Blogger templates

Tampilkan postingan dengan label Artikel Lainnya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Artikel Lainnya. Tampilkan semua postingan

Minggu, 29 Mei 2011

Waspadai Sering Buang Air Kecil

SERING buang air kecil atau yang lebih dikenal oleh orang awam dengan istilah beser harus diwaspadai karena bisa memicu penyakit lainnya.

Dalam istilah kedokteran, sering buang air kecil lebih dikenal dengan overactive bladder (OAB). Berdasar definisi dari International Continence Society (ICS) tahun 2002, overactive bladder (OAB) diartikan sebagai kumpulan gejala: urgensi, dengan atau tanpa inkontinensia urgensi, biasanya disertai dengan frekuensi dan nokturia.

"Beser bisa dikatakan dengan kencing berkalikali lebih dari 8x/hari, atau 1 kali/ 4 jam, selain itu juga si penderita sangat ingin berkemih," tutur Dokter spesialis penyakit dalam dan konsultan geriatri FKUI/RSCM, Dr Siti Setiati, SpPD K-Ger.



Penyakit ini lebih sering menimpa perempuan. Berdasarkan studi Asia Pacific Continence Advisory Board (APCAB) di negara-negara Asia, setidaknya 53 persen wanita di Asia terkena gejala overactive bladder. "Sekarang OAB tidak hanya dialami perempuan lanjut usia, tetapi juga pada perempuan di usia produktif (25-30 tahun)," ucap dokter yang biasa berpraktik di Nusantara Medical Center, Gedung Granadi, Kuningan.

Setiati mengatakan, ada beberapa gejala terjadinya OAB. Jika gejala tersebut muncul, akan menimbulkan permasalahan baru, yakni masalah psikologis. Artinya, seseorang yang menderita OAB menyebabkan tidak bisa ke mana-mana (sulit untuk bepergian), rasa malu, hilang rasa percaya diri, depresi, merasa menjadi beban, gangguan aktivitas fisik dan pekerjaan, interaksi sosial, gangguan pada pola tidur, hingga masalah seksual seperti menghindari hubungan seksual.
Tentu saja, semuanya akan mengurangi kualitas hidup seseorang. "Tidak nyaman, bau tak sedap, kulit lecet, jatuh, insomnia (tidur terganggu) dan dehidrasi, merupakan akibat yang ditimbulkan pada penderita OAB," ungkap Setiati yang juga menjabat sebagai Ketua Program Studi Spesialis Penyakit Dalam FKUI.

Ada tiga gejala penting yang harus diperhatikan ketika mendiagnosis OAB yaitu urgensi, frekuensi, dan nokturia.
Urgensi yaitu gejala keinginan tiba-tiba yang kuat untuk berkemih dan sulit ditahan, dengan atau tanpa inkontinens (mengompol) atau kesulitan menahan buang air kecil dan biasanya diakhiri dengan mengompol atau urge incontinence. Frekuensi, yakni keluhan dari pasien di mana berkemih terlalu sering dalam satu hari (sama dengan poliuri), berdasarkan data dari ICS, frekuensi pada OAB didefinisikan sebagai sering berkemih sebanyak lebih dari 8 kali per hari (24 jam).

Sedangkan nokturia, yaitu keluhan berkemih pada malam hari atau terbangun pada malam hari untuk berkemih lebih dari 1 kali dalam 1 malam. "Tidak normalnya buang air kecil pada seseorang adalah apabila dia sudah melakukannya sebanyak 2 jam 1 kali tanpa bisa ditahan," ungkap Setiati yang juga menjabat sebagai wakil Pemimpin Redaksi majalah kedokteran Acta Medica Indonesia (IJIM).

Sampai saat ini belum diketahui dengan jelas penyebab penyakit ini, namun para ahli yang tergabung dengan Perkina (Perkumpulan Kontinensia Indonesia) menemukan adanya kontraksi yang berlebihan pada otot kandung kemih, yang menyebabkan sensasi untuk buang air kecil lebih sering dari biasanya.

"Faktor pemicu sering buang air kecil adalah karena adanya kesadaran turun, infeksi saluran kemih, obat-obatan (diuretik), gangguan jiwa (depresi), sulit bergerak (tidak bisa mencapai toilet), sembelit, dan karena faktor minuman (air gula, kopi)," ucap Setiati yang menjabat sebagai Seksi Ilmiah Perkina Pusat).

Sehubungan dengan penyebab timbulnya OAB, dokter ahli penyakit dalam dari Rumah Sakit Pluit, Dr Med. Benny Santosa, Sp PD, mengatakan, salah satu faktor yang menyebabkan penyakit ini timbul adalah karena penyakit diabetes pada seseorang. "Diabetes adalah penyakit yang bisa mengganggu fungsi syaraf, otot, dan sebagainya," ucapnya.

Untuk pengobatan dan pencegahan, bisa dilakukan dengan beberapa cara misalnya dengan pemberian obat kolinergik. Obat ini dapat membantu untuk mengontrol keinginan buang air dengan mengurangi kontraksi otot di dinding kandung kemih. Obat ini dapat meningkatkan kapasitas penampungan urine/air kencing pada kandung kemih dan bisa menunda keinginan buang air kecil.



Minggu, 27 Februari 2011

Kejang Demam atau Epilepsi?

NURMA, kaget bukan kepalang saat mendapati Lili (2,5 tahun), tiba-tiba kejang. Badannya kaku seperti kayu, tangannya mengepal erat, gigi terkatup dan matanya mendelik ke atas. Ketakutan pun muncul dalam benak Nurma jangan-jangan putri kecilnya mengidap epilepsi. Benarkah demikian? Atau demam Lili hanya sebatas kejang karena demam? Ada baiknya Moms mengenal lebih dekat perbedaannya!
Step vs Epilepsi

Menurut dr Nanang Kusdiyan, SpA MKes, kejang demam atau step (stuip) adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal/anus di atas 38 derajat celsius) tanpa disertai adanya infeksi susunan saraf pusat, gangguan elektrolit (misalnya, akibat diare/muntah yang hebat) atau gangguan metabolik (misalnya akibat kadar glukosa dalam darah turun). Kondisi ini umum terjadi pada anak usia 6 bulan sampai 5 tahun. Akan tetapi kejang yang disertai demam pada bayi yang berusia kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam.

Sedangkan epilepsi atau ayan adalah suatu kondisi gangguan kronik yang ditandai oleh berulangnya bangkitan epilepsi berupa manifestasi klinis/gejala akibat lepasnya muatan listrik yang berlebihan dan hipersinkron dari sel neuron di otak.



Kenali Penyebabnya!
Yang perlu diketahui, epilepsi tidak selalu bergejala berupa kejang seperti yang dikenal awam selama ini. Epilepsi tertentu dapat bergejala bengong atau penurunan kesadaran.

Kejang Demam

  • Demam, usia toddler sangat rentan terhadap penyakit infeksi, seperti ISPA (batuk, pilek) dan infeksi telinga yang dapat menimbulkan demam. Namun nilai ambang ketahanan anak terhadap demam berbeda, ada yang sudah mengalami kejang pada suhu 38 derajat celsius namun ada juga yang baru kejang saat suhunya mencapai 40 derajat celsius.
  • Ketidakmatangan otak dan termoregulator (pengaturan suhu) tubuh.
  • Genetik/keturunan, ada riwayat keluarga yang mengalami kejang demam atau bahkan epilepsi.



Epilepsi

  • Idiopatik, yaitu golongan yang belum atau tidak diketahui penyebabnya - termasuk faktor keturunan.
  • Simtomatik adalah golongan yang diketahui penyebabnya, misalnya kelainan metabolik, trauma kepala, tumor kepala, stroke, infeksi otak, kelainan otak bawaan sejak lahir, dan sebagainya.



Dapat Berisiko Epilepsi
Untuk kejang demam sederhana, Moms tidak perlu khawatir. Biasanya setelah kejang selama tidak mengalami trauma saat kejang - tidak meninggalkan gejala sisa dan akan menghilang setelah usia 5 tahun.

