusantara Medical Center, Gedung Granadi, Kuningan.

Setiati mengatakan, ada beberapa gejala terjadinya OAB. Jika gejala tersebut muncul, akan menimbulkan permasalahan baru, yakni masalah psikologis. Artinya, seseorang yang menderita OAB menyebabkan tidak bisa ke mana-mana (sulit untuk bepergian), rasa malu, hilang rasa percaya diri, depresi, merasa menjadi beban, gangguan aktivitas fisik dan pekerjaan, interaksi sosial, gangguan pada pola tidur, hingga masalah seksual seperti menghindari hubungan seksual.
Tentu saja, semuanya akan mengurangi kualitas hidup seseorang. "Tidak nyaman, bau tak sedap, kulit lecet, jatuh, insomnia (tidur terganggu) dan dehidrasi, merupakan akibat yang ditimbulkan pada penderita OAB," ungkap Setiati yang juga menjabat sebagai Ketua Program Studi Spesialis Penyakit Dalam FKUI.

Ada tiga gejala penting yang harus diperhatikan ketika mendiagnosis OAB yaitu urgensi, frekuensi, dan nokturia.
Urgensi yaitu gejala keinginan tiba-tiba yang kuat untuk berkemih dan sulit ditahan, dengan atau tanpa inkontinens (mengompol) atau kesulitan menahan buang air kecil dan biasanya diakhiri dengan mengompol atau urge incontinence. Frekuensi, yakni keluhan dari pasien di mana berkemih terlalu sering dalam satu hari (sama dengan poliuri), berdasarkan data dari ICS, frekuensi pada OAB didefinisikan sebagai sering berkemih sebanyak lebih dari 8 kali per hari (24 jam).

Sedangkan nokturia, yaitu keluhan berkemih pada malam hari atau terbangun pada malam hari untuk berkemih lebih dari 1 kali dalam 1 malam. "Tidak normalnya buang air kecil pada seseorang adalah apabila dia sudah melakukannya sebanyak 2 jam 1 kali tanpa bisa ditahan," ungkap Setiati yang juga menjabat sebagai wakil Pemimpin Redaksi majalah kedokteran Acta Medica Indonesia (IJIM).

Sampai saat ini belum diketahui dengan jelas penyebab penyakit ini, namun para ahli yang tergabung dengan Perkina (Perkumpulan Kontinensia Indonesia) menemukan adanya kontraksi yang berlebihan pada otot kandung kemih, yang menyebabkan sensasi untuk buang air kecil lebih sering dari biasanya.

"Faktor pemicu sering buang air kecil adalah karena adanya kesadaran turun, infeksi saluran kemih, obat-obatan (diuretik), gangguan jiwa (depresi), sulit bergerak (tidak bisa mencapai toilet), sembelit, dan karena faktor minuman (air gula, kopi)," ucap Setiati yang menjabat sebagai Seksi Ilmiah Perkina Pusat).

Sehubungan dengan penyebab timbulnya OAB, dokter ahli penyakit dalam dari Rumah Sakit Pluit, Dr Med. Benny Santosa, Sp PD, mengatakan, salah satu faktor yang menyebabkan penyakit ini timbul adalah karena penyakit diabetes pada seseorang. "Diabetes adalah penyakit yang bisa mengganggu fungsi syaraf, otot, dan sebagainya," ucapnya.

Untuk pengobatan dan pencegahan, bisa dilakukan dengan beberapa cara misalnya dengan pemberian obat kolinergik. Obat ini dapat membantu untuk mengontrol keinginan buang air dengan mengurangi kontraksi otot di dinding kandung kemih. Obat ini dapat meningkatkan kapasitas penampungan urine/air kencing pada kandung kemih dan bisa menunda keinginan buang air kecil.



Defenisi karya ilmiah, skripsi, tesis, dan desertasi

karya ilmiah atau skripsi biasanya merupakan tugas akhir dalam menempuh perkuliahan. berikut adalah defenisi karya ilmiah, skripsi, thesis, dan disertasi.

Makalah adalah tulisan resmi tentang suatu pokok (kajian) yang dimaksudkan untuk dibacakan di muka umum di suatu persidangan dan yang sering disusun untuk diterbitkan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke tiga). Sebuah makalah adalah tulisan ilmiah yang membahas pokok masalah tertentu dan pada umumnya diterbitkan dalam suatu jurnal ilmiah dan karena merupakan tulisan resmi maka harus ditulis oleh yang ahli dalam bidangnya.

Karya tulis ilmiah adalah suatu bentuk publikasi ilmiah yang berisi tentang gagasan-gagasan dalam permasalahan yang dituangkan dalam sebuah tulisan dengan sistematika tertentu dan memiliki karakteristik keilmuan dan memenuhi syarat keilmuan. Biasanya karya tulis ilmiah adalah berupa paparan tulisan hasil penelitian.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), skripsi diartikan sebagai karangan ilmiah yang diwajibkan sebagai bagian dari persyaratan pendidikan akademis. Secara umum Skripsi merupakan karya tulis ilmiah hasil penelitian dan/atau percobaan yang disusun oleh mahasiswa di bawah bimbingan dosen pembimbing skripsi dan dipertanggung-jawabkan dalam suatu Sidang Ujian Akhir Program untuk memenuhi persyaratan memperoleh derajat kesarjanaan strata satu (S1). Skripsi sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi sebagai bagian untuk mendapatkan gelar sarjana (S1). Skripsi menjadi salah satu pembeda antara jenjang pendidikan sarjana (S1) dan diploma (D3). (Dikutip dari artikel tentang skripsi dari salah satu blog dan katalog fpik undip).

Tesis adalah salah satu karya ilmiah tertulis yang disusun mahasiswa secara individual berdasarkan hasil penelitian empiris untuk dijadikan bahan kajian akademis. Tesis adalah pernyataan atau teori yang didukung oleh argumen-argumen untuk dikemukakan, merupakan hasil dari studi yang sistematis atas masalah, tesis mengandung metode pengumpulan, analisis dan pengolahan data, dan menyajikan kesimpulan serta mengajukan rekomendasi. Tesis adalah karya ilmiah yang disyaratkan untuk lulus pendidikan jenjang S2.

Disertasi adalah karya ilmiah mahasiswa untuk jenjang pendidikan S3 yang berupaya menciptakan suatu teori baru dengan menguji hipotesis yang disusun berdasarkan teori yang sudah ada. Disertasi berupa paparan diskusi yang menyertai sebuah pendapat atau argumen.

Pengertian makalah, karya tulis ilmiah, skripsi, tesis dan disertasi diatas saya kutip dari berbagai sumber

Sabtu, 28 Mei 2011

penggunaan model pembelajaran konstruktivisme untuk meningkatkan aktivitas dan prestasi belajar fisika siswa kelas X semester 1 di SMA Negeri 1 Sakra

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Fisika merupakan cabang IPA yang mempelajari tentang kejadian-kejadian alam. Fisika bukan merupakan kumpulan pengetahuan semata, melainkan proses dan sikap ilmiah yang tidak dapat dipisahkan. Karena itu dalam mengajar fisika kita tidak hanya dengan informasi saja, melainkan juga mengajarkan proses mendapatkan konsep-konsep fisika, sehingga pada akhirnya timbul sikap ilmiah.
Belajar fisika akan menyenangkan kalau memahami keindahan dan manfaatnya, jika siswa sudah mulai tertarik baik oleh manfaatnya ataupun dari lapangan kerjanya, mereka akan bisa lebih mudah dalam menguasai fisika. Maka motivasi belajar sudah menjadi modal pertama untuk menghadapi halangan atau kesulitan ketika sedang belajar fisika.
Untuk mengetahui pencapaian tujuan pembelajaran, pada setiap akhir program pengajaran dilakukan evaluasi. Indikator keberhasilan dari pencapaian tujuan pengajaran tersebut adalah kemampuan belajar siswa yang diwujudkan dalam bentuk Ujian Akhir Nasional (UAN). Hasil UAN
Fisika yang diperoleh siswa dari tahun ke tahun sangat tidak menggembirakan. Hal ini menandakan kualitas pendidikan Fisika masih rendah. Misalnya, dalam mata pelajaran Fisika dalam dua tahun terakhir pada SMU Negeri 1 Sakra Timur. Dari hasil observasi dan pengamatan guru mata pelajaran fisika di SMA Negeri 1 Sakra Timur diperoleh bahwa prestasi belajar fisika masih tergolong rendah. Hal ini bisa dilihat dari perolehan UAN yang rendah. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari table 1.1 berikut:
Tabel 1.1. Rata-rata Nilai UAN Fisika Siswa SMA Negeri 1 Sakra Timur
Tahun Ajaran Nilai Terendah Nilai Tertinggi Rata-rata Nilai UAN Simpangan Deviasi
2004/2005 4.32 5.00 4.61 0.35
2005/2006 4.59 6.32 5.00 0.67
(SMA Negeri 1 Sakra Timur)
Prestasi belajar siswa khususnya mata pelajaran fisika pada tiap tahun ajaran masih relatif rendah. Hal ini dapat dilihat dari nilai rata-ratanya yang mencapai 4,61 (2004/2005) dan 4,90 (2005/2006). Rendahnya prestasi belajar fisika siswa pada waktu kelas X disebabkan karena kurangnya motivasi, minat dan aktivitas belajar dari siswa itu sendiri. Pada umumnya siswa kurang aktif dan kebanyakan diam serta tidak mau bertanya tentang materi yang belum dimengerti. Siswa biasanya hanya mencatat dan mendengar apa yang disampaikan oleh guru. Pada umumnya siswa juga kadang-kadang dipaksa oleh guru untuk mencatat yang telah disampaikan.
Kurangnya minat dan aktivitas belajar siswa ini terkait dengan sistem pengajaran yang digunakan oleh sekolah yang masih menggunkan metode ekspositori yaitu guru menulis di papan tulis, siswa mengerjakan soal dibuku LKS, serta pemberian PR yang sifatnya monoton dan kurang variatif. Selain itu juga, guru kurang memahami siswa cara menciptakan proses belajar yang dapat membangkitkan minat, dorongan, dan semangat belajar siswa. Akibatnya siswa kurang aktif karena hanya menerima dan mengerjakan apa yang diberikan oleh guru. Hal ini tentunya akan berdampak pada siswa kurang percaya diri baik dalam bertanya, menyampaikan ide, maupun dalam menyelasaikan suatu permasalahan yang diberikan oleh guru dan dapat berdampak pada rendahnya prestasi belajar siswa. Penyebab lainnya adalah para guru fisika mengajar berdasarkan asumsi tersembunyi bahwa pengetahuan dapat dipindahkan secara utuh dari pikiran guru ke pikiran siswa. Dengan asumsi tersebut mereka memfokuskan diri pada upaya penuangan pengetahuan ke dalam kepala para siswanya (Sadia, 1997:1).
Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tersebut meliputi pengetahuan fisik, pengetahuan logika-matematika dan pengetahuan sosial. Tidak semua pengetahuan dapat diterima dengan mudah oleh siswa. Hal ini dapat diketahui dari contoh yang dikemukakan oleh Piaget yaitu pengetahuan sosial seperti lambang matematika, lambang fisika dapat dipelajari secara langsung. Tetapi pengetahuan fisik dan logika matematika tidak dapat ditransfer secara utuh dari pikiran guru ke pikiran siswa tetapi harus dibangun di dalam pikiran siswa sendiri sebagai usaha keras siswa untuk mengorganisasi pengalaman-pengalamannya dalam hubungannya dengan skema atau struktur mental yang telah ada sebelumnya ( De Vries and Zan, 1994 : 193-195 ; Bodner, 1986 : 2 ; Dahar, 1988 : 192 ).
Salah satu alternatif yang akan dicoba untuk diterapkan dalam upaya menangani permasalahan tersebut diatas adalah dengan menerapkan suatu model pembelajaran yakni model pembelajaran konstruktivisme. Menurut Ella (2004:109) dalam menerapkan teori konstruktivis dalam belajar dapat digunakan model pembelajaran, pembelajaran ini melibatkan beberapa tahap, yaitu: Pengenalan, pembelajaran kompetensi, pemulihan, pendalaman dan pengayaan. Pada dasarnya penerapan konstruktivisme dalam belajar adalah belajar untuk mengkonstruksi (dibangun dalam pikiran) dari hasil interpretasi atas sesuatu peristiwa, menemukan dan mentransformasikan informasi, memeriksa informasi yang baru serta merevisinya bila perlu. Dalam model pembelajaran konstruktivisme harus tercipta hubungan kerjasama antara guru dengan murid dan antar sesama murid.
Menurut Boediono (2001), beberapa bentuk kondisi belajar yang sesuai dengan filosofi "constructivism" antara lain: diskusi yang menyediakan kesempatan agar semua peserta didik mau mengungkapkan gagasan, pengujian dan penelitian sederhana, demonstrasi dan peragaan prosedur ilmiah, dan kegiatan praktis lain yang memberi peluang peserta didik untuk mempertajam gagasannya. Demonstrasi yang dimaksud disini adalah cara yang digunakan untuk menciptakan suasana pembelajaran yang dapat menumbuhkan dan menghidupkan gairah belajar. Tujuan dari penggunaan metode demonstrasi dalam proses belajar mengajar ialah untuk memperjelas pengertian konsep dan memperlihatkan cara melakukan sesuatu atau proses terjadinya sesuatu. Sedangkan guru hanya sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar mengajar berjalan dengan baik.
Oleh karena itu, di dalam penelitian ini peneliti akan mencoba menyelidiki apakah penggunaan model pembelajaran konstruktivisme pada pokok bahasan suhu dapat meningkatkan aktivitas dan prestasi belajar fisika siswa di SMA Negeri 1 Sakra Timur. Karena melalui model pembelajaran ini diharapkan dapat mengajak siswa berperan aktif dan melibatkan segenap kemampuan yang dimiliki siswa sehingga pemahaman tentang suatu konsep dapat diterima dengan demikian diharapkan prestasi siswa dapat meningkat.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah �Apakah penggunaan model pembelajaran konstruktivisme dapat meningkatkan aktivitas dan prestasi belajar fisika siswa kelas X semester 1 di SMA Negeri 1 Sakra�.
1.3 Tujuan penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk meningkatkan aktivitas dan prestasi belajar fisika pada siswa kelas X semester 1 di SMA Negeri 1 Sakra Timur melalui penggunaan model pembelajaran konstruktivisme.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Bagi siswa: Memacu motivasi dan minat siswa serta mendorong siswa agar lebih aktif dalam belajar serta sebagai pengalaman langsung bagi mereka tentang pelaksanaan model pembelajaran tersebut.
b. Bagi guru: Menambah sumbangan pemikiran dalam rangka perbaikan model pembelajaran agar lebih bervariasi sehingga dapat meningkatkan hasil belajar.
c. Bagi sekolah: Sebagai sumbangan nyata bagi program pembelajaran di SMA Negeri 1 Sakra Timur, sekaligus menambah koleksi buku bacaan dan pengetahuan baru tentang model pembelajaran.

1.5 Batasan Masalah
Untuk membatasi luasan masalah penelitian, maka penelitian ini dibatasi pada pokok bahasan suhu dan pemuaian kelas X1 semester 2 di SMA Negeri 1 Sakra Timur tahun ajaran 2007/2008.
1.6 Definisi Operasional
1. Konstruktivisme adalah suatu teori yang memandang bahwa pengetahuan itu dibangun sendiri secara aktif dalam diri setiap individu dengan cara mengkaitkan pembelajaran dengan pengalaman nyata.
2. Aktivitas belajar adalah suatu proses atau kegiatan yang dilakukan untuk mencapai pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap.
3. Presatasi belajar adalah hasil penilaian pendidikan tentang kemajuan siswa setelah melakukan aktivitas belajar.










BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konstruktivisme
2.1.1 Pengertian Konstruktivisme
Untuk menciptakan suasana belajar agar siswa lebih aktif guru menggunakan berbagai macam model pembelajaran yang diyakini memiliki dampak positif terhadap hasil belajar, salah satunya yaitu konstruktivisme. Berdasarkan penelitian tentang bagaimana anak-anak memperoleh pengetahuan, Pieget sampai pada kesimpulan, bahwa pengetahuan itu dibangun dalam pikiran anak. Penelitian inilah yang menyebabkan ia dikenal sebagai konstruktivis pertama. Piaget mengemukakan, bahwa �pengetahuan itu dibangun sambil anak (yang belajar) mengatur pengalaman-pengalamannya yang terdiri atas struktur-struktur mental atau skema-skema yang sudah ada padanya (Karso, 1993)�.
Konstruktivisme adalah perkataan bahasa Inggris yaitu "Constructivism" dan berasal dari kata " Construct " yang artinya membina. Konstruktivisme merupakan proses pembelajaran yang menerangkan bagaimana pengetahuan disusun dalam pikiran manusia. Konstruktivisme merupakan satu kepercayaan bahawa pembelajaran bermula dari pengetahuan dan pengalaman yang tersimpan dalam memori atau struktur kognitif pelajar. Dalam proses pembelajaran, baru diproses dan diserapkan untuk dijadikan sebahagian daripada struktur kognitif di dalam minda pelajar. Pendekatan yang masih dianggap baru ini memberi idea-idea terkini tentang pertumbuhan kognitif dan pembelajaran. Ini bersesuaian dengan apa yang dinyatakan oleh Grayson (1991) bahawa pengetahuan tidak diterima secara pasif tetapi diterima secara aktif oleh pelajar. (---------,------)
Menurut Piaget pikiran manusia mempunyai struktur yang disebut skema atau skemata yang sering disebut dengan struktur kognitif. Dengan menggunakan skemata itu seseorang mengadaptasi dan mengkordinasi lingkungannya sehingga terbentuk skemata yang baru, yaitu melalui proses asimilasi dan akomodasi. Selanjutnya, Piaget (dalam Bell,1981: Stiff dkk.,1993) berpendapat bahwa �skemata yang terbentuk melalui proses asimilasi dan akomodasi itulah yang disebut pengetahuan (-------,----).
Asimilasi merupakan proses kognitif yang dengannya seseorang mengintegrasikan informasi (persepsi, konsep, dsb) atau pengalaman baru kedalam struktur kognitif (skemata) yang sudah dimiliki seseorang. Sedangkan Akomodasi adalah proses restrukturisasi skemata yang sudah ada sebagaia akibat adanya informasi dan pengalaman baru yang tidak dapat secara langsung diasimilasikan pada skemata tersebut ( Hamzah, 2002).
Menurut para penganut konstruktif, pengetahuan dibina secara aktif oleh seseorang yang berfikir. Seseorang tidak akan menyerap pengetahuan dengan pasif. Untuk membangun suatu pengetahuan baru, peserta didik akan menyesuaikan informasi baru atau pengetahuan yang disampaikan guru dengan pengetahuan atau pengalaman yang telah dimilikinya melalui berinteraksi sosial dengan peserta didik lain atau dengan gurunya (Ella, 2004).
Sedangkan menurut Wan (2005), Konstruktivisme diartikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan menciptakan sesuatu dari apa yang dipelajari. Konstrutivisme sebenarnya bukan merupakan ide yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang itu mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih baik.
Menurut Schuman (1996), konstruktif dikemukakan dengan dasar pemikiran bahwa �semua orang membangun pandangannya terhadap dunia melalui pengalaman individu atau skema�. Konstruktif menekankan pada menyiapkan peserta didik untuk menghadapi dan menyelesaikan masalah dalam situasi yang tidak tentu atau ambigus (Ella, 2004).
Menurut teori belajar konstruktivisme, mengemukakan bahwa teori belajar konstruktivisme memandang anak sebagai mahluk yang aktif dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan melalui interaksi dengan lingkungannya. Guru, yang dipandang sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran, seyogyanya mengetahui tingkat kesiapan anak untuk menerima pelajaran, termasuk memilih motede yang tepat dan sesuai dengan tahap perkembangan anak (Ghozali, 2003).
Jadi, Konstruktivisme adalah suatu teori yang memandang bahwa pengetahuan itu dibangun sendiri secara aktif dalam diri setiap individu dengan cara mengkaitkan pembelajaran dengan pengalaman nyata.
2.1.2 Model Pembelajaran Konstruktivisme
Model pembelajaran merupakan suatu rencana atau kerangka yang dapat digunakan untuk merancang mekanisme pengajaran yang bermakna. Menurut Westbrook & Rogers (1994), jenis program pembelajaran yang di terapkan mempengaruhi pengembangan kemampuan penalaran siswa. Komponen utama yang secara langsung membentuk model pembelajaran adalah materi subjek yang dibahas, guru pengajar, tahap berpikir siswa sebagai subjek belajar, pendekatan dan metode, serta alat evaluasi yang digunakan (Sutarno,2003).
Model pembelajaran telah mendapatkan perhatian yang besar dikalangan peneliti pendidikan sains pada masa akhir-akhir ini. Model ini memiliki masa depan yang menjanjikan dalam bidang pendidikan sains. Daya tarik dari model konstruktivisme ini adalah pada kesederhanaanya. Menurut Mulyasa (2004:239) Model pembelajaran konstruktivisme memperlihatkan bahwa pembelajaran merupakan proses aktif dalam membuat sebuah pengalaman menjadi masuk akal, dan proses ini sangat dipengaruhi oleh apa yang sudah diketahui orang sebelumnya. Karena itu, dalam setiap kegiatan pembelajaran guru harus memperoleh, atau sampai pada, persamaan pemahaman dengan murid.
Yang terpenting dalam teori konstruktivisme adalah bahwa dalam proses pembelajaran, si belajarlah yang harus mendapatkan penekanan. Merekalah yang harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukan pembelajar atau orang lain. Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif siswa. Belajar lebih diarahkan pada experimental learning yaitu merupakan adaptasi kemanusia berdasarkan pengalaman konkrit di laboratorium diskusi dengan teman sekelas, yang kemudian dijadikan ide dan pengembangan konsep baru (Dina, ).
Implikasi dari pandangan konstruktivisme di sekolah ialah pengetahuan tidak dapat dipindahkan secara utuh dari pikiran guru ke siswa, namun secara aktif dibangun oleh siswa sendiri melalui pengalaman nyata. Dalam belajar sains menurut pandangan konstruktivisme adalah proses konstruktif yang menghendaki partisifasi aktif dari siswa, sehinggga disini peran guru berubah dari sumber dan pemberi informasi menjadi pendiagnosis dan fasilitator belajar siswa (Sutarno,2003).
Menurut Davis (1996), pandangan konstruktivis dalam pembelajaran berorientasi pada: (1) pengetahuan dibangun dalam pikiran melalui proses asimilasi atau akomodasi, (2) dalam pengerjaan, setiap langkah siswa dihadapkan kepada apa, (3) informasi baru harus dikaitkan dengan pengalamannya tentang dunia melalui suatu kerangka logis yang mentransformasikan, mengorganisasikan, dan menginterpretasikan pengalamannya, dan (4) pusat pembelajaran adalah bagaimana siswa berpikir, bukan apa yang mereka katakan atau tulis (---------,2007).
Menurut Drs. Akh. Hidayat (2003) ciri-ciri pembelajaran konstruktivisme adalah keaktifan dan keterlibatan siswa belajar dalam proses upaya belajar sesuai dengan kemampuan, pengetahuan awal dan gaya belajar masing-masing dengan bantuan guru sebagai fasilitator yang membantu warga belajar apabila warga belajar mengalami kesulitan dalam kegiatan belajar (, , , , , 2004).
Belajar menurut model konstruktivis merupakan proses aktif siswa untuk mengkonstruksi pikirannya. Belajar juga merupakan proses mengasimilasikan dan menghubungkan pengalaman pengalaman yang telah dimilikinya. Proses belajar dalam model konstruktivis bercirikan oleh hal-hal sebagai berikut (Suparno, 1997:61).
1. Belajar berarti memberi makna. Makna yang diciptakan oleh siswa berasal dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan dan alami. Konstruksi ini dipengaruhi pengertian yang telah dipunyai.
2. Konstruksi arti adalah proses yang terus menerus. Setiap kali berhadapan dengan fenomena atau persoalan yang baru, akan diadakan rekonstruksi baik secara kuat maupun lemah.
3. Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta melainkan lebih merupakan suatu pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian yang baru. Belajar bukanlah hasil perkembangan melainkan merupakan perkembangan itu sendiri. Suatu perkembangan menuntut penemuan dan pengaturan kembali pemikiran seseorang.
4. Proses belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam keraguan yang merangsang pemikiran lebih lanjut.
5. Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman siswa dengan dunia fisik dan lingkungannya.
6. Hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui siswa mengenai konsep-konsep, tujuan dan motivasi yang mempengaruhi interaksi dengan bahan yang dipelajari.
( Wilantara,2003).

Menurut Hudojo (1998:7-8) ciri-ciri pembelajaran dalam pandangan konstruktivisme adalah sebagai berikut:
1) Menyediakan pengalaman belajar dengan mengkaitkan pengetahuan yang telah dimiliki siswa sedemikian rupa sehingga belajar melalui proses pembentukan pengetahuan.
2) Menyediakan berbagai alternatif pengalaman belajar, tidak semua mengerjakan tugas yang sama, misalnya masalah dapat diselesaikan dengan berbagai cara.
3) Mengintegrasikan pembelajaran dengan situasi yang realistik dan relevan dengan melibatkan pengalaman konkrit, misalnya untuk memahami suatu konsep melalui kenyataan kehidupan sehari-hari.
4) Mengintegrasikan pembelajaran sehingga memungkinkan terjadinya transmisi sosial yaitu terjadinya interaksi dan kerja sama seseorang dengan orang lain atau dengan lingkungannya, misalnya interaksi dan kerjasama antara siswa, guru, dan siswa-siswa.
5) Memanfaatkan berbagai media termasuk komunikasi lisan dan tertulis sehingga pembelajaran menjadi lebih aktif.
6) Melibatkan siswa secara emosional dan sosial sehingga pembelajaran menjadi menarik siswa mau belajar.

Harlen (1992 : 51) mengembangkan model konstruktivisme dalam pembelajaran di kelas. Pengembangan model konstruktivisme tersebut mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:
1. Orientasi dan Elicitasi Ide. Merupakan proses untuk memotivasi siswa dalam mengawali proses pembelajaran. Melalui Elicitasi siswa mengungkapkan idenya dengan berbagai cara.
2. Restrukturisasi ide. Meliputi beberapa tahap yaitu klarifikasi terhadap ide, merombak ide dengan melakukan konflik terhadap situasi yang berlawanan, dan mengkonstruksi dan mengevaluasi ide yang baru.
3. Aplikasi. Menerapkan ide yang telah dipelajari.
4. Review. Mengadakan tinjuan terhadap perubahan ide tersebut
( Wilantara,2003).
Tahapan belajar-mengajar konstruktivisme menurut Mulyasa (2004:243) adalah sebagai berikut
1. Pemanasan-apersepsi
a. Pembelajaran dimulai dengan hal-hal yang diketahui dan dipahami peserta didik.
b. Motivasi peserta didik dengan bahan ajar yang menarik dan berguna bagi peserta didik.
c. Peserta didik didorong agar tertarik untuk mengetahui hal-hal yang baru.
2. Eksplorasi
a. Materi/keterampilan baru dikenalkan
b. Kaitkan materi ini dengan pengetahuan yang sudah ada pada peserta didik.
c. Cari metodologi yang paling tepat dalam meningkatkan penerimaan peserta didik akan materi baru tersebut.

3. Konsolidasi pembelajaran
a. Libatkan peserta didik secara aktif dalam menafsirkan dan memahami materi ajaran baru.
b. Libatkan siswa secara aktif dalam problem solving.
c. Letakkan penekanan pada kaitan structural, yaitu kaitan antara materi ajar yang baru dengan berbagai aspek kegiatan/kehidupan di dalam lingkungan.
d. Cari metodologi yang paling tepat sehingga materi ajar dari dapat terproses menjadi bagian dari pengetahuan peserta didik.
4. Pembentukan sikap dan prilaku
a. Peserta didik didorong untuk menerapkan konsep/pengertian yang dipelajarinya dalam kehidupan sehari-hari.
b. Peserta didik membangun sikap dan perilaku baru dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan pengertian yang dipelarjari.
c. Cari metodologi yang paling tepat agar terjadi perubahan pada sikap dan perilaku peserta didik.
5. Penilaian formatif
a. Kembangkan cara-cara untuk menilai hasil pembelajaran peserta didik.
b. Gunakan hasil penilaian tersebut untuk melihat kelemahan atau kekurangan peserta didik dan masalah-masalah yang dihadapi guru.
c. Cari metodologi yang paling tepat yang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
2.2 Aktivitas belajar siswa
Dalam belajar diperlukan aktivitas, sebab pada prinsipnya belajar adalah berbuat, berbuat untuk mengubah tingkah laku, jadi melakukan kegiatan. Tidak ada belajar kalau tidak ada aktivitas. Itulah sebabnya aktivitas merupakan prinsip atau asas yang sangat penting didalam interaksi belajar mengajar.
Aktivitas belajar menurut Hamalik (2002:34) adalah suatu proses atau kegiatan yang dilakukan untuk mencapai pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap. Oleh karena itu, guru yang bertindak sebagai fasilitator dan mediator dalam pembelajaran hendaknya mampu menciptakan pembelajaran yang dapat mengikut sertakan siswa secara aktif baik indivindu maupun kelompok dalam kegiatan pembelajaran.
Menurut Usman (1995:22) aktivitas belajar murid dapat digolongkan ke dalam beberapa hal:
1. Aktivitas visual (visual activities) seperti membaca, menulis, melakukan eksperimen, dan demonstarsi.
2. Aktivitas lisan (oral activities) seperti bercerita,.membaca sajak, Tanya jawab, diskusi, menyanyi.
3. Aktivitas mendengarkan (listening activities) seperti mendengarkan penjelasan guru, ceramah, pengarahan.
4. Aktivitas gerak (motor activities) seperti senam, menari, atletik, melukis.
5. Aktivitas menulis (writing activities) seperti mengarang, membuat makalah, membuat surat.

Dalam diri masing-masing siswa terdapat �prinsip aktif� yakni keinginan berbuat dan bekerja sendiri. Sehubungan dengan hal tersebut, sistem pembelajaran dewasa ini menekankan pada pendayagunaan asas aktifitas (keaktifan) dalam proses belajaran dan pembelajaran untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Azas aktivitas adalah azas yang mengaktifkan jasmani dan rohani. Azas ini hendaknya guru dalam memberikan setiap pengajaran berusaha membangkitkan aktivitas, baik jasmani maupun rohani kepada murid pada waktu menerima pelajaran. Keaktifan jasmani adalah kegiatan yang nampak bila murid sibuk bekerja seperti melakukan percobaan, membuat konstruksi model dan lain-lain. Sedengkan keaktifan rohani adalah kegiatan yang nampak bila murid sedang mengamati dengan teliti, mengingat memecahkan persoalan dan mengambil kesimpulan (_ _ _ _, 1981:25).
Menurut Hamalik (2003:175) Penggunaan asas aktivitas besar nilainya bagi pengajaran para siswa, oleh karena:
1. Para siswa mencari pengalaman sendiri dan langsung mengalami sendiri.
2. Berbuat sendiri akan mengembangkan seluruh aspek pribadi siswa secara integral.
3. Memupuk kerja sama yang harmonis dikalangan siswa.
4. Para siswa bekerja menurut minat dan kemampuan sendiri.
5. Memupuk disiplin kelas secara wajar dan suasana belajar menjadi demokratis.
6. Mempererat hubungan sekolah dan masyarakat, dan hubungan antara orang tua dengan guru.
7. Pengajaran diselengggarakan secara realistis dan konkret sehingga mengembangkan pemahaman dan berpikir kritis serta menghindarkan verbalistis.
8. Pengajaran disekolah menjadi hidup sebagaimana aktivitas dalam kehidupan di masyarakat.

Jadi dapat disimpulkan bahwa aktivitas belajar dapat membangkitkan minat dan motivasi dalam diri siswa melalui pengalaman langsung tanpa adanya paksaan dari orang lain sehingga belajar akan menjadi lebih bermakna.
Didalam aktivitas belajar siswa, terdapat 6 (enam) indikator pada penilaian aktivitas siswa yang masing-masing indikator terdapat 4 (deskriptor), antara lain sebagai berikut:
1. Kesiapan siswa dalam mengikuti dan menerima materi pelajaran
a. Siswa menyiapkan alat kelengkapan belajarnya
b. Siswa mengikuti arahan yang diberikan oleh guru
c. Siswa menjawab pertanyaan guru mengenai materi yang berhubungan dengan materi yang sedang dipelajari
d. Siswa tidak mengerjakan pelajaran lainnya
2. Interaksi siswa dengan guru
a. Siswa mengajukan pertanyaan kepada guru terkait dengan hal yang belum jelas
b. Siswa mengemukakan pendapatnya jika ada yang perlu disampaikan kepada guru
c. Siswa berusaha menjawab dengan baik pertanyaan guru
d. Siswa berusaha memperbaiki jawaban pertanyaan yang sudah dijawab salah sebelumnya
3. Interaksi siswa dengan siswa
a. Siswa bertanya kepada rekannya yang lebih mampu
b. Siswa menjawab pertanyaan temannya
c. Siswa memperhatikan penjelasaan temannya
d. Siswa mencoba memperbaiki kesalahan temannya dalam mengerjakan soal
4. Kerjasama kelompok
a. Melakukan diskusi bersama anggota kelompoknya
b. Adanya pembagian tugas dalam kelompok
c. Saling membantu antar sesama kelompok
d. Mengerjakan tugas kelompok dengan seksama
5. Keterampilan siswa dalam Eksperimen/demonstrasi
a. Siswa mampu menggunakan alat percobaan dengan benar
b. Siswa melakukan pengukuran dengan benar
c. Siswa mencatat data hasil pengukuran
d. Siswa bertanggung jawab terhadap alat percobaan yang digunakan
6. Partisipasi dalam kegiatan pembelajaran
a. Siswa melakukan observasi demonstrasi/eksperimen
b. Siswa mempresentasikan hasil karya pada teman sekelasnya
c. Siswa menanggapi hasil karya rekannya
d. Siswa mempu menarik kesimpulan dari kegiatan pembelajaran



2.3 Prestasi Belajar
Prestasi belajar merupakan suatu gambaran dari suatu penguasaan kemampuan para peserta didik sebagaimana telah ditetapkan untuk suatu pelajar tertentu. Setiap usaha yang dilakukan dalam kegiatan pembelajaran baik oleh guru sebagai pengajar, maupun oleh peserta didik sebagai pelajar bertujuan untuk mencapai prestasi yang setinggi-tingginya. Prestasi belajar adalah sebuah kata yang terdiri dari dua kata, yakni �prestasi� dan �belajar�.
�Prestasi adalah hasil dari suatu kegiatan yang telah dikerjakan, diciptakan, baik secara individual maupun kelompok�. Prestasi tidak akan pernah dihasilkan selama seseorang tidak melakukan suatu kegiatan (Djamarah, 1994:19).
Belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungan (Ahmadi dan Supriyono, 2004:128).
Prestasi belajar adalah hasil penilaian pendidikan tentang kemajuan siswa setelah melakukan aktivitas belajar. Ini berarti prestasi belajar tidak akan bisa diketahui tanpa dilakukan penilaian atas hasil aktivitas belajar siswa. Fungsi prestasi belajar bukan saja untuk mengetahui sejauhmana kemajuan siswa setelah menyelesaikan suatu aktivitas, tetapi yang lebih penting adalah sebagai alat untuk memotivasi setiap siswa agar lebih giat belajar, baik secara individu maupun kelompok (Djamarah, 1994:24).
Sedangkan Menurut Nurinasari (2004), �Prestasi belajar merupakan suatu gambaran dari penguasaan kemampuan para peserta didik sebagaimana telah ditetapkan untuk suatu pelajaran tertentu�. Setiap usaha yang dilakukan dalam kegiatan pembelajaran baik oleh guru sebagai pengajar, maupun oleh peserta didik sebagai pelajar bertujuan untuk mencapai prestasi yang setinggi-tinginya.
Menurut Ahmadi dan Supriyono (2004:138) prestasi belajar yang dicapai seseorang merupakan hasil interaksi berbagai faktor yang mempengaruhinya baik dari dalam diri (faktor internal) maupun dari luar diri (faktor eksternal) individu.
Yang tergolong faktor internal adalah:
1. Faktor jasmaniah (fisiologi) baik yang bersifat bawaan maupun yang diperoleh. Yang termasuk faktor ini misalnya penglihatan, pendengaran, struktur tubuh, dan sebagainya.
2. Faktor psikologis baik yang bersifat bawaan maupun yang diperoleh terdiri atas:
a. Faktor intelektif yang meliputi :
1. Faktor potensial yaitu kecerdasan dan bakat.
2. Faktor kecakapan nyata yaitu prestasi yang dimiliki.
b. Faktor non-intelektif, yaitu unsur-unsur kepribadian tertentu seperti sikap, kebiasaan, minat, kebutuhan, motivasi, emosi, penyesuaian diri.
3. Faktor kematangan fisik maupun psikis.
Yang tergolong faktor eksternal, ialah:
a. Faktor sosial yang terdiri dari atas:
1. Lingkungan keluarga;
2. Lingkungan sekolah;
3. Lingkungan masyarakat;
4. Lingkungan kelompok;
b. Faktor budaya seperti adat istiadat, ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian.
c. Faktor lingkungan fisik seperti fasilitas rumah, fisilitas belajar dan iklim.
24 Kerangka Berfikir
Prestasi belajar fisika di SMU Negeri 1 Sakra Timur tergolong rendah. Disamping itu metode yang digunakan masih dominan menggunakan metode ekspositori. Peran guru lebih dominan yang menyebabkan keterlibatan siswa atau peran aktif siswa dalam pembelajaran kurang.
Dalam proses belajar mengajar, guru dituntut untuk memiliki kemampuan dan keterampilan dalam memilih dan melaksanakan metode, strategi belajar yang baik dan menentukan pendekatan pembelajaran yang digunakan untuk menyampaikan materi pelajaran yang dapat membuat siswa belajar secara efektif dan efisien sehingga tujuan pengajaran dapat dicapai secara maksimal. Selain itu juga, guru harus kreatif menciptakan proses kegiatan belajar mengajar yang tidak lagi bersifat ekspositori yaitu guru menulis papan ditulis, siswa mengerjakan soal dibuku LKS serta pemberian PR yang sifatnya monoton dan kurang variasi. Namun siswa juga diikut aktifkan dalam kegiatan belajar mengajar sehingga suasana kelas menjadi lebih hidup. Di dalam memilih dan menentukan metode atau model yang digunakan oleh guru akan berdampak pada tinggi rendahnya aktivitas siswa dalam mengikuti proses pembelajaran yang mengakibatkan akan berdampak pula pada prestasi belajar.
Salah satu model pembelajaran yang dapat meningkatkan keterlibatan langsung siswa belajar salah satunya menggunakan model pembelajaran konstruktivisme yang dikemas dalam nuansa yang menarik untuk membangkitkan minat dan membuat siswa lebih aktif dalam belajar. Karena model pembelajaran ini menuntut keterlibatan siswa secara penuh dan aktif belajar. Guru hanya bersifat sebagai fasilitator pembelajaran. Materi pembelajaran terintegrasi, menggunakan pemikiran, pengalaman, dan minat siswa untuk mengarahkan pembelajaran. Siswa terlibat dalam proses pembelajaran, sehingga suasana belajar akan menjadi menarik, karena siswa telah diajak untuk belajar.
Pengajaran yang berasaskan pendekatan Konstruktivisme memberi peluang kapada guru untuk memilih kaedah-kaedah pengajaran dan pembelajaran yang sesuai dan menentukan sendiri yang diperlukan untuk memperoleh sesuatu konsep atau pengetahuan.
Menurut Mulyasa (2004:239), Model pembelajaran konstruktivisme memperlihatkan bahwa pembelajaran merupakan proses aktif dalam membuat sebuah pengalaman menjadi masuk akal, dan proses ini sangat dipengaruhi oleh apa yang sudah diketahui orang sebelumnya. Karena itu, dalam setiap kegiatan pembelajaran guru harus memperoleh, atau sampai pada, persamaan pemahaman dengan murid. Dalam model konstruktivisme, pembelajaran melibatkan negosiasi (pertukaran pikiran) dan interprestasi. Wacana penyesuaian pikiran ini dapat dilakukan antara murid dengan guru, atau antara sesama murid. Karena itu strategi pembelajaran kooperatif (kerjasama) adalah sangat ideal. Dalam model konstruktivisme harus tercipta hubungan kerjasama antara guru dengan murid, atau antara sesama murid.
Dengan demikian untuk mengatasi masalah yang dihadapi di SMU Negeri 1 Sakra Timur akan dicoba diterapkan model pembelajaran konstruktivisme sehingga diharapkan aktivitas siswa dalam proses pembelajaran dapat meningkat yang pada akhirnya nanti berdampak pada prestasi belajar siswa.
2.5 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan uraian kajian teori dan kerangka berfikir di atas, maka hipotesis tindakan penelitian ini adalah �Penerapan model pembelajaran konstruktivisme akan dapat meningkatkan aktivitas dan prestasi belajar fisika siswa kelas X1 semester 2 di SMA Negeri 1 Sakra Timur Tahun Ajaran 2007/2008�











BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (classroom action research), yang pada hakekatnya merupakan bentuk kajian yang dilakukan oleh pelaku tindakan pada saat mengajar di kelas yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas proses belajar mengajar dan memperdalam pemahaman terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan.
3.2 Subyek dan Obyek Penelitian
Subyek penelitian ini adalah siswa kelas X1 semester 2 tahun pelajaran 2007/2008 di SMA Negeri 1 Sakra Timur. Adapun jumlah siswa yang menjadi subyek penelitian ini adalah 41 orang yang terdiri dari 20 orang siswa yang berjenis kelamin laki-laki dan 21 orang siswa yang berjenis kelamin perempuan.
Obyek penelitian ini adalah 1) aktivitas, dan 2) Prestasi terhadap penggunaan model pembelajaran konstruktivisme dengan model demonstrasi.pada pokok bahasan Suhu.
3.3 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan 2008 di SMU Negeri 1 Sakra Timur tahun pelajaran 2006/2007



3.4 Faktor yang Diselidiki
Berdasarkan permasalahan yang dirumuskan ada beberapa faktor yang ingin diselidiki yaitu sebagai berikut:
1. Faktor siswa: dengan melihat peningkatan hasil belajar siswa melalui hasil evaluasi yang diperoleh pada setiap siklus.
2. Faktor pengajar: dengan melihat cara pengajar merencanakan pengajaran dan pelaksanaan pembelajaran di kelas dengan menggunakan model pembelajaran konstruktivisme melalui metode demonstrasi.
3. Proses belajar mengajar: dengan melihat aktivitas siswa dan pengajar selama kegiatan belajar mengajar berlangsung.
3.5 Prosedur Penelitian
Penelitian ini tergolong penelitian tindakan kelas (classroom action research). Oleh karenanya prosedur yang digunakan dalam penelitian ini adalah prosedur penelitian tindakan kelas. Prosedur pelaksanaan penelitian tindakan kelas ini terdiri dari beberapa siklus. Untuk dapat melihat kemampuan siswa dalam belajar, maka pengajar mengumpulkan data hasil tes belajar siswa untuk materi sebelumnya yang berfungsi sebagai evaluasi awal. Sedangkan observasi awal dilakukan untuk dapat mengetahui tindakan yang tepat yang akan diberikan dalam meningkatkan hasil belajar siswa. Adapun tiap siklus itu, akan dilaksanakan sesuai dengan skenario yang telah dibuat dan tiap siklus dibagi menjadi 4 (empat) tahap kegiatan yaitu: perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi dan evaluasi dan refleksi.

Adapun kegiatan tiap tahap untuk masing-masing siklus dirinci sebagai berikut:
1. Perencanaan, kegiatan yang dilakukan pada tahap perencaaan ini adalah:
1. Membuat skenario pembelajaran.
2. Membuat lembar observasi.
3. Merencanakan analisis hasil tes.
2. Pelaksanaan tindakan, dengan langkah-langkah kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah melaksanakan skenario pembelajaran yang telah direncanakan.
Langkah-langkah kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah:
a. Tahap Apersepsi meliputi:
1. Guru menyampaikan materi pelajaran yang akan dipelajari.
2. Guru menyampaikan manfaat mempelajari materi tersebut.
3. Guru mengaitkan materi yang dipelajari dengan materi yang telah dipelajari sebelumnya.
b. Tahap Eksplorasi melliputi:
1. Guru mendemonstarsikan cara kerja alat sebelum siswa melakukan kegiatan eksperimen.
2. Guru memberikan LKS kepada masing-masing kelompok sehingga siswa dihadapkan pada masalah yang tertuang dalam LKS.
3. Guru memberikan kesempatan kepada setiap kelompok untuk berdiskusi.


c. Tahap Diskusi dan Penjelasan konsep meliputi:
1. Memberikan kesempatan kepada setiap perwakilan kelompok untuk mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya.
2. Memberikan kesempatan kepada kelompok lain untuk menanggapi hasil kerja kelompok yang tampil sehingga di temukan suatu konsep.
3. Guru Memberikan kesempatan kepada setiap siswa untuk bertanya maupun menjawab permasalahan yang muncul dari kelompok lain.
d. Tahap Pengembangan dan Aplikasi meliputi:
1. Guru memberikan penegasan, penguatan dan pembenaran terhadap jawaban kelompok yang presentasi.
2. Memberikan kesempatan siswa bertanya.
3. Mengarahkan siswa membuat kesimpulan materi yang telah dipelajari.
4. Memberikan tugas rumah untuk mengerjakan soal latihan yang ada pada buku paket.
4. Observasi dan evaluasi, pada tahap ini dilakukan proses observasi terhadap pelaksanaan tindakan dengan menggunakan lembar observasi yang telah dibuat peneliti, dimana pada tahap ini peneliti diobservasi oleh guru bidang studi tentang pelaksanaan kegiatan belajar mengajar apakah sudah sesuai dengan skenario pembelajaran dan siswa diobservasi oleh observer. Pada akhir siklus dilakukan evaluasi belajar yang dilakukan dengan memberikan tes dalam bentuk obyektif dan subyektif

5. Refleksi, pada tahap ini guru dan peneliti mengkaji pelaksanaan dan hasil yang diperoleh dalam pemberian pada siklus I. Sebagai acuan dalam refleksi ini adalah observasi dan evaluasi. Hasil ini digunakan sebagai dasar memperbaiki serta menyempurnakan perencanaan pada siklus selanjutnya.
Adapun langkah kegiatan yang dilakukan untuk masing-masing siklus II dan III hampir sama seperti siklus I yang terdiri dari 4 tahapan kegiatan yaitu perencanaan, pelaksanakan tindakan, observasi, dan evaluasi serta refleksi, tetapi pada siklus II tahapan-tahapan kegiatan yang dilakukan tergantung pada hasil refleksi siklus I, begitu juga dengan siklus III yang tergantung pada hasil refleksi siklus II.



















3.6 Teknik Pengumpulan Data
Data tentang aktivitas siswa dalam proses belajar mengajar dikumpulkan melalui metode observasi yang berisikan deskriptor-deskriptor dalam indikator yang telah ditentukan. Observasi dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh gambaran secara langsung tentang aktivitas belajar siswa dan aktivitas guru/peneliti selama proses belajar mengajar berlangsung. Dalam hal ini Hasil observasi guru/peneliti dijadikan sebagai masukan bagi guru/peneliti yang bersangkutan untuk lebih meningkatkan kualitas dirinya pada pengajaran selanjutnya.
Instrumen penelitian yang digunakan dalam pengumpulan data aktivitas belajar siswa dan aktivitas guru/peneliti adalah dengan menggunakan lembar observasi yang berisikan deskriptor-deskriptor dalam indikator kegiatan.siswa dan guru/peneliti. Setiap deskriptor yang tampak pada masing-masing indikator selama observasi dicatat pada daftar observasi dengan memberikan nilai sesuai dengan banyaknya deskriptor yang tampak. Skor 4 diberikan jika semua deskriptor yang tampak, skor 3 diberikan jika ada 3 deskriptor yang tampak, skor 2 diberikan jika ada 2 deskriptor yang tampak, skor 1 diberikan jika ada 1 deskriptor yang tampak, skor 0 diberikan jika tidak ada deskriptor yang tampak
Sedangkan pengumpulan data tentang hasil belajar siswa diambil dengan menggunakan instrumen yang berupa tes tertulis yang bersifat obyektif dan subyektif pada tiap siklus. Data hasil belajar siswa digunakan untuk mengetahui peningkatan prestasi belajar siswa.

3.7 instrumen Penelitian
Instrumen yang dipakai dalam penelitian ini berupa tes tertulis yang bersifat obyektif dan subyektif. Namun sebelum dilakukan ujicoba instrumen. Ujicoba instrument dilakukan di SMU Negeri 1 Sakra Timur Kelas II. Uji instrumen ini bertujuan untuk mengetahui baik atau tidaknya butir soal yang diberikan, maka perlu dilakukan analisis butir soal. Menurut Suharmo (1984), tes yang baik adalah tes yang memenuhi syarat: validitas, reabilitas, indeks daya beda, indeks kesukaran, objektifitas, dan kepraktisan.
3.7.1 Validitas
Validitas adalah suatu ketelitian dan ketepatan suatu alat pengukuran, yang bila alat pengukuran tersebut (dalam hal ini tes) dipergunakan untuk mengukur memberikan hasil sesuai dengan besar kecilnya gejala yang diukur. Untuk menghitung validitas item tes digunakan rumus sebagai berikut :

Keterangan:
koefisien korelasi biserial
Mean skor dari subjek-subjek yang menjawab betul item yang dicari korelasinya dengan tes
Mean skor total (skor rata-rata dari seluruh pengikut tes)
Standar deviasi skor total
proposi subjek yang menjawab betul item tersebut

(Arikunto,1998:270)
3.7.2 Reliabilitas
Reliabilitas adalah suatu keajegan (ketetapan/kemantapan) suatu alat pengukuran yang bila alat pengukuran tersebut (dalam hal ini tes) dipergunakan untuk mengukur, selalu memberikan hasil yang ajeg (tetap/mantap). Dalam menentukan reliabilitas tes dapat menggunakan teknik belah dua ganjil atau awal akhir, selanjutnya meng-korelasikan skor belah pertama dan skor belah kedua dengan rumus sebagai berikut:

Keterangan:
Koefisien korelasi antar x dan y
Jumlah subyek
Skor belahan pertama
Skor belahan kedua
(Arikunto, 1998:162)
Oleh karena indeks korelasi yang diproleh baru menunjukkan hubungan antar dua belahan instrumen, maka untuk memproleh indeks reliabilitas tes ke-seluruhan dihitung dengan persamaan Spearman-Brown yaitu:

Keterangan:
= Reabilitas tes
Koefisien korelasi antara x dan y
(Arikunto, 1988:173)
3.7.3 Indeks Daya Beda
Indeks daya beda menunjukkan angka besarnya daya beda. Indeks daya beda suatu tes adalah bagaimana kemampuan tes itu untuk membedakan siswa-siswa yang termasuk kelompok atas atau pandai dengan siswa-siswa yang termasuk kelompok bawah atau kurang. Daya pembeda tes dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

Keterangan:
Daya pembeda
Banyak kelompok atas yang menjawab item itu dengan benar
Banyak kelompok bawah yang menjawab item itu dengan benar
Jumlah peserta kelompok atas
Jumlah peserta kelompok bawah
Proporsi peserta kelompok atas yang menjawab benar
(P = Indeks kesukaran item)
Proporsi peserta kelompok bawah yang menjawab benar (Arikunto , 1999:88)
Adapun ketentuan indeks daya beda yaitu: (Suharmo:1984)
1. 0,00 = D = 0,20 : jelek
2. 0,21 = D = 0,40 : cukup
3. 0,41 = D = 0,70 : baik
4. 0,71 = D = 1,00 : baik sekali.
3.7.4 Indeks Kesukaran Soal
Indeks kesukaran soal ialah bilangan yang menyatakan mudah dan kesukaran suatu tes. Soal yang baik adalah soal yang tidak terlalu mudah atau tidak terlalu sukar. Untuk menghitung indeks kesukaran soal suatu tes di-pergunakan rumus:

Keterangan :
TK = Indeks tingkat kesukaran soal
U = Jumlah siswa kelompok atas yang menjawab benar
L = jumlah siswa kelompok bawah yang menjawab benar
T = Jumlah siswa seluruhnya
(Purwanto :1990)


Menurut ketentuan yang sering diikuti, indeks kesukaran item di klasifikasikan sebagai berikut :
Soal dengan 0,00 = P = 0,30 adalah soal sukar
Soal dengan 0,31 = P = 0,70 adalah soal sedang
Soal dengan 0,71 = P = 1,00 adalah soal mudah
(Purwanto:1990)
3.7.5 Objektivitas
Obyektif berarti tidak adanya unsur pribadi yang mempengaruhi. Sebuah tes dikatakan memiliki obyektivitas apabila dalam melaksanakan tes itu tidak ada faktor subyektif yang mempengaruhi. Hal ini terutama terjadi pada system skoringnya. Objektivitas suatu tes ditentukan oleh tingkat atau kwalitas kesamaan skor- skor yang dipropleh dengan tes tersebut, meskipun hasil tes itu dinilai oleh beberapa orang penilai.
3.7.6 Praktikabilitas
Suatu tes dikatakan mempunyai kepraktisan yang tinggi, apabila tes tersebut bersifat praktis yaitu : 1) Mudah dilaksanakan. 2) Mudah pe-meriksaannya. 3) Mempunyai petunjuk yang jelas.





3.8 Teknik Analisis Data
1. Aktivitas Belajar Siswa
Peningkatan aktivitas belajar siswa dapat diketahui melalui observasi terhadap perilaku siswa selama mengikuti proses pembelajaran dengan lembar observasi yang terdiri dari indikator-indikator dengan beberapa deskriptor.
Data aktifitas belajar siswa dianalisis dengan cara sebagai berikut:
a. Menentukan skor untuk tiap indikator aktivitas siswa pada penelitian ini peneliannya mengikuti aturan berikut: Skor 4 diberikan jika semua diskriptor nampak, skor 3 diberikan jika 3 deskriptor nampak, skor 2 diberikan jika 2 deskriptor nampak, skor 1 diberikan jika 1 deskriptor nampak, dan skor 0 diberikan jika tidak ada deskriptor nampak.
b. Menghitung Aktivitas belajar siswa dengan rumus:

Keterangan: A = Rata-rata skor aktivitas belajar siswa
S = Total skor = Jumlah skor yang diperoleh oleh siswa
n = Banyak siswa
i = Banyak item
c. Menentukan Mi rerata (Mean) ideal dan SDi simpangan baku ideal dengan rumus sebagai berikut:
(Skor tertinggi + Skor terendah)
(Skor tertinggi � Skor terendah)
Keterangan: Mi = Rerata(Mean Ideal)
SDi = Standar depiasi ideal
Sehingga
Untuk menentukan kriteria aktivitas siswa, dianalisis secara diskriptif kualitatif dengan menggunakan skor skala 1-5, sehingga diperoleh skor maksimal ideal (SMI) adalah skor maksimalnya 4 dikalikan dengan jumlah item aktivitas siswa yang dinilai.
Kualifikasi aktivitas belajar siswa ditentukan berdasarkan pedoman konversi seperti pada tabel 3.1 berikut:
Interval Nilai Kriteria

30,00
Sangat aktif


Aktif


Cukup aktif


Kurang aktif


Sangat kurang aktif
(Nurkencana, 1992)




2. Prestasi Belajar Siswa
Data prestasi belajar fisika yang diperoleh siswa dianalisis dengan mencari ketuntasan belajar dan rata-rata kelas. Sedangkan kualifikasi prestasi belajar siswa diperoleh dengan pedoman konversi seperti pada table 3.3 berikut:
Tabel 3.2 Pedoman Konversi Skor Prestasi Belajar Siswa
NO SKOR KATEGORI
1 85-100 Sangat Baik
2 70-84 Baik
3 55-69 Cukup
4 40-54 Kurang
5 0-39 Sangat Kurang
(Depdikbud,1995)
Untuk mengetahui ketuntasan belajar siswa pada pembelajaran yang dicapai pada tiap siklus, digunakan rumus sebagai berikut:
a. Menentukan nilai rata-rata kelas

Keterangan: R = Nilai rata-rata kelas
SX = Jumlah nilai yang diperoleh siswa
N = Jumlah siswa yang ikut tes (Sudjana,1992)
Prestasi belajar siswa dikatakan meningkat apabila terdapat peningkatan rata-rata nilai dari rata-rata sebelumnya.



b. Menentukan ketuntasan individual
Untuk mengetahui ketuntasan belajar siswa, data dianalisis dengan rumus:

Keterangan: KK = Ketuntasan Klasikal
X = Jumlah Siswa yang memperoleh nilai
Z = Jumlah siswa yang ikut tes. (Sudjana,1992)

Kelas dapat dikatakan tuntas secara klasikal terhadap materi pelajaran yang diajarkan jika ketuntasan klasikal mencapai 85 %.












DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu dan Supriyono, Widodo. 2004.Psikologi Belajar (Edisi Revisi). Jakarta: PT Rineka Cipta.

Azhar, M. 1993. Proses Belajar Mengajar Pola CBSA. Surabaya: Usaha Nasional.
Depdikbud. 1995. Garis-Garis Besar Program Pengajaran (GBPP). Suplemen 1999: Jakarta.

Djamarah, Syaiful. 1994. Prestasi Belajar Dan Kompetensi Guru. Surabaya: Usaha Nasional.

Djamarah, Syaiful dan Zain, Aswan. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Ghozali, Abbas. 2003. Jurnal Pendidikan Dan Kebudayaan. http://www.depdiknas.go.id/jurnal/40/editorial 40.html

Hamalik, Oemar. 2003. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Karso, dkk. 1993. Dasar-Dasar Pendidikan MIPA. Jakarta: Universitas Terbuka, Depdikbud.

Mulyasa, E. 2004. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset.

Nurkencana dan Sumartama. 2001. Evaluasi Hasil Belajar. Surabaya: Usaha Nasional.

Nurinasari, Betha. 2004. Sistem Pembelajaran KBK Terhadap Motivasi Belajar Para Peserta Didik Pada Bidang Studi Fisika. http: // artikel.us/art 05-07.html.

Sudjana. 1992. Metode Statistik. Bandung: Tarsito.

Syah, Muhibbin. 1999. Psikologi Belajar. Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu.

Syah, Muhibin. 2005. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset.

_ _ _ _ . 1981. Pengantar Didaktik Metodik Kurikulum PBM. Jakarta: C.V. Rajawali.

Usman, Uzer. 2006. Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Yulaelawati, Ella. 2004. Kurikulum Dan Pembelajaran Filosofi Teori Dan Aplikasi. Bandung: Pakar Raya.