Blogger templates

Tampilkan postingan dengan label Kesehatan Lingkungan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kesehatan Lingkungan. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 08 Desember 2012

Prinsip Kerja Ventilasi

Fungsi, Prinsip dan Mekasnisme Sistem Kerja Ventilasi

Ventilasi pada banyak penelitian berperan penting dalam Kesehatan lingkungan dan Kesehatan masyarakat. Banyak penelitian menunjukkan hubungan signifikan antara ventilasi dan kejadian penyakit berbasis lingkungan seperti tuberculosis paru atau penyakit lainnya. Sebagai tenaga Kesehatan lingkungan, kita juga memahami ventilasi sebagai salah satu komponen standar rumah sehat.

Ventilasi  adalah  proses  penyediaan  udara  segar  ke  dalam dan  pengeluaran  udara  kotor  dari  suatu  ruangan  tertutup  secara alamiah  maupun  mekanis.  Tersedianya  udara  segar  dalam  rumah atau  ruangan  amat  dibutuhkan  manusia,  sehingga  apabila  suatu ruangan  tidak  mempunyai  sistem  ventilasi  yang  baