Bidan kini tidak lagi terbatas pada penanganan kesehatan reproduksi ibu saja, tetapi ia harus mampu menggerakkan dan memberdayakan masyarakat pedesaan untuk terlibat di kesehatan komunitasnya Masyarakat pedesaan harus diposisikan sebagai mitra dalam kegiatan pengawasan kebutuhan gizi, kesehatan lingkungan, penyakit menular dan penanganan akibat bencana. Hal itu disampaikan Direktur Bina Kesehatan Ibu Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan Sri Hermiyanti di Jakarta, Kamis (29/3), dalam panel diskusi Pendidikan Kebidanan Berorientasi Komunitas. Acara diskusi ini diselenggarakan oleh Yayasan Pendidikan Kesehatan Perempuan. Menurut Sri, minimal satu tenaga bidan akan ditempatkan di setiap desa di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan Desa Siaga. Sehingga, dibutuhkan sekitar 69.957 bidan untuk desa dengan jumlah yang sama. Bidan akan menjadi salah satu komponen Desa Siaga untuk ditempatkan di pos-pos kesehatan desa. Setiap bidan diharapkan akan memiliki dua orang kader untuk mendampinginya di pos kesehatan desa. Sri menambahkan bahwa tenaga bidan hendaknya dilengkapi dengan pengetahuan kepemimpinan dan manajerial untuk menjalankan fungsi pemberdayaan melalui kemitraan tersebut. Ketua YPKP Goelardi menambahkan bahwa bidan-bidan yang mereka latih juga dibekali dengan materi-materi kesadaran gender agar dapat memperhatikan kebutuhan ibu hamil. Sementara itu, Ketua Ikatan Bidan Indonesia (IBI) Harni Koesno mengatakan bahwa saat ini ada 30.236 desa yang memiliki bidan. Ini berarti 43,22 persen dari total desa yang membutuhkan bidan. “Di luar angka itu, desanya kosong bidan,” kata Harni. Ia juga menambahkan 50 persen kelahiran di Indonesia masih ditangani oleh bidan dan lima persen oleh dokter. Tetapi, ada 32 persen kelahiran yang masih ditangani oleh dukun bayi. Padahal, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh IBI dan IMPACT tentang Penempatan Bidan di Desa 2006 disimpulkan bahwa persalinan yang didampingi oleh bidan atau tenaga kesehatan berpengalaman akan berpengaruh pada rendahnya angka kematian ibu (AKI). Tetapi, penelitian tersebut juga menemukan bahwa bidan di lapangan berhadapan dengan kondisi poliklinik desa yang sangat tidak layak, begitu pula dengan sarana rujukan dan ketersediaan peralatan. Selain itu, Harni mempertanyakan sejauh mana bidan diikutsertakan dalam perencanaan kebijakan tentang kesehatan. “Bidan harus diikutsertakan dalam perencanaan kebijakan,” katanya. Dalam kesempatan terpisah, ahli kesehatan reproduksi dan AIDS Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia Roy Tjiong mengatakan bahwa kehadiran tenaga terlatih dalam proses persalinan adalah solusi yang paling efektif dalam upaya menurunkan AKI. “Kehadiran dukun bersalin justru menjauhkan ibu hamil dari sistem rujukan karena semakin banyak orang yang harus dikonsultasikan untuk mengambil keputusan sampai akhirnya terlambat,”
Jumat, 13 Juli 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar