Blogger templates

Tampilkan postingan dengan label skripsi matematika SMP. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label skripsi matematika SMP. Tampilkan semua postingan

Jumat, 03 Juni 2011

Identifikasi Strategi Pembelajaran Matematika dalam Menyikapi Pergeseran Paradigma dari Teacher centered ke Student centered pada Guru SMP/MTs Negeri di Kota Mataram

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Sejak dulu hingga saat ini, orang sudah sering mengungkapkan fakta tentang rendahnya minat siswa atau bahkan tingginya ketakutan siswa pada pelajaran Matematika. Hal ini merupakan salah satu dampak dari adanya kesalahan proses pembelajaran yang menyebabkan siswa yang pada dasarnya suka pada pelajaran Matematika, namun seiring waktu harus merasa jenuh karena mereka merasa terus disuapi dengan angka-angka dan merasa ketakutan karena harus berpikir keras menguras otak untuk mendapatkan jawaban dari suatu perhitungan. Fenomena lain yang juga nyata terlihat bahwa mungkin saja ada beberapa siswa dengan mudah menebak dan menemukan solusi dari suatu perhitungan matematika namun solusi tersebut mereka peroleh tanpa adanya proses mengerti.
Usaha untuk memperbaiki kesalahan proses pembelajaran matematika telah berlangsung sejak lama dan hingga kini masih berlanjut, termasuk didalamnya berkaitan dengan kurikulum pelajaran Matematika. Kurikulum pelajaran Matematika telah mengalami 5 kali pergantian, yaitu kurikulum 1975, kurikulum 1984, kurikulum 1994, suplemen kurikulum 1999, dan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang kini diganti pula dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang telah diserukan oleh pemerintah untuk diterapkan mulai tahun ajaran 2006/2007.
BAB I
Salah satu tuntutan penting KBK adalah adanya perubahan paradigma atau reorientasi terhadap proses pembelajaran dan prosedur penilaian hasil belajar.
Perubahan dari pembelajaran yang mekanistik, dan berpusat pada guru (teacher centered), serta besifat �mencekoki� (telling/transfering) ke pembelajaran yang kreatif, berdasarkan masalah real yang dekat dengan kehidupan siswa (contextual) dan berorientasi pada siswa aktif (active learning/student centered), serta mendorong siswa untuk menemukan kembali (reinvention) dan membangun (construction) pengetahuan secara mandiri (Sudiarta, 2005:330).
Karnadi (2006:1) mengungkapkan bahwa implementasi KTSP sebenarnya membutuhkan penciptaan iklim pendidikan yang memungkinkan tumbuhnya semangat intelektual dan ilmiah bagi setiap guru, mulai dari rumah, di sekolah, maupun di mayarakat. Hal ini berkaitan dengan adanya pergeseran peran guru yang semula lebih sebagai instruktur dan kini menjadi fasilitator pembelajaran.
Selanjutnya usaha perbaikan kesalahan proses pembelajaran matematika dari segi yang lebih sempit, yaitu strategi pembelajaran. Sentyasa (2003:125) menyatakan bahwa beberapa strategi dalam mengembangkan kemandirian peserta didik, antara lain dengan menerapkan CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif), belajar melalui modul dan paket belajar. Pengajaran berprogram strategi-strategi belajar tersebut dapat terlaksana apabila lembaga pendidikan, utamanya sekolah, didukung oleh bahan pustaka yang memadai dan pusat sumber belajar.
Namun dewasa ini pada umumnya strategi belajar lebih difokuskan pada penggunaan pendekatan, metode, dan media pembelajaran. Penggunaan pendekatan, metode, dan media dalam suatu kegiatan pembelajaran harus dirancang secara cermat. Guru senantiasa perlu memperhatikan karakteristik pokok bahasan, TPK (Tujuan Pembelajaran Khusus), materi, dan siswa. Kecermatan guru dalam memahami karakteristik ini sangat menentukan ketepatan pemilihan pendekatan metode dan media (Heryanto, 2001:874).
Akhir-akhir ini maraknya para peneliti dalam Penelitian Tindakan Kelas (PTK) menerapkan pembelajaran matematika dengan pendekatan CTL (Contextual Teaching and Learning), PMRI (Pembelajaran Matematika Realistik Indonesia), dan PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan).
Pembelajaran dengan pendekatan CTL harus dikemas menjadi proses �mengkonstruksi� bukan �menerima� pengetahuan. Dalam proses pembelajaran siswa membangun sendiri pengetahuan mareka melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar dan mengajar. Siswa menjadi pusat kegiatan bukan guru (Depdiknas, 2004 : 11).
PMRI merupakan pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik (pembelajaran yang dimulai dengan hal-hal nyata) yang memberikan kesempatan pada anak untuk saling bekerja sama dalam pembelajaran, jadi pembelajaran ini tidak fokus pada guru (Qozimah, 2005:3).
Hal yang biasa terdengar di telinga kita bahwa umumnya siswa takut dengan pelajaran Matematika, ketakutan siswa ini berusaha digantikan menjadi suatu hal yang menyenangkan melalui pembelajaran dengan pendekatan PAKEM. Dari hal menyenangkan diharapkan siswa mampu dengan sendirinya menjadi lebih aktif dalam pembelajaran.
Dari uraian di atas, titik kesamaan dari adanya implementasi kurikulum baru yaitu KBK dan KTSP yang saat ini sedang gencar diterapkan di sekolah-sekolah serta maraknya penerapan pendekatan-pendekatan baru pada pelajaran Matematika adalah usaha untuk mengubah paradigma (reorientasi) pembelajaran matematika dari teacher centered ke student centered. Akibatnya, para guru matematika memiliki tugas berat untuk menerapkan perubahan paradigma pembelajaran ini.
Guru matematika harus pintar memilih dan menerapkan strategi-strategi pembelajaran matematika yang sesuai dengan kondisi siswa di kelas, khususnya siswa yang duduk di bangku SMP/MTs. Anak-anak SMP/MTs pada umumnya masih memiliki sifat kekanak-kanakan karena peralihan dari SD (Sekolah Dasar). Guru di SMP/MTs tidak hanya dituntut mempunyai kemampuan mengajar yang baik tetapi juga kemampuan merancang dan mengelola pembelajaran. Itu berarti penguasaan terhadap bidang ajaran (subject matter) bukan lagi menjadi tekanan utama. Sebaliknya bagaimana mengelola kelas dan mengemas bahan ajar secara menarik sehingga dapat merangsang minat belajar siswa.
Untuk Provinsi Nusa Tenggara Barat, diharapkan kota Mataram yang dikenal sebagai kota pendidikan sekaligus Ibu Kota Nusa Tenggara Barat telah mampu menemukan dan menerapkan strategi-strategi pembelajaran matematika untuk menyikapi perubahan paradigma ini.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji dan meneliti masalah ini dengan mengambil judul penelitian �Identifikasi Strategi Pembelajaran Matematika dalam Menyikapi Pergeseran Paradigma dari Teacher centered ke Student centered pada Guru SMP/MTs Negeri di Kota Mataram�.

1.2 Fokus Penelitian
Untuk memperoleh kedalaman studi dalam konteksnya, maka situasi sosial yang ditetapkan sebagai tempat penelitian adalah SMPN 1 Mataram, SMPN 2 Mataram, SMPN 6 Mataram, SMPN 15 Mataram, dan MTsN 1 Mataram.
Situasi sosial yang diambil dalam penelitian ini adalah single social situation yaitu satu situasi sosial yang terdiri atas satu orang, dengan aktivitas tertentu dan tempat tertentu, sehingga subyek penelitian yang diambil adalah satu orang guru untuk masing-masing situasi sosial yang telah ditetapkan.
Untuk mempertajam penelitian, peneliti menetapkan fokus penelitian (batasan masalah). Fokus penelitian ditetapkan berdasarkan teori-teori dan referensi yang telah ada. Adapun Fokus penelitian diarahkan pada :
1. Pengetahuan guru SMPN 1 Mataram, SMPN 2 Mataram, SMPN 6 Mataram, SMPN 15 Mataram, dan MTsN 1 Mataram tentang pembelajaran student centered.
2. Perencanaan pembelajaran student centered yang disiapkan oleh guru SMPN 1 Mataram, SMPN 2 Mataram, SMPN 6 Mataram, SMPN 15 Mataram, dan MTsN 1 Mataram.
3. Proses pelaksanaan pembelajaran student centered yang dilakukan oleh guru SMPN 1 Mataram, SMPN 2 Mataram, SMPN 6 Mataram, SMPN 15 Mataram, dan MTsN 1 Mataram.
4. Teknik penilaian pembelajaran student centered yang diterapkan oleh guru SMPN 1 Mataram, SMPN 2 Mataram, SMPN 6 Mataram, SMPN 15 Mataram, dan MTsN 1 Mataram.

1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan fokus penelitian yang ditetapkan tersebut, maka masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut.
1. Bagaimana pengetahuan guru SMPN 1 Mataram, SMPN 2 Mataram, SMPN 6 Mataram, SMPN 15 Mataram, dan MTsN 1 Mataram tentang pembelajaran student centered?
2. Bagaimana perencanaan pembelajaran student centered yang disiapkan oleh guru SMPN 1 Mataram, SMPN 2 Mataram, SMPN 6 Mataram, SMPN 15 Mataram, dan MTsN 1 Mataram?
3. Bagaimana proses pelaksanaan pembelajaran student centered yang dilakukan oleh guru SMPN 1 Mataram, SMPN 2 Mataram, SMPN 6 Mataram, SMPN 15 Mataram, dan MTsN 1 Mataram, khususnya metode, pendekatan, dan media yang digunakan dalam pembelajaran serta bagaimana keaktifan siswa?
4. Bagaimana teknik penilaian pembelajaran student centered yang diterapkan oleh guru SMPN 1 Mataram, SMPN 2 Mataram, SMPN 6 Mataram, SMPN 15 Mataram, dan MTsN 1 Mataram?

1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi strategi pembelajaran matematika menyikapi pergeseran paradigma dari teacher centered ke student centered pada guru SMP/MTs Negeri di Kota Mataram. Namun secara spesifik tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui :
1. Pengetahuan guru SMPN 1 Mataram, SMPN 2 Mataram, SMPN 6 Mataram, SMPN 15 Mataram, dan MTsN 1 Mataram tentang pembelajaran student centered.
2. Perencanaan pembelajaran student centered yang disiapkan oleh guru SMPN 1 Mataram, SMPN 2 Mataram, SMPN 6 Mataram, SMPN 15 Mataram, dan MTsN 1 Mataram.
3. Proses pelaksanaan pembelajaran student centered yang dilakukan oleh guru SMPN 1 Mataram, SMPN 2 Mataram, SMPN 6 Mataram, SMPN 15 Mataram, dan MTsN 1 Mataram. khususnya metode, pendekatan, dan media yang digunakan dalam pembelajaran serta bagaimana keaktifan siswa.
4. Teknik Penilaian pembelajaran student centered yang diterapkan oleh guru SMPN 1 Mataram, SMPN 2 Mataram, SMPN 6 Mataram, SMPN 15 Mataram, dan MTsN 1 Mataram.

1.5 Manfaat Penelitian
Bila tujuan penelitian ini dapat tercapai, maka hasil penelitian akan memiliki manfaat teoritis dan praktis.
1.5.1 Manfaat teoritis
Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah untuk menambah corak ilmu pengetahuan khususnya dalam profesi keguruan pada aspek strategi pembelajaran matematika. Penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan atau referensi untuk penelitan lebih lanjut.
1.5.2 Manfaat praktis
Bila proses perencanaan, pelaksanaan, dan teknik penilaian pembelajaran student centered yang dilakukan oleh guru SMPN 1 Mataram, SMPN 2 Mataram, SMPN 6 Mataram, SMPN 15 Mataram, dan MTsN 1 Mataram telah ditemukan, maka akan bermanfaat untuk :
a) Guru
Sebagai masukan mengenai strategi pembelajaran matematika dalam rangka menyikapi pergeseran paradigma dari teacher centered ke student centered bagi guru matematika SMP/MTs khususnya guru yang masih menggunakan strategi pembelajaran teacher centered.

b) FKIP
Dapat dijadikan acuan dalam mempersiapkan lulusan yang berkompeten dan dapat lebih banyak membekali lulusannya dengan pengetahuan tentang strategi pembelajaran matematika yang student centered.
c) Mahasiswa
Agar mahasiswa calon guru khususnya mahasiswa FKIP program studi pendidikan matematika dapat lebih mempersiapkan diri menghadapi tantangan yang lebih besar yang berkaitan dengan penerapan strategi pembelajaran menyikapi perubahan paradigma pembelajaran matematika dari teacher centered ke student centered.
d) Peneliti
Peneliti memperoleh pengetahuan mengenai strategi pembelajaran matematika student centered serta dapat melihat langsung bagaimana implementasinya.
e) Lembaga penelitian
Bagi lembaga penelitian maupun perorangan dapat dijadikan titik tolak dalam melakukan penelitian lanjutan mengingat keterbatasan dalam penelitian ini.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Strategi Pembelajaran Matematika
Sudjana (2000:6) mengungkapkan bahwa pembelajaran adalah upaya pendidik untuk membantu peserta didik melakukan kegiatan belajar. Dalam pembelajaran guru menciptakan kondisi-kondisi atau mengatur lingkungan sedemikian rupa sehingga terjadi interaksi antara murid dengan lingkungan, guru, alat pelajaran dan sebagainya sehingga tercapai tujuan pelajaran yang ditentukan.
Sedangkan menurut Aqib (2002:41), pembelajaran adalah upaya mengorganisasi lingkungan untuk menciptakan kondisi belajar siswa.
Winataputra (1997:2) mengungkapkan bahwa pembelajaran merupakan sarana untuk memungkinkan terjadinya proses belajar dalam arti perubahan perilaku individu melalui proses yang diciptakan dalam rancangan proses pembelajaran. Pembelajaran harus melahirkan proses belajar melalui berbagai aktivitas yang sengaja dirancang untuk mencapai tujuan tertentu.
Hamzah (2006:145) mengemukakan bahwa dalam strategi pembelajaran menjelaskan komponen umum suatu perangkat material pembelajaran dan mengembangkan materi secara prosedural yang berdasarkan karakteristik siswa. Strategi pembelajaran merupakan hasil nyata yang digunakan untuk mengembangkan material pembelajaran, menilai material yang ada, merevisi material, dan merencanakan kegiatan pembelajaran.
Strategi pembelajaran dapat diartikan sebagai perencanaan yang berisi tentang rangkaian kegiatan yang didesain untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Ada dua hal yang patut dicermati dari pengertian di atas. Pertama, strategi pembelajaran merupakan rencana tindakan (rangkaian kegiatan) termasuk penggunaan metode atau pemanfaatan berbagai sumber daya/kekuatan dalam pembelajaran. Ini berarti penyusunan suatu strategi baru sampai pada proses penyusunan rencana kerja belum sampai pada tindakan. Kedua, strategi disusun untuk mencapai tujuan tertentu. Artinya arah dari semua keputusan penyusunan strategi adalah pencapaian tujuan. Dengan demikian penyusunan langkah-langkah pembelajaran, pemanfaatan berbagai fasilitas dan sumber belajar semuanya diarahkan dalam upaya pencapaian tujuan. Oleh sebab itu, sebelum menetapkan strategi, perlu dirumuskan tujuan yang jelas yang dapat diukur keberhasilannya, sebab tujuan adalah rohnya dalam implementasi suatu strategi (Sanjaya, 2007:124).
Sedangkan menurut Ahmadi (2005:12) strategi berarti pilihan pola belajar mengajar yang diambil untuk mencapai tujuan secara efektif.
Mengadopsi definisi-definisi di atas dalam pembelajaran matematika, berarti strategi pembelajaran matematika adalah upaya pendidik dalam mengorganisasi baik dalam merencanakan berupa penggunaan pendekatan, metode, dan sumber daya pembelajaran yang berdasarkan karakteristik siswa maupun dalam mengembangkan, menilai, dan merevisi material pembelajaran matematika yang sengaja dirancang untuk mencapai tujuan pelajaran Matematika secara efektif.
2.2 Perubahan Paradigma dalam Pembelajaran Matematika
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, paradigma adalah kerangka berpikir atau model dalam teori ilmu pengetahuan. Sesuai dengan definisi tersebut, tentunya orang-orang yang bergelut di bidang pendidikan menginginkan adanya suatu kerangka berpikir yang dapat dijadikan model (paradigma) baru untuk meningkatkan kualitas pembelajaran khususnya pelajaran Matematika karena memang belajar maupun mengajar matematika tidaklah mudah.
Perubahan paradigma ini tentunya memiliki latar belakang yang perlu kita ketahui khususnya bagi guru matematika maupun kalangan pendidikan matematika lainnya. Dengan memahami secara memadai latar belakang perlunya dilakukan perubahan paradigma pembelajaran matematika maka diperoleh semangat positif dalam mengembangkan model dan strategi pembelajaran yang sesuai dan berdampak pada kualitas pembelajaran matematika di kelas serta berdampak positif pula terhadap sikap, minat, apresiasi, dan prestasi siswa dalam pelajaran Matematika.
Menurut Sudiarta (2005:321), dari hasil penelitiannya terdapat 4 dasar pemikiran perubahan paradigma dalam pembelajaran matematika yang dapat dijadikan latar belakang munculnya paradigma baru dalam pendidikan matematika, khususnya latar belakang perlunya perubahan dalam pembelajaran matematika yaitu dasar faktual, dasar filosofis, dasar metodologis, dan dasar kurikulum.

1. Dasar Faktual
Selama ini orang lebih memperhatikan tentang rendahnya prestasi belajar matematika siswa yang ditunjukkan dengan angka-angka, namun sangat jarang orang mencermati bagaimana proses pembelajaran matematika sehingga terjadi rendahnya prestasi belajar matematika siswa tersebut.
Proses pembelajaran matematika sangat bergantung pada kualitas pembelajaran di sekolah dan fakta yang ditemukan bahwa kualitas pembelajaran matematika di sekolah masih rendah karena pembelajaran matematika di kelas pada umumnya masih dengan rutinitas yang sama yaitu kegiatan yang diawali dengan penjelasan konsep yang diperjelas dengan contoh, kemudian dilanjutkan dengan latihan soal-soal matematika, sehingga tak jarang ditemukan banyak siswa yang merasa kesulitan ketika disuruh menyelesaikan soal yang berbeda dengan contoh yang diberikan oleh guru.
Kesulitan yang dirasakan oleh siswa dipengaruhi oleh penyajian masalah matematika dalam bentuk tertutup yaitu masalah (soal) matematika yang dirumuskan hanya memiliki satu jawaban yang benar dan satu cara pemecahan. Fakta ini menuntut adanya perubahan dalam pembelajaran sehingga pembelajaran matematika tidak berkutat hanya pada penyampaian masalah tertutup namun lebih kepada pembelajaran yang benar-benar memberikan kekuatan lebih besar kepada siswa sehingga ide-ide yang telah ada dalam pikiran mereka dapat dijadikan konsep yang lebih bermakna.
Dengan adanya perubahan dalam pembelajaran matematika, diharapkan siswa memiliki kemampuan berpikir sesuai dengan enam jenjang kognitif yang dikemukakan oleh Bloom yaitu : 1) tahap pengetahuan, berupa kemampuan mengerjakan algoritma rutin; 2) tahap pemahaman, berupa pemahaman konsep, prinsip, aturan, generalisasi, dan struktur matematika; 3) tahap aplikasi, berupa kemampuan untuk memilih, menggunakan, dan menerapkan dengan tepat suatu teori atau cara pada situasi baru; 4) tahap analisis, berupa kemampuan untuk menguraikan suatu masalah (soal) menjadi bagian-bagian yang lebih kecil serta mampu untuk memahami hubungan di antara bagian-bagian tersebut; 5) tahap sintesis, berupa kemampuan untuk menyusun kembali elemen masalah dan merumuskan suatu hubungan dalam penyelesaiannya; 6) tahap evaluasi, berupa kemampuan untuk mendapatkan pertimbangan terhadap suatu situasi, ide, dan metode berdasarkan suatu patokan atau kriteria.
Tak hanya dari segi kognitif, perubahan pembelajaran matematika juga diharapkan dapat meningkatkan ranah kognitif maupun afektif siswa sehingga pembelajaran dapat berlangsung secara interaktif.

2. Dasar Filosofis
Cara pandang atau persepsi terhadap suatu hal sangat mempengaruhi perlakuan atau interaksi seseorang dengan hal tersebut. Begitu juga dengan cara pandang atau persepsi terhadap matematika. Proses penyusunan kurikulum matematika (isi, pendekatan, strategi, dan prosedur evaluasi pembelajaran) dan pembelajaran matematika di kelas dipengaruhi oleh cara pandang atau persepsi terhadap matematika. Secara historis dan filosofis, ada beberapa cara pandang matematika yang dikemukakan oleh para ahli pendidikan yang berdampak pada terbentuknya metode dan perlakuan terhadap siswa dalam pembelajaran matematika.
Ada beberapa cara pandang matematika yang sejalan dengan kaum behavioristik yang memunculkan adanya pembelajaran teacher centered, antara lain the platonic view yaitu pandangan yang berasumsi bahwa matematika cenderung hanya cocok untuk orang berbakat saja, jadi bagi orang yang tidak memiliki bakat tersebut akan sia-sia saja usaha mereka untuk memahami palajaran matematika.
Pandangan the platonic view senada dengan the instrumentalist view, yang memandang matematika itu sebuah keranjang alat-alat (a bag of tools) yang terdiri atas kumpulan prosedur dan teknik menghitung atau a body of computational rules and prosedure (Resnick dalam Sudiarta, 2005:325). Implikasi pandangan ini adalah dominannya pembelajaran matematika yang menekankan penguasaan fakta-fakta, prosedur, dan teknik-teknik atau algoritma rutin matematika, sehingga pembelajaran sering direduksi menjadi training dan drill rutin mengerjakan soal matematika. Hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa sejak lama pembelajaran matematika di sekolah-sekolah didominasi oleh metode pembelajaran yang diilhami oleh pandangan tersebut di atas.
Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan muncullah beberapa pandangan yang barlawanan dengan pandangan tadi yaitu pandangan yang memposisikan siswa sebagai pusat pembelajaran (student centered) yang memiliki seperangkat konsep alternatif tentang ide-ide matematika yang mempengaruhi belajar selanjutnya. pandangan-pandangan tersebut antara lain the problem solving view, yang memposisikan matematika itu bukan sebagai pengetahuan akhir, tetapi sebagai continually expanding field of human creation and invention (Ernest dalam Sudiarta, 2005:326). Pandangan inilah yang mengilhami perubahan pendekatan pembelajaran konvensional menjadi pembelajaran berpendekatan pemecahan masalah.
Pandangan the problem solving view sebenarnya bukanlah suatu yang baru, paling tidak secara historis dan filosofis, pernah diwakili oleh filosuf idealis seperti George Berkeley (1753), Immanuel Kant (1780), namun sekitar awal tahun 1970-an pandangan ini muncul lagi dalam bentuk constructivism dan mendapat sambutan luas di dunia pendidikan.
Esensi dari pandangan konstruktivisme adalah bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan apabila itu dimungkinkan informasi itu menjadi milik mereka sendiri (Depdiknas, 2004:11) sehingga kontruktivisme ini mengilhami terjadi pergeseran paradigma dalam pendidikan matematika, terutama di negara-negara barat seperti Belanda dan Jerman. Belanda dengan bendera Realistic Mathematics dan Jerman dengan bendera Cognitive Mathematics sama-sama mengklaim bahwa pelajaran Matematika merupakan human activity baik mental maupun fisik berdasarkan real life yang dapat dilakukan oleh semua orang.

3. Dasar Metodologis
Karena mengajar matematika tidaklah mudah, maka diperlukan suatu pedoman dalam mengajar matematika yang benar-benar menjadikan siswa mengalami apa yang dialami bukan hanya �mengetahui�nya. Para ahli atau peneliti dalam bidang matematika berpendapat bahwa tidak cukup mengandalkan teori psikologi atau metode-metode umum dalam ilmu psikologi sebagai pedoman dalam mengajar matematika. Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa tidak selamanya teori sejalan dengan kenyataan yang ada, walaupun teori tersebut terbentuk dari adanya penelitian terhadap suatu kenyataan.
Melihat kenyataan tersebut sudah seharusnya disediakan �ilmu psikologi khusus� sebagai cabang ilmu yang mewadahi penelitian pendidikan yang �menyentuh� substansi matematika itu sendiri. Sebagai contoh, tidaklah cukup mengatakan bahwa metode belajar tertentu, metode kartu kerja misalnya, dapat meningkatkan prestasi belajar matematika tanpa menyentuh dan menguraikan apa konsep matematika yang dituangkan dalam lembaran kartu kerja tersebut, mengapa konsep matematika tersebut dituangkan dalam lembaran kartu kerja, dan bagaimana implementasi konsep matematika itu dituangkan dalam kartu kerja tersebut.
Dengan adanya dasar filosofi yang berupa pandangan-pandangan tentang matematika seperti yang telah diuraikan di atas, memunculkan pertanyaan implikasi metodologis yaitu pendekatan dan metode pembelajaran apa yang sesuai untuk masing-masing cara pandang atau persepsi terhadap matematika tersebut. Jika matematika itu di pandang sebagai proses konstruksi human thinking (konstruktivisme) maka pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan paradigma pembelajaran saat ini yaitu CTL (Contextual Teching and Learning) dan PMRI (Pembelajaran Matematika Realistik Indonesia) yang diadopsi dari RME (Realistic Mathematic Education) yang dibentuk dan dikembangkan oleh Belanda.

4. Tuntutan Kurikulum
Amerika dengan NCTM-nya (National Council of Teachers of Mathematics) dapat dipandang sebagai kiblat reformasi dan inovasi pembangunan kurikulum matematika sedunia. Sejak Agenda For Action (1980) diluncurkan, NCTM merekomendasikan bahwa problem solving menjadi fokus pendidikan dan pembelajaran matematika. Walaupun agak terlambat kini diadopsi dengan baik dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang telah diujicobakan dan dikembangkan di Indonesia sejak tahun 2001. Namun sejak tahun 2006 pemerintah Indonesia telah mengembangkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Baik KBK maupun KTSP menuntut adanya perubahan paradigma terhadap proses pembelajaran dan prosedur penilaian hasil belajar siswa, namun dalam KTSP guru diharapkan dapat lebih kreatif dan inovatif dalam mengembangkan bahan ajar sesuai kebutuhan sekolah.

2.3 Paradigma Pembelajaran dari Teacher centered ke Student centered
Sebelum munculnya istilah pembelajaran teacher centered, telah sering terdengar istilah-istilah seperti pembelajaran konvensional atau pembelajaran teacher oriented. Seperti yang diungkapkan oleh Wicaksono (2007:1) bahwa pada dasarnya, ketiga bentuk pembelajaran yaitu pembelajaran teacher centered, teacher oriented maupun pembelajaran konvensional merupakan model pembelajaran kaum behavioristik.
Wicaksono (2007:1) dalam artikelnya mengungkapkan bahwa kalangan behaviorist berasumsi bahwa : 1) Proses belajar dapat berlangsung dengan tanpa mempertimbangkan potensi-potensi yang dimiliki peserta didik. Potensi peserta didik hanya menentukan tingkat kecepatan perubahan perilaku sebagai hasil belajar; 2) Proses belajar dapat berlangsung tanpa mempertimbangkan kesadaran dan kemauan peserta didik.
Wicaksono (2007:1) juga mengungkapkan bahwa kaum behaviorist ini mengembangkan sebuah model pembelajaran teacher centered. Tujuan Pembelajaran ditentukan oleh pengajar atau institusi, peserta didik tidak perlu punya kehendak sendiri. Segala macam potensi peserta didik harus diarahkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan yang implikasinya sebagai berikut :
� Materi pelajaran hanya ditentukan oleh institusi dan pengajar. Pengajar aktif menerangkan materi pelajaran, peserta didik hanya memasukkan materi tersebut ke dalam otaknya. Setelah periode tertentu dilakukan evaluasi berupa menjawab soal-soal yang berasal dari materi yang diterangkan tadi. Bisa dikatakan, guru telah menjadi satu-satunya sumber belajar peserta didik.
� Model reward dan punishment merupakan satu-satunya cara untuk merangsang motivasi belajar. Pengkondisian ini harus diakui cukup berhasil. Pengejaran tersebut seolah telah menjadi tujuan belajar itu sendiri. Mereka telah melupakan bahwa belajar adalah untuk mengembangkan segala potensi diri dan memperoleh keterampilan untuk hidup mereka kelak.
� Tak jarang menjadikan peserta didik sebagai alat mencapai kebanggaan institusi. Salah satu kriteria untuk disebut sekolah unggul adalah jika sebagian besar besar lulusannya memperoleh Danem tinggi. Untuk mencapai itu, kebanyakan sekolah-sekolah kita memberi pelajaran tambahan untuk latihan mengerjakan soal-soal yang di-UAN-kan. Akibatnya, segala potensi, kemauan, dan waktu peserta didik terserap ke sini.
Dewasa ini, telah banyak penelitian yang mengungkapkan perlunya bahkan suatu keharusan untuk mengubah paradigma pembelajaran dari teacher centered ke student centered.
�Pembelajaran student centered (student centered learning) merupakan pembaharuan metode pembelajaran konvensional teacher centered learning� (UNAS, 2004:1).
Sentyasa (2003:126) menarik kesimpulan sebagai berikut :
�Dalam rangka mengatasi kelemahan-kelemahan pendidikan esensialis dan behavioristik, sistem pendidikan hendaknya menerapkan paradigma pendidikan progresif futuristik. Terdapat tiga pilar utama pendidikan progresif. Pertama, pendidikan berpusat pada anak. Pendidikan ini akan mengembangkan kemampuan individu, kreatif, mandiri, dan mengembangkan secara optimal potensi anak-anak ...�

Sapaat (2002:1) menegaskan bahwa situasi pembelajaran yang student centered menuntut guru agar lebih proaktif dalam membantu perkembangan belajar siswa dengan menjadi fasilitator.
Lebih lanjut Soenardiyanto (2004:17) menuliskan dalam penelitiannya:
�untuk menyediakan dan memperkaya pengalaman belajar peserta didik, pembelajaran di sekolah harusnya berubah dari yang teacher centered menjadi yang student centered. Permasalahan tersebut membutuhkan suatu solusi yang konkret ... adalah dengan meningkatkan mutu proses belajar mengajar, antara lain dengan menerapkan metode-metode belajar yang lebih memberikan kesempatan kepada siswa untuk menggunakan semua potensi yang dimiliki dengan paradigma pembelajaran baru. Pembelajaran yang menggunakan paradigma baru tersebut adalah pembelajaran kontekstual (contextual learning) (Depdiknas, 2002:1)�.