Blogger templates

Jumat, 23 Juli 2010

Uji pH Dengan pH Meter

Metode Uji Derjat Keasaman berdasarkan SNI 06-6989.11-2004

Dasar Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk pengujian parameter-parameter kualitas air dan air limbah antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air, Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 02 Tahun 1988 tentang Baku Mutu Air dan Nomor 37 Tahun 2003 tentang Metode Analisis Pengujian Kualitas air Permukaan dan Pengambilan Contoh Air Permukaan,

 

Metode ini berjudul Air dan air limbah Bagian 11: Cara uji derajat keasaman (pH) dengan menggunakan alat pH meter yang merupakan revisi dari SNI 06-2413-1991 dengan judul Metode pengujian kualitas fisika air, butir 3.10. Cara uji derajat keasaman (pH) dengan menggunakan alat pH meter

 

Sebelum dituliskan cara uji ini penting kita pahami beberapa istilah yang terkait antara lain, pH larutan merupakan minus logaritma konsentrasi ion hidrogen yang ditetapkan dengan metode pengukuran secara potensiometri dengan menggunakan pH meter. Larutan penyangga (buffer) pH merupakan larutan yang dibuat dengan melarutkan garam dari asam lemah-basa kuat atau basa lemah-asam kuat sehingga menghasilkan nilai pH tertentu dan stabil. Certified Reference Material (CRM), merupakan bahan standar bersertifikat yang tertelusur ke sistem nasional atau internasional.

 

Prinsip cara uji derajat keasaman (pH) dengan menggunakan alat pH meter adalah sebuah Metode pengukuran pH berdasarkan pengukuran aktifitas ion hidrogen secara potensiometri/elektrometri dengan menggunakan pH meter.

Bahan

  • Larutan penyangga (buffer) : Larutan penyangga 4, 7 dan 10 yang siap pakai dan tersedia dipasaran, atau dapat juga dibuat dengan cara sebagai berikut:
  • Larutan penyangga, pH 4,004 (250C) : Timbangkan 10,12 g kalium hidrogen ptalat, KHC8H4O4, larutkan dalam 1000 mL air suling.
  • Larutan penyangga, pH 6,863 (250C) : Timbangkan 3,387 g kalium dihidrogen fosfat, KH2PO4 dan 3,533 g dinatrium hidrogen fosfat, Na2HPO4, larutkan dalam 1000 mL air suling.
  • Larutan penyangga, pH 10,014 (250C) : Timbangkan 2,092 g natrium hidrogen karbonat, NaHCO3 dan 2,640 g natrium karbonat, Na2CO3, larutkan dalam 1000 mL air suling.

Peralatan

  • pH meter dengan perlengkapannya;
  • pengaduk gelas atau magnetik;
  • gelas piala 250 mL;
  • kertas tissue;
  • timbangan analitik; dan
  • termometer.

 

Persiapan pengujian

a. Lakukan kalibrasi alat pH-meter dengan larutan penyangga sesuai instruksi kerja alat setiap kali akan melakukan pengukuran.

b. Untuk contoh uji yang mempunyai suhu tinggi, kondisikan contoh uji sampai suhu kamar.

 

Prosedur

a. Keringkan dengan kertas tisu selanjutnya bilas elektroda dengan air suling.

b. Bilas elektroda dengan contoh uji.

c. Celupkan elektroda ke dalam contoh uji sampai pH meter menunjukkan pembacaan yang tetap.

d. Catat hasil pembacaan skala atau angka pada tampilan dari pH meter.

 

Jaminan mutu dan pengendalian mutu

Jaminan mutu

  1. Gunakan bahan kimia berkualitas pro analisis (pa).
  2. Gunakan alat gelas bebas kontaminasi dan terkalibrasi.
  3. Gunakan pH meter yang terkalibrasi
  4. Dikerjakan oleh analis yang kompeten.
  5. Lakukan anal isis segera atau lakukan anal isis di lapangan.

 

Pengendalian mutu

  1. Lakukan analisis duplo untuk kontrol ketelitian analisis.
  2. Buat kartu kendali (control chart) untuk akurasi analisis dengan CRM.

 

Pelaporan

Catat pada buku kerja hal-hal sebagai berikut:

  1. Parameter yang dianalisis.
  2. Nama analis dan tanda tangan.
  3. Tanggal anal isis.
  4. Rekaman hasil pengukuran duplo, triplo dan seterusnya.
  5. Rekaman kurva kalibrasi atau kromatografi.
  6. Nomor contoh uji.
  7. Tanggal penerimaan contoh uji.
  8. Batas deteksi.
  9. Rekaman hasil perhitungan/pengukuran.
  10. Hasil pengukuran persen spike matrix dan CRM atau blind sample (bila dilakukan).
  11. Kadar pH dalam contoh uji.

Selasa, 20 Juli 2010

Jamban Sehat

Kriteria Jamban Sehat

Tulisan ini merupakan sharing kami atas pertanyaan mas Tjok Agung Vidyaputra yang menanyakan tentang kriteria jamban sehat. Sebagian literatur diambil dari Water and Sanitation Program (WSP).

Jamban Sehat secara prinsip harus mampu memutuskan hubungan antara tinja dan lingkungan. Sebuah jamban dikatagorikan SEHAT jika :
1. Mencegah kontaminasi ke badan air
2. Mencegah kontak antara manusia dan tinja
3. Membuat tinja tersebut tidak dapat dihinggapi serangga, serta binatang lainnya.
4. Mencegah bau yang tidak sedap
5. Konstruksi dudukannya dibuat dengan baik & aman bagi pengguna.

Secara konstruksi kriteria diatas dalam prakteknya mempunyai banyak bentuk pilihan, tergantung jenis material penyusun maupun bentuk konstruksi jamban. Pada prinsipnya bangunan jamban dinagi menjadi 3 bagian utama, bangunan bagian atas (Rumah Jamban), bangunan bagian tengah (slab/dudukan jamban), serta bangunan bagian bawah (penampung tinja).

1. Rumah Jamban (Bangunan bagian atas)
Bangunan bagian atas bangunan jamban terdiri dari atap, rangka dan dinding. Dalam prakteknya disesuaikan dengan kondisi masyarakat setempat.
Beberapa pertimbangan pada bagian ini antara lain :
- Sirkulasi udara yang cukup
- Bangunan mampu menghindarkan pengguna terlihat dari luar
- Bangunan dapat meminimalkan gangguan cuaca (baik musim panas maupun musim hujan)
- Kemudahan akses di malam hari
- Disarankan untuk menggunakan bahan lokal
- Ketersediaan fasilitas penampungan air dan tempat sabun untuk cuci tangan

2. Slab / Dudukan Jamban (Bangunan Bagian Tengah)
Slab berfungsi sebagai penutup sumur tinja (pit) dan dilengkapi dengan tempat berpijak. Pada jamban cemplung slab dilengkapi dengan penutup, sedangkan pada kondisi jamban berbentuk bowl (leher angsa) fungsi penutup ini digantikan oleh keberadaan air yang secara otomatis tertinggal di didalamnya. Slab dibuat dari bahan yang cukup kuat untuk menopang penggunanya. Bahan-bahan yang digunakan harus tahan lama dan mudah dibersihkan seperti kayu, beton, bambu dengan tanah liat, pasangan bata, dan sebagainya. Selain slab, pada bagian ini juga dilengkapi dengan abu atau air. Penaburan sedikit abu ke dalam sumur tinja (pit) setelah digunakan akan mengurangi bau dan kelembaban, dan membuatnya tidak menarik bagi lalat untuk berkembang biak. Sedangkan air dan sabun digunakan untuk cuci tangan. Pertimbangan untuk bangunan bagian tengah.
  • Terdapat penutup pada lubang sebagi pelindung terhadap gangguan serangga atau binatang lain.
  • Dudukan jamban dibuat harus mempertimbangkan faktor keamanan (menghindari licin, runtuh, atau terperosok).
  • Bangunan dapat menghindarkan/melindungi dari kemungkinan timbulnya bau.
  • Mudah dibersihkan dan tersedia ventilasi udara yang cukup.

3. Penampung Tinja (Bangunan bagian bawah)
Penampung tinja adalah lubang di bawah tanah, dapat berbentuk persegi, lingkaran, bundar atau yang lainnya. Kedalaman tergantung pada kondisi tanah dan permukaan air tanah di musim hujan. Pada tanah yang kurang stabil, penampung tinja harus dilapisi seluruhnya atau sebagian dengan bahan penguatseperti anyaman bambu, batu bata, ring beton, dan lain lain.
Pertimbangan untuk bangunan bagian bawah antara lain :
  • Daya resap tanah (jenis tanah)
  • Kepadatan penduduk (ketersediaan lahan)
  • Ketinggian muka air tanah
  • Jenis bangunan, jarak bangunan dan kemiringan letak bangunan terhadap sumber air minum (lebih baik diatas 10 m)
  • Umur pakai (kemungkinan pengurasan, kedalaman lubang/kapasitas)
  • Diutamakan dapat menggunakan bahan lokal
  • Bangunan yang permanen dilengkapi dengan manhole

Pembuangan tinja yang tidak memenuhi syarat sangat berpengaruh pada penyebaran penyakit berbasis lingkungan, sehingga untuk memutuskan rantai penularan ini harus dilakukan rekayasa pada akses ini. Agar usaha tersebut berhasil, akses masyarakat pada jamban (sehat) harus mencapai 100% pada seluruh komunitas. Keadaan ini kemudian lebih dikenal dengan istilah Open Defecation Free (ODF). Suatu Masyarakat Disebut ODF jika :
  1. Semua masyarakat telah BAB (Buang Air Besar) hanya di jamban yang sehat dan membuang tinja/ kotoran bayi hanya ke jamban yang sehat (termasuk di sekolah)
  2. Tidak terlihat tinja manusia di lingkungan sekitar
  3. Ada penerapan sanksi, peraturan atau upaya lain oleh masyarakat untuk mencegah kejadian BAB di sembarang tempat
  4. Ada mekanisme monitoring umum yang dibuat masyarakat untuk mencapai 100% KK mempunyai jamban sehat
  5. Ada upaya atau strategi yang jelas untuk dapat mencapai Total Sanitasi

Suatu komunitas yang sudah mencapai status Bebas dari Buang Air Besar Sembarangan, pada tahap pasca ODFdiharapkan akan mencapai tahap yang disebut Sanitasi Total. Sanitasi Total akan dicapai jika semua masyarakat di suatu komunitas, telah:
  1. Mempunyai akses dan menggunakan jamban sehat
  2. Mencuci tangan pakai sabun dan benar saat sebelum makan, setelah BAB, sebelum memegang bayi, setelah menceboki anak dan sebelum menyiapkan makanan
  3. Mengelola dan menyimpan air minum dan makanan yang aman
  4. Mengelola limbah rumah tangga (cair dan padat).
Untuk menentukan suatu komunitas telah mencapai status ODF, dilakukan dengan proses verifikasi. Detail lengkap tentang proses verifikasi ODF ini akan disampaikan dilain kesempatan ....

Senin, 28 Juni 2010

Target STBM


Target STBM Sesuai Renstra Depkes RI
Sebagai bahan sharing pertanyaan mbak Feli, SKM - berikut disampaikan target STBM sesuai Renstra Depkes. Sebetulnya niatnya bahan ini dituliskan di "Ruang Berbagi", namun karena terlalu panjang, dan belum sempat setting di admin shoubox, maka sharing ini dituliskan di posting ini. Mohon maaf sharing terlambat di posting (maklum sudah agak lama gak berkunjung ke blog ini  .... ). Jika ada temen yang punya informasi target STBM lebih detail bisa di posting di blog ini.

Oh ya  .. terkait dengan hal tersebut, jika ada temen akan berbagi, baik dalam bentuk tulisan maupun informasi lainnya, dapat kirimkan emailnya ke kita, nanti kita masukkan dalam user blog ini, dan bisa melakukan posting dan menulis berbagi artikel disini. 

Target STBM sesuai Renstra Kemenkes, sebagai berikut :








FOKUS /KEGIATAN PRIORITAS
INDIKATOR
TARGET
2010
2014
Penyehatan air bersih dan sanitasi
1.     Persentase penduduk yg   memiliki akses  terhadap air  minum yang berkualitas
2.      Persentase kualitas air  minum yang memenuhi  syarat
3.     Persentase penduduk yang menggunakan jamban sehat
4.        Persentase penduduk Stop Buang Air Besar Sembarangan (BABS)
5.        Persentase propinsi yang      memfasilitasi penyelenggaraan  STBM Sanitasi Total berbasis Masyarakat) sebesar 100%  Kab/Kota
62


85


64

71

18
67


100


75

100

100
Pemeliharaan dan Pengawasan Kualitas   Lingkungan
1.        Persentase cakupan tempat- tempat umum yang memenuhi syarat Kesehatan
2.        Persentase cakupan rumah yang memenuhi syarat Kesehatan
3.        Persentase cakupan tempat pengelolaan makanan yang  Memenuhi syarat Kesehatan
76


75


55
85


85


75
Pengendalian dampak  resiko pencemaran  lingkungan
Cakupan daerah potensial yang  melaksanakan strategi  adaptasi dampak Kesehatan akibat perubahan iklim
20


100
Pengembangan wilayah sehat
1.        Persentase Kab/kota/ Kawasan yang telah  melaksanakan     Kab/Kota/Kawasan sehat
2.        Persentase provinsi yang       memfasilitasi penyelenggaraan kab/kota       sehat yang sesuai standar        sebesar 50%
50


12
100


100
 

Sumber : Renstra  Kementerian  Kesehatan (Bidang Penyehatan Lingkungan) 2010 2014
Disampaikan oleh Direktur Penyehatan Lingkungan Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Makassar, Kamis  20 Mei 2010)


Target diatas dalam pelaksanaannya dapat di break down per tahun, sehingga aplikatif sesuai kondisi tiap Kabupaten dan Kota.

Sabtu, 26 Juni 2010

Pengukuran Kebisingan

Cara Pengukuran Tingkat Kebisingan

Suara atau bunyi memiliki intensitas yang berbeda, contohnya jika kita berteriak suara kita lebih kuat daripada berbisik, sehingga teriakan itu memiliki energi lebih besar untuk mencapai jarak yang lebih jauh. Unit untuk mengukur intensitas bunyi adalah desibel (dB). Skala desibel merupakan skala yang bersifat logaritmik. Penambahan tingkat desibel berarti kenaikan tingkat kebisingan yang cukup besar. Contoh, jika bunyi bertambah 3 dB, volume suara sebenarnya meningkat 2 kali lipat.sound-level-meter

Kebisingan bisa menggangu karena frekuensi dan volumenya. Sebagai contoh, suara berfrekuensi tinggi lebih menggangu dari suara berfrekuensi rendah. Untuk menentukan tingkat bahaya dari kebisingan, maka perlu dilakukan monitoring dengan bantuan alat:

  • Noise Level Meter dan Noise Analyzer (untuk mengidentifikasi paparan)
  • Peralatan audiometric, untuk mengetes secara periodik selama paparan dan untuk menganalisis dampak paparan pada pekerja.

Ada beberapa macam peralatan pengukuran kebisingan, antara lain sound survey meter, sound level meter, octave band analyzer, narrow band analyzer, dan lain-lain. Untuk permasalahan bising kebanyakan sound level meter dan octave band analyzer sudah cukup banyak memberikan informasi.

Sound Level Meter (SLM)

Adalah instrumen dasar yang digunakan dalam pengukuran kebisingan. SLM terdiri atas mikropon dan sebuah sirkuit elektronik termasuk attenuator, 3 jaringan perespon frekuensi, skala indikator dan amplifier. Tiga jaringan tersebut distandarisasi sesuai standar SLM. Tujuannya adalah untuk memberikan pendekatan yang terbaik dalam pengukuran tingkat kebisingan total. Respon manusia terhadap suara bermacam-macam sesuai dengan frekuensi dan intensitasnya. Telinga kurang sensitif terhadap frekuensi lemah maupun tinggi pada intensitas yang rendah. Pada tingkat kebisingan yang tinggi, ada perbedaan respon manusia terhadap berbagai frekuensi. Tiga pembobotan tersebut berfungsi untuk mengkompensasi perbedaan respon manusia.

Octave Band Analyzer (OBA)

Saat bunyi yang diukur bersifat komplek, terdiri atas tone yang berbeda-beda, oktaf yang berbeda-beda, maka nilai yang dihasilkan di SLM tetap berupa nilai tunggal. Hal ini tentu saja tidak representatif. Untuk kondisi pengukuran yang rumit berdasarkan frekuensi, maka alat yang digunakan adalah OBA. Pengukuran dapat dilakukan dalam satu oktaf dengan satu OBA. Untuk pengukuran lebih dari satu oktaf, dapat digunakan OBA dengan tipe lain. Oktaf standar yang ada adalah 37,5 75, 75-150, 300-600,600-1200, 1200-2400, 2400-4800, dan 4800-9600 Hz.

Standar Kebisingan

Setelah pengukuran kebisingan dilakukan, maka perlu dianalisis apakah kebisingan tersebut dapat diterima oleh telinga. Berikut ini standar atau kriteria kebisingan yang ditetapkan oleh berbagai pihak.

  1. Keputusan Menteri Negara Tenaga Kerja No.KEP-51/MEN/1999 tentang nilai ambang batas kebisingan. lihat Tabel 2.3 untuk lebih jelas.
  2. Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Koperasi No.SE 01/MEN/1978

Nilai Ambang Batas yang disingkat NAB untuk kebisingan di tempat kerja adalah intensitas tertinggi dan merupakan nilai rata-rata yang masih dapat diterima tenaga kerja tanpa mengakibatkan hilangnya daya dengar yang tetap untuk waktu kerja yang terus menerus tidak lebih dari 8 jam sehari dan 40 jam seminggu

NAB untuk kebisingan di tempat kerja ditetapkan 85 dB (A)

 Nilai Ambang Kebisingan Menurut Kep Menaker No. KEP-51/MEN/1999

Waktu Pemaparan

Intensitas (dB A)

8

4

2

1

Jam

85

88

91

94

30

15

7,5

3,75

1,88

0,94

Manit

97

100

103

106

109

112

28,12

14,06

7,03

3,52

1,75

0,88

0,44

0,22

0,11

Detik

115

118

121

124

127

13

133

136

139

 

3. Kriteria Kebisingan Menurut Department of Labor OSHA

Waktu (jam/hari)

Tingkat Kebisingan (dB A)

8

6

4

3

2

1,5

1

0,5

<0,25

90

92

95

97

100

102

105

110

115

 

4. Standard Kebisingan Sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.718/Men/Kes/Per/XI/1987, tentang kebisingan yang berhubungan dengan Kesehatan

Pembagian Zona Bising Oleh Menteri Kesehatan

No

Zona

Maksimum dianjurkan (dBA)

Maksimum diperbolehkan (dBA)

1 A 35 45
2 B 45 55
3 C 50 60
4 D 60 70

Keterangan:

Zona A = tempat penelitian, rumah sakit, tempat perawatan Kesehatan dsb;

Zona B = perumahan, tempat pendidikan, rekreasi, dan sejenisnya;

Zona C = perkantoran, pertokoan, perdagangan, pasar, dan sejenisnya;

Zona D = industri, pabrik, stasiun kereta api, terminal bis, dan sejenisnya.

5. Kriteria Kebisingan menurut Formula ACGIH dan NIOSH. Formula ini, dengan menggunakan rumus tertentu, dipakai untuk menghitung waktu maksimum yang diperkenankan bagi seorang pekerja untuk berada dalam tempat kerja dengan tingkat kebisingan tidak aman.