Namun kejang demam kompleks dapat menjadi salah satu faktor risiko munculnya epilepsi. Kejang demam dapat terulang kembali, jika:

  1. Riwayat kejang demam pada keluarga
  2. Usia si kecil kurang dari 12 bulan
  3. Suhu tubuh rendah saat kejang, misal 38 derajat celsius sudah demam
  4. Cepatnya si kecil kejang saat demam



Pengobatan
Untuk kejang demam, biasa dokter akan melakukan:

  1. Mengatasi kejang secepat mungkin, dengan memberikan obat anti kejang.
  2. Pada bayi mengalami kejang demam pertama kali saat berusia kurang dari 12 bulan dianjurkan pemeriksaan cairan sumsum tulang belakang, untuk mengetahui apakan si kecil mengalami meningitis.
  3. Pencegahan, biasanya dokter akan memberikan obat penurun panas dan anti kejang yang dapat diberikan jika si kecil mengalami demam lagi.


Sedangkan untuk epilepsi akan diberikan obat yang diminum secara teratur untuk mengurangi intensitas dan frekuensi serangan epilepsi. Idealnya sampai tidak ada serangan (zero seizure) selama 2 tahun.


Minggu, 30 Januari 2011

Tanda-tanda Keracunan Makanan

Jakarta, Keracunan makanan sering terjadi ketika seseorang mengonsumsi makanan yang mengandung racun seperti bakteri, virus atau parasit. Apa saja tanda-tanda yang timbul ke tubuh akibat keracunan makanan?

Bila kasus yang terjadi cenderung ringan hingga sedang umumnya bisa diatasi sendiri tanpa perlu perawatan medis, sedangkan jika parah yang mungkin bisa mengancam nyawa harus mendapatkan pertolongan medis.

Beberapa tanda yang muncul jika seseorang mengalami keracunan makanan seperti dikutip dari Livestrong, Minggu (30/1/2011) yaitu:

Perut kram
Ilmuan dari University of Maryland Medical Center menuturkan kram perut umumnya terjadi segera setelah mengonsumsi makanan, atau dalam waktu 12-72 jam. Kondisi ini merupakan salah satu usaha penolakan tubuh terhadap zat beracun. Kram perut umumnya hilang sendiri dalam waktu 4-7 hari, tapi jika kram perutnya parah sebaiknya segera mencari bantuan medis.

Muntah dan diare
Muntah dan diare merupakan efek yang umum dari keracunan makanan yang merupakan usaha tubuh untuk membersihkan diri dari racun yang tertelan. Kram perut yang timbul bisa membuat muntah dan diare menjadi lebih parah. Jika muntah dan diare berlangsung terus menerus bisa menyebabkan hilangnya nutrisi penting. Kondisi ini bisa dicegah dengan mencuci tangan serta menjaga kebersihan diri dan makanan.

Dehidrasi
Dehidrasi berarti kehilangan cairan tubuh, elektrolit dan juga mineral yang berpotensi serius terhadap kesehatan. Kondisi ini umumnya diperparah dengan adanya muntah dan diare.

Mayo Clinic menuturkan bayi dan orang tua dengan penyakit kronis atau penyakit yang melemahkan sistem kekebalan tubuh lebih memungkinkan mengalami dehidrasi parah.

Untuk dehidrasi yang parah biasanya membutuhkan cairan pengganti langsung dari intravena. Untuk mencegah dehidrasi sebaiknya tetap minum air yang banyak atau minuman yang mengandung elektrolit

Makanan yang baik dikonsumsi ketika keracunan makanan adalah pisang, nasi, apel dan roti, setelah dua hari atau lebih boleh mengonsumsi kentang, wortel yang dimasak, biskuit serta buah dan sayuran lainnya.

Sedangkan untuk cairannya bisa minum air putih, minuman olahraga, teh herbal dan jus buah (selain jus pir dan jus apel karena bisa memicu diare).

Selain itu ada beberapa makanan dan minuman yang sebaiknya dihindari yaitu makanan berlemak, makanan kaya serat, terlalu banyak gula, pedas, minuman kafein dan soda.