Kriteria Kebisingan Menurut ACGIH dan NIOSH

DB

Waktu Paparan yang diperbolehkan (jam)

DB

Waktu Paparan yang diperbolehkan(jam)

80

81

82

83

84

85

86

87

88

89

90

91

92

93

94

95

96

97

98

99

100

101

102

103

104

105

25,4

20,16

16

12,7

10,08

8

6,35

5,04

4

3,17

2,52

2

1,59

1,26

1

0,79

0,63

0,5

0,4

0,31

0,25

0,2

0,16

0,13

0,1

0,08

106

107

108

109

110

111

112

113

114

115

116

117

118

119

120

121

122

123

124

125

126

127

128

129

130

37,5

2,98

2,36

1,88

1,49

1,18

0,94

0,74

0,59

0,47

0,37

0,3

0,23

0,19

0,15

0,12

0,09

0,07

0,06

0,05

0,04

0,03

0,02

0,02

0,01

Jumat, 25 Juni 2010

Pengendalian Kebisingan

Cara Pengendalian Kebisingan

Pengendalian kebisingan mutlak diperlukan untuk memperkecil pengaruhnya pada Kesehatan kita. Usaha pengendalian kebisingan harus dimulai dengan melihat komponen kebisingan, yaitu Sumber radiasi, Jalur tempuh radiasi, serta Penerima (telinga). Antisipasi kebisingan dapat dilakukan dengan intervensi terhadap ketiga komponen ini.Industrial Noise Control

Secara garis besar, ada dua jenis pengendalian kebisingan, yaitu pengendalian bising aktif (active noise control) dan pengendalian bising pasif (passive noise control).

Pada Active Noise Control dapat dilakukan dengan Kontrol pada Sumber. Pengontrolan kebisingan pada sumber dapat dilakukan dengan modifikasi sumber, yaitu penggantian komponen atau mendisain ulang alat atau mesin supaya kebisingan yang ditimbulkan bisa dikurangi. Program maintenance yang baik supaya mesin tetap terpelihara, dan penggantian proses. Misalnya mengurangi faktor gesekan dan kebocoran suara, memperkecil dan mengisolasi elemen getar, melengkapi peredam pada mesin, serta pemeliharaan rutin terhadap mesin. Tetapi cara ini memerlukan penelitian intensif dan umumnya juga butuh biaya yang sangat tinggi (Goembira, Fadjar, Vera S Bachtiar, 2003). Beberapa upaya untuk mengurangi kebisingan di sumber antara lain (Tambunan, 2005):

  • Mengganti mesin-mesin lama dengan mesin baru dengan  tingkat kebisingan yang lebih rendah
  • Mengganti jenis proses mesin (dengan tingkat kebisingan yang lebih rendah) dengan fungsi proses yang sama, contohnya pengelasan digunakan sbg penggantian proses riveting.
  • Modifikasi tempat mesin, seperti pemberian dudukan mesin dengan material-material yang memiliki koefisien redaman getaran lebih tinggi.
  • Pemasangan peredam akustik (acoustic barrier) dalam ruang kerja

Antisipasi kebisingan dengan kontrol sumber ternyata 10 kali lebih murah (unit harga terhadap reduksi dB) daripada antisipasi pada propagasi atau kontrol lingkungan. noise controll

Jika kita berada pada lingkungan kerja dengan kebisingan > 100 dB A, maka usaha kontrol pada sumber kebisingan harus dilakukan. Menurut Standard Basic Requirement OSHA, rekayasa mesin harus dilakukan pada kondisi ini, dengan beberapa teknik berikut :

  • Cladding, adalah teknik untuk mengurangi pancaran bising dari pipa akibat aliran fluida di dalamnya. Cladding terdiri atas lapisan penyerap suara dan bahan impermeable. Lapisan ini ada berbagai jenis dengan tingkat atenuasi yang bervariasi.
  • Silencer, Attenuator, Muffler. digunakan untuk mereduksi bising fluida dengan meletakkannya di daerah atau jalur aliran fluida.

Secara praktis di lapangan, pengendalian bising pada sumber dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain dengan cara pemeliharaan mesin-mesin secara kontinu, penempatan mesin-mesin pada ruangan khusus dan jauh dari kegiatan masyarakat atau karyawan, serta melengkapi mesin-mesin dengan penutup mesin sehingga dapat mengurangi kebisingan.

Metode lain untuk meredam bising seperti penggunaan alat peredam bising silencer yang diletakkan pada vent gas. Silencer dapat digunakan untuk mengurangi kebisingan dengan frekuensi tinggi, kompresor, blower, dan pompa vakum. Alat ini didisain sedemikian rupa sehingga aliran udara melewati tabung akustik berlubang yang dikelilingi oleh lapisan tebal dari material penyerap suara yang akan menurunkan kebisingan dengan range frekuensi tinggi dengan penurunan tekanan minimum.

Silencer terbuat dari konstruksi baja dimana permukaan luar dilapisi dengan baik. Alat ini didisain untuk menangani udara kering dengan temperatur di bawah 93oC. Untuk temperatur tinggi digunakan kemasan fiberglass.

clip_image008

Selain pengendalian dengan melakukan kontrol pada sumber bising, pengendalian kebisingan juga dapat dilakukan dengan pengendalian pada medium perambatan. Usaha ini bertujuan untuk menghalangi perambatan suara dari sumber suara yang menuju ke telinga manusia. Untuk menghalangi perambatan, ditempatkanlah sound barrier antara sumber suara dan telingan. Pemblokiran rambatan ini hanya akan berhasil jika sound barrier tidak ikut bergetar (resonansi) saat tertimpa gelombang yang merambat, hal ini sangat tergantung pada bahan dimensi.

Pengendalian kebisingan pada medium propagasi (medium rambat) sangat dipengaruhi oleh beberapa hal antra lain usaha untuk melakukan pemisahan ruangan dengan sekat atau pembatas akustik; Penggunaan material yang memiliki daya serap suara; Pembuatan Barrier yang berfungsi untuk menghalangi paparan bising dari sumber ke penerima dan dibangun di jalur propagasi antara sumber dan penerima. Usaha lain dapat dilakukan misal dengan memasang panel dan penghalang, serta memperluas jarak antar sumber dan melakukan pemagaran.

Salah satu usaha untuk mereduksi kebisingan pada daerah permukiman, dilakukan dengan Green Barrier yang membatasi daerah sumber kebisingan dengan daerah pemukiman masyarakat. Juga dapat dilakukan dengan memasang dinding pemisah antara sumber-sumber bising dengan ruangan tempat kerja (kedap suara).

Usaha terakhir untuk mengendalikan kebisingan dengan melakukan usaha proteksi secara personal. Proteksi personal yang bisa diterapkan adalah penggunaan earplugs dan earmuffs. Pemilihan antara kedua proteksi ini disesuaikan dengan kondisi. Secara umum, penggunaan earmuffs bisa mengurangi desibel yang masuk ke telinga lebih besar dari earplugs. Namun juga harus diingat bahwa proteksi yang berlebihan sangat dimungkinkan dapat mengurangi efektifitas proses.

Berikut beberapa penjelasan yang terkait dengan Earmuffs dan Earplugs.

Earmuffs, terbuat dari karet dan plastik. Earmuffs bisa digunakan untuk intensitas tinggi (>95 dB), bisa melindungi seluruh telinga, ukurannya bisa disesuaikan untuk berbagai ukran telinga, mudah diawasi dan walaupun terjadi infeksi pada telinga alat tetap dapat dipakai. Kekurangannya, penggunaan earmuffs menimbulkan ketidaknyamanan, rasa panas dan pusing, harga relatif lebih mahal, sukar dipasang pada kacamata dan helm, membatasi gerakan kepala dan kurang praktis karena ukurannya besar. Earmuffs lebih protektif daripada earplugs jika digunakan dengan tepat, tapi kurang efektif jika penggunaannya kurang pas dan pekerja menggunakan kaca mata.

Earplugs, digunakan untuk tingkat kebisingan sedang (80-95 dB), dengan waktu paparan 8 jam. Terdapat berbagai macam earplugs, baik bentuk padat maupun berongga. Bahannya terbuat dari karet lunak, karet keras, lilin, plastik atau kombinasi dari bahan-bahan tersebut.

Penguunaan ear plug mempunyai beberapa keuntungan, selain mudah dibawa karena bentuknya yang kecil, tidak membatasi gerakan kepala, lebih nyaman digunakan pada tempat panas, juga lebih murah (dibandingkan ear muff), Ear Plug juga lebih mudah dipakai bersama dengan kacamata dan helm. Sedangkan kekurangan ear plug atenuasi lebih kecil, sukar mengontrol atau diawasi, resiko infeksi pada saluran telinga.

Pengendalian pada penerima kebisingan dapat dilakukan dengan pembinaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), serta melengkapi karyawan dengan alat pelindung diri (ear muff dan ear plug).

Rabu, 23 Juni 2010

Deklarasi ODF Kecamatan Kedungjajang

Open Defecation Free Declaration Kecamatan Kedungjajang Kabupaten Lumajang

Satu lagi Deklarasi Open Defecation Free (ODF) di Kabupaten Lumajang. Masyarakat Kecamatan Kedungjajang melaksanakan Deklarasi ODF pada hari Rabu Tanggal 23 Juni 2010, di Pendopo Kecamatan. Dengan Deklarasi ini di Kabupaten Lumajang, sampai saat ini, terdapat komunitas ODF sebanyak 4 Kecamatan dengan 48 Desa serta lebih dari 200 Posyandu.  

Sebagai catatan, secara geografis dan kultural, mungkin Deklarasi di Kecamatan Kedungjajang menjadi istimewa. Pertama wilayah ODF bergeser ke sebelah Utara Kabupaten, dan kedua, disana merupakan basis suku dan kultural yang lain dari wilayah ODF yang selama ini sudah ada (Kecamatan Gucialit, Senduro dan Padang). Kalau boleh berhipotesa, hal ini membawa (sedikit) angin segar bagi (sedikit) pandangan yang selama ini beranggapan bahwa yang berbau tapal kuda masih memerlukan lebih banyak effort untuk berhasil.

spanduk ODF KedungjajangAda sedikit joke dari Wakil Bupati Lumajang terkait kultur ini (saat memberikan sambutan pada Deklarasi ini). Prinsipnya menyampaikan sesuatu pada mereka harus tuntas dan jelas. Ketika menjumpai ada masyarakat yang masih buang air besar di sungai, Pak Wabub kita menegurnya dengan mengingatkan, bahwa buang air besar di sungai tidak baik dan tidak boleh dari kaca mata apapun. Yang di tegur bilang, bahwa punyanya tidak besar namun panjang. So mesti jelas dong, dilarang buang air besar dan panjang .. di sungai  
100_6559100_6548Sesuai teori replikasi, lebih banyak harapan menjadi sah untuk dibebankan pasca deklarasi ODF Kecamatan Kedungjajang ini. Setidaknya - sesuai harapan Bupati Lumajang - pada pengantar penandatangan Prasasti Deklarasi ini, Kecamatan di wilayah Utara (dengan basis kultur yang sama), akan segera mengikuti jejak Kecamatan Kedungjajang (Kecamatan Randuagung, Klakah, dan Ranuyoso).
Namun sesuai target dan komitmen, 6 Kecamatan lain masih terus bergerak untuk menyandang Status ODF sampai akhir tahun 2010 ini (Tempursari, Pronojiwo, Pasrujambe, Yosowilangun, Tekung, Jatiroto).

Komitmen besar dan gaung kampanye ODF di tingkat stake holder, memang sangat layak untuk dijadikan landasan membangun optimisme. Kita dapat melihat bagaimana para camat dan Kepala Desa sudah sangat nyambung dengan komitmen Bupati di seantero wilayah. 100_6563 Dan dari sini (sebetulnya) kita dapat melihat berbagai inovasi tiada henti (meminjam iklan produk otomotif), dari mereka untuk mewujudkan ODF di wilayahnya. Yang menjadi sedikit kelabakan mungkin para verifikator ODF (dan tentu para verifikator pasca deklarasi ODF). Untung kita mendapat supply sukup, dengan kehadiran para CPNS baru dengan basic fungsional Sanitarian dan Penyuluh Kesehatan. Mereka masih muda, energik, idealis, dan profesional (tinggal sedikit injeksi roh STBM dan Jiwa CLTS ). 

Kembali ke Kecamatan Kedungjajang. Kilas balik cerita dimulai pada tahun 2005 ketika pilot project CLTS di terapkan di Desa Jatisari, dan berhasil. Metode ini kemudian dikembangkan di 3 desa lainnya - Desa Grobogan, Kedungjajang, dan Curah Petung - dan berhasil, sampai kemudian ternyata metode ini kurang berhasil dilaksanakan di Desa Pandansari. 100_6593 Belajar dari situ, kemudian dilakukan penguatan pada Tim dan kerjasama lintas sektor. Sebut saja diantaranya dengan kehadiran Tim SToPS, sinkronisasi dengan Posyandu Gerbangmas, sampai kemudian lahir Tim STBM dengan penguatan aspek legalitasnya (SK Camat dan Kepala Desa). Motto Tim Mereka ternyata simple namun keren : YANG BIASA BELUM TENTU BENAR YANG BENAR HARUS DIBIASAKAN. 

Dari motto tersebut lahirlah hasil berikut : 100_6586Pada tahun 2005 angka kepemilikan jamban di Kecamatan Kedungjajang tercatat 5.550 buah, Jumlah ini terus bertambah sehingga sampai tri bulan I tahun 2010 ini angka kepemilikan jamban meningkat menjadi 8.694 buah.  Terjadi penambahan jumlah jamban sebanyak 3.144 buah. Dengan akses penggunaan menjadi 100%, maka dengan gembira di umumkanlah Deklarasi 100% masyarakat Kecamatan Kedungjajang Telah Bebas Dari Buang Air Besar Sembarangan pada Tanggal 23 Juni 2010.

Untuk lebih melengkapi informasi ini, berikut sebagian prosesi Deklarasi Open Defecation Free Kec. Kedungjajang dalam format video :


See u next ODF .

Selasa, 01 Juni 2010

Standard Operational Procedure Sanitarian

SOP Mengukur Sampel Kebisingan, Kepadatan Lalat, Kualitas Fisik Limbah Cair, dan Pemeriksaan Sampel Sampah dan Tanah

Beberapa teman Sanitarian tidak lulus uji kompetensi. Beberapa dari mereka memenyinggung transparansi nilai. Apakah memang kualifikasi nilai yang didapat dibawah standard kompetensi atau ada faktor (?) lain. Sementara banyak teman mereka lulus-lulus saja. Jangan-jangan kita memang sudah terlalu tua untuk mengingat teori-teori, sementara keseharian kerja kita disibukkan dengan sistem dan pola yang aplikatif, dan celakanya itu jauh dari aplikasi teori yang kita dapatkan saat sekolah dulu. Sebagai awam, kalau boleh bertanya, kenapa sih mesti ada uji kompetensi? Bukankah status berkompeten sudah kita dapatkan bersamaan dengan wisuda dari sekolah yang sangat berkompeten menyelenggarakan pendidikan kita dulu? Namun orang bilang, pada era ISO dan era Sertifikasi sekarang, para kuli bangunan-pun harus punya sertifikat uji kompetensi. Ah, jangan-jangan (lagi), kita memang selalu suka menggunakan jargon Kalau bisa dipersulit, mengapa harus dipermudah ? Semoga itu sekedar Suudhon orang yang kalah perang pada wadah baru uji kompetensi ini.
Perdebatan diatas harus saya akhiri. Tulisan ini mungkin sekedar mengingatkan kita pada beberapa teori terkait SOP pengambilan sampel lingkungan. Tulisan-tulisan berikutnya Insya Allah akan lebih banyak lagi.

Mengukur Kebisingan
Cara menentukan titik lokasi untuk pengambilan sampel kebisingan sebagai berikut : Soun Level Meter
  • Ditentukan pada jarak terjauh dari sumber bising
  • Jarak terdekat dari sumber kebisingan
  • Jarak antara jarak terjauh dan terdekat dengan sumber bising.
Sedangkan peralatan yang digunakan adalah Sound Level Meter dan Form Pencatatan. Hasil pengukuran kemudian dilakukan analisa dengan membandingkan hasil pengukuran dengan standard.

Mengukur Kepadatan Lalat
Alat yang digunakan untuk mengukur tingkat kepadatan lalat antara lain fly grill, formulir, counter dan stop watch.
Prosedur pengukuran kepadatan lalat :
  1. Fly grill diletakkan mendatar pada titik lokasi pengukuran
  2. Setiap titik lokasi dilakukan 10x pengukuran
  3. Selama 30 detik lalat yang hinggap di fly grill dihitung
The InfoVisual.info site uses images to explain objects. Setelah prosedur diatas dilakukan, kepadatan lalat dicatat dalam lembar isian. Formulir ini diisi tiap kali pengukuran dengan lama waktu 30 detik.Penentuan tingkat kepadatan lalat dihitung dengan cara diambil 5 dari 10 pengukuran yang paling banyak, selanjutnya hasil di rata-rata. Hasil ini dibandingkan dengan standard berikut :
Index Kepadatan lalat :
  • Jarang : = 2
  • Sedang : >2-20
  • Tinggi : > 20

Pengukuran Kualitas Fisik Limbah Cair
Peralatan yang digunakan untuk mengukur kualitas fisik limbah cair sebagai berikut :
  1. Termometer digunakan untuk mengukur suhu
  2. DHL Meter digunakan untuk mengukur kadar DHL
  3. Dry Oven digunakan untuk pemanasan sampel
  4. Desikator digunakan untuk menyerap kadar air
  5. Timbangan analitik digunakan untuk menimbang
  6. Cawan Porselen digunakan sebagai wadah kertas saring saat di oven
  7. Beker Glass wadah sampel saat akan diukur
Sedangkan bahan yang digunakan :
  1. Aquades sebagai pelarut dan pengencer
  2. Kertas saring untuk menyaring suspended solid
  3. Tissue untuk membersihkan atau mengeringkan alat
Selain alat dan bahan diatas juga diperlukan peralatan penunjang seperti pena/pensil, kertas kerja, penghapus, serta kalkulator.

Sebagai catatn, identifikasi limbah cair berfungsi sebagai informasi tentang identitas sampel agar tidak tertukar dengan sampel lain, juga untuk kepentingan analisis hasil pemeriksaan. Sedangkan komponen identitas sampel minimal terdiri dari beberapa informasi :
  1. Nama/alamat pengirim
  2. Tempat pengambilan sampel
  3. Tanggal pengambilan
  4. Waktu pengambilan
  5. Tujuan pemeriksaan
Jenis parameter kualitas fisik limbah cair yang harus diukur adalah suhu, Daya Hantar Listrik (DHL), serta Total Suspended Solid (TSS).

Pemeriksaan Sampel Tanah Dan Sampah
Sebelum melakukan uji/pemeriksaan sampel tanah dan sampah, penting dipersiapkan Alat Pelindung Diri (APD) seperti masker, sepatu boot, sarung tangan, dan helm kerja. Sedangkan alat yang digunakan dalam pengambilan sampel tanah dan sampah untuk kepentingan pemeriksaan kualitas fisik adalah :
  1. Bor tangan
  2. Sekop kecil dari bahan metal, plastik, dan kayu
  3. pH soil tester
  4. Termometer
  5. Higro meter
  6. Wadah sampel
  7. Alat tulis
  8. Checklist pengambilan sampel
  9. Rol meter
Komponen / unsur fisik yang harus dicatat dakam pengambilan sampel tanah adalah :
  1. Jenis sampel
  2. Spesifikasi pemeriksaan (fisik/kimia/mikrobiologi)
  3. Lokasi sampling
  4. Teknik sampling yang dilakukan
to be continued  ..

Rabu, 26 Mei 2010

Software Klinik Sanitasi

Software Klinik Sanitasi Berbasis Surveilans


Software ini dibuat oleh Tim MIT Sanitasi Dinkes Kab. Lumajang dengan basis aplikasi menggunakan bahasa program Delphi. Spesifikasi komputer yang diperlukan termasuk minimal, yaitu Pentium III ke atas, OS windows xp,vista,windows 7, RAM minimum, VGA minimum, serta LAN yang bersifat optional.


Gambaran singkat software klinik sanitasi berbasis surveilans ini dapat anda lihat pada video berikut :



Latar belakang dibuatnya program aplikasi klinik sanitasi ini dimulai ketika tahun 2008 dilakukan survey sanitasi dasar (lebih tepatnya sensus, karena dilakukan secara total sampling). Dengan lebih 250 ribu rumah sasaran penilaian, kegiatan ini menghasilkan data base sanitasi dasar yang sangat menggiurkan, sehingga sangat eman jika tidak dimaksimalkan.

Survey sanitasi dasar dengan sasaran rumah ini menggunakan acuan Pedoman Teknis Penilaian Rumah Sehat Depkes RI Tahun 2007. Sehingga survey ini pada dasarnya selain bertujuan untuk memperoleh data dasar rumah sehat yang valid, juga diperolehnya gambaran prosentase rumah sehat, gambaran status sanitasi rumah (yang meliputi aspek komponen rumah, aspek sarana sanitasi, serta aspek perilaku), serta diketahuinya gambaran potensi resiko penyakit berbasis lingkungan dalam kaitan dengan kondisi rumah.
Tujuan diatas menjadi penting, karena sebagian besar penyakit berbasis lingkungan masuk dalam 10 besar penyakit, sehingga dengan aplikasi ini diharapkan dapat mengembangkan kemampuan petugas dalam identifikasi, analisa dan upaya pemecahan masalah Kesehatan lingkungan dan penyakit berbasis lingkungan
Dengan output pada software klinik sanitasi ini akan diketahui kondisi sanitasi serta perilaku sanitasi pada sasaran serta dapat dilakukan analisa berdasarkan data cakupan analisa pada masing-masing kondisi. Kondisi yang dimaksud adalah kriteria dan indikator sesuai data base Survey Sanitasi Dasar dan checklist inspeksi sanitasi.

Data base survey sanitasi dasar meliputi berbagai item data sanitasi dasar rumah antara lain :
Indikator komponen rumah yang di survey meliputi :
1. Langit-langit
2. Dinding
3. Lantai
4. Jendela kamar tidur
5. Jendela ruang keluarga
6. Ventilasi
7. Lubang asap dapur
8. Pencahayaan
9. Kandang
10. Pemanfaatan Pekarangan
11. Kepadatan penghuni.

Indikator sarana sanitasi meluputi :
1. Sarana air bersih
2. Jamban
3. Sarana pembuangan air limbah
4. Sarana pembuangan sampah.

Indikator perilaku penghuni :
1. Kebiasaan mencuci tangan
2. Keberadaan vektor tikus
3. Keberadaan Jentik.

Sedangkan data base lain menggunakan acuan hasil inspeksi sanitasi pada lebih dari 34 checklist sasaran.
Check List Inspeksi Sanitasi Rumah
Check List Inspeksi Sanitasi Tempat Pengelolaan Makanan (TPM)
1. Rumah Makan
2. Audit Hygiene Sanitasi MakananJasa Boga
3. Laporan Pemeriksaan Jasa Boga
4. Kantin Sekolah

Check List Inspeksi Sanitasi Sarana Air Bersih
1. Sumur Gali
2. Sumur Pompa Tangan
3. Perlindungan Mata Air
4. Penampungan Air Hujan
5. Kran Umum
6. Terminal Air

Check List Inspeksi Sanitasi Tempat-Tempat Umum (TTU)
1. Kolam Renang/Pemandian Umum
2. Depot Air Minum Isi Ulang
3. Pasar
4. Pusat Perbelanjaan
5. Salon
6. Pangkas Rambut
7. Masjid
8. Gereja
9. Hotel Melati

Check List Inspeksi Sanitasi Institusi
1. Kes lingkungan kerja Industri
2. Kes lingkungan kerja perkantoran
3. Sekolah


Berbagai macam checklist tersebut telah dibukukan lengkap dengan bobot dan nilai serta kriteria akhir. Dengan berbagai tool dan data base diatas maka intervensi dan tindak lanjut lapangan dapat dilakukan secara lebih tepat dan terarah.

Kamis, 20 Mei 2010

Pemeriksaan E Coli Dengan Metode H2S

PEMERIKSAAN KUALITAS BAKTERIOLOGIS AIR METODE H2S

Menjawab permintaan mas Putut dalam kolom shoutmix tentang artikel yang terkait laboratorium, berikut artikel tentang Pemeriksaan Kualitas Bakteriologis Air dengan menggunakan metode H2S. Tulisan ini mengacu pada Pedoman Pemeriksaan Kualitas Bakteriologis Air Untuk Daerah Perdesaan Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman Tahun 1997.

Latar belakang pemeriksaan bakteriologis air dengan metode H2S antara lain bahwa keberadaan bakteri coliform didalam air diasosiasikan dengan organisme penghasil hidrogen sulfide/H2 S (Allen & Geldreich-1975). Berdasarkan kepastian adanya H2s dalam air tersebut sekaligus merupakan indikator adanya bakteri coliform (Manya dkk, 1982).

Terdapat cara sederhana yang dapat dilakukan untuk mengetahui kepastian tersebut (adanya coliform karena faktor H2S ini). Mengapa sederhana? Karena pengambilan dan pemeriksaan sampel dapat langsung dilakukan dengan tabung reaksi/botol yg telah berisi media yang sudah dipersiapkan. Botol dengan media ini selanjutnya dieramakan/inkubasi pada suhu ruangan (26oc 37oc) selama 1 3 hari (mulai dari 18 jam). Untuk menilai hasil pekerjaan ini digunakan indikator dengan adanya perubahan warna botol media yang menjadi hitam.

Pemeriksaan kualitas bakteriologis air dengan menggunakan metode H2S ini mempunyai beberapa keuntungan sekaligus kerugian. Beberapa keuntungan dapat kita sebutkan antara lain sederhana, mudah, cepat, murah, peralatan dan media mudah diperoleh, serta tidak memerlukan keahlian khusus, karena cukup dengan pelatihan sederhana petugas sudah mampu melakukan pemeriksaan.

clip_image002Selain beberapa keuntungan tersebut, juga terdapat kerugian, diantaranya metode ini bersifat kualitatif, sehingga tidak terukur percise dalam bentuk satuan (range atau angka). Berdasarkan uji coba, hasil yang didapat kurang sensitif dibanding dengan metode tabung ganda. Walaupun persentasenya kecil, masih terdapat satu sampel yang sama didapat, namun berbeda hasil dengan menggunakan ke-dua metode ini. Metode H2S ini mempunyai sensitivitas yang baik (>80%), jika digunakan pada uji sampel air dengan kadar bakteri tinggi, namun kurang sensitif jika frekuensi keberadaan bakteri dalam air rendah.

Peralatan dan media pemeriksaan bakteriologis kualitas air dengan metode H2S antra lain :
  • Kompor
  • Tabung reaksi dg tutup ulir / botol bertutup tahan panas
  • Sterilisator (autoclave, drying oven)
  • Lampu spiritus
  • Timbangan
  • Pipet (1 ml , 10 ml )
  • Gelas ukur, erlenmeyer
  • Rak tabung
  • Botol media
  • Lain-lain (Ph lakmus, spidol, label)
  • Sodium thiosulfate
  • Kertas saring
  • Pepton (bakteriological peptone)
  • Dipotasium hydrogen phospate
  • Ferric ammonium citrate
  • Teepol
  • Aquadest/aquabi dest

Prosedur pembuatan Media pemeriksaan
  1. Pepton : 40,0 GR ; K2HPO4 : 3,0 GR ; FAC : 1,5 GR ; NA2S2SO4 : 1,0 GR ; dan aquabidest 1.000 ml.
  2. Tambahkan Teepol 2,0 ml
  3. Dipanaskan sambil diaduk perlahan lahan sampai larutan homogen/merata, kemudian diamkan sampai dingin.
  4. Masukan kertas saring berlipat (8 x 8 cm) kedlm tabung/botol media, kemudian pipet larutan media 1 ml untuk sampel 20 ml, & 2,5 ml untuk sampel 100 ml.
  5. Tabung-tabung tersebut disteril pada suhu 121 oc selama 15 kemudian dikeringkan (oven 60 oc selama 30).
  6. Dinginkan, simpan media pada suhu 4 8 oc.
Prosedur pemeriksaan dan pembacaan hasil
  • Ambil 1 tabung media.
  • Masukan sampel air 20 cc atau sampai tanda batas kedalam tabung/botol media (lewat mulut tabung diatas nyala api ,agar tetap steril).
  • Simpan di rak tabung pada suhu ruangan selama 1 3 hari.
Jika tahapan diatas sudah dilakukan, maka pembacaan hasil untuk memastikan keberadaan bakteri coliform dalam air bersih pada sampel pemeriksaan dapat dilakukan dengan dua cara, kualitatif dan semi kualitatif.

Dengan cara kualitatif, hasil negatif jika tidak terjadi perubahan warna, hasil positif (+), jika terjadi perubahan warna pada media menjadi hitam / ke-hitaman. Sedangkan dengan cara Semi kualitatif, dpat dijelaskan sebagai berikut :

Botol 100 ml :
  • Warna hitam dalam waktu 1 3 hari berarti mengandung 1 bakteri/100 ml.
  • Warna hitam pekat dalamwaktu < 24 jam berarti mengandung > banyak bakteri/100 ml.
Tabung 20 ml :
  • Warna hitam dalam waktu 1 3 hari berarti mengandung > 5 bakteri/100 ml.
  • Warna hitam pekat dalam waktu < 24 jam berarti mengandung > 50 bakteri/100 ml.

Rabu, 19 Mei 2010

Deklarasi ODF Kec. Padang

Deklarasi Open Defecation Free (ODF) Kecamatan Padang Kab. Lumajang

Satu lagi Deklarasi penting dilakukan di Kabupaten Lumajang, Deklarasi Kecamatan Padang, sebagai Kecamatan ke tiga dengan 100% masyarakat telah bebas dari buang air besar sembarangan. Deklarasi ini dilakukan oleh masyarakat dengan penanda tanganan prasasti dilakukan oleh Bupati Lumajang (Dr. Sjahrazad Masdar, MA), pada Tanggal 18 Mei 2010, di Kantor Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang.

Pada tingkat lokal Deklarasi ini menjadi cukup bermakna karena beberapa hal, antara lain :

Deklarasi ini merupakan first step dari banyak deklarasi serupa yang ditargetkan akan dilakukan di Kabupaten Lumajang. Sebagaimana komitmen Pemerintah Kabupaten Lumajang bahwa target Kabupaten Lumajang pada tahun 2013 seluruh wilayah Kabupaten sudah mnecapai status ODF. Sebagaimana kita ketahui bahwa target Nasional kondisi ini akan dicapai sampai tahun 2014 (100 % Stop BAB sembarangan).

100_5983Deklarasi yang dihadiri oleh (tidak lebih) dari 500 undangan, dari kalangan Legislatif, Kementerian Kesehatan, Birokrasi (Kepala Dinas/Kantor/Intansi Vertikal, Camat, Danramil, Kapolsek, se Kabupaten Lumajang, serta masyarakat Kecamatan padang. Secara implisit, tingkat kehadiran dengan beragam latar belakang ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa Gerakan STBM telah menjadi sebuah totalitas gerakan di masyarakat. Sebagai catatan, bahwa peran Lintas Sektor khususnya Koramil sangat mewarnai Gerakan STBM di Kabupaten Lumajang, sehingga secara bermakna berperan dalam percepatan pencapaian target ODF.

Sebagai informasi perkembangan pelaksanaan STBM di Kabupaten Lumajang telah menunjukkan trend menjanjikan, sebagaimana data berikut :
100_5985
Kec gucialit : 9 Desa (Kecamatan ODF)
Kecamatan Senduro : 12 Desa (Kecamatan ODF)
Kecamatan Padang (odf) : 9 Desa (Kecamatan ODF)
Kecamatan Kedungjajang : 12 Desa (Rencana Deklarasi pada bulan juni
Kecamatan Pronojiwo : 2 Desa ODF
Kecamatan Pasirian : 2 Desa ODF
Kecamatan Yosowilangun : 4 Desa ODF
Sedangkan kecamatan lainnya telah menunjukkan trend ke arah jalan yang lurus dan telah mempunyai beberapa wilayah ODF ditingkat Posyandu, serta mempunyai target Kecamatan ODF serta perkembangan terakhir yang on schedulle :
  1. Kecamatan Pasrujambe, rencana Deklarasi ODF pada bulan Juni 2010, mulai bergerak serta telah terbentuk jejaring sanitasi.
  2. Kecamatan Yosowilangun, rencana Deklarasi ODF pada bulan Juli 2010, Muspika bergerak 2 kali seminggu turun ke desa.
  3. Kecamatan Tempursari, rencana Deklarasi ODF pada bulan Agustus 2010.
  4. DSCN0902Kecamatan Jatiroto, rencana Deklarasi ODF pada bulan Desember 2010, target ini dapat lebih cepat terealisasi mengingat totalitas dukungan Danramil dengan gerakan karya bhakti-nya.
  5. Kecamatan Pronojiwo, rencana Deklarasi ODF pada bulan September 2010, gerakan muspika dan lintas sektor 2 kali seminggu turun ke desa
  6. Kecamatan Tekung, rencana Deklarasi ODF pada bulan Desember 2010, gerakan muspika turun ke desa juga telah dilakukan
Jika target diatas terwujud, maka sepanjang tahun 2010 ini Kabupaten Lumajang akan mempunyai 10 Kecamatan ODF. Selanjutnya tantangan masih menanti  . mempertahankan perilaku Buang Air Besar Masyarakat hanya di jamban, agar tidak kembali menjadi OD lagi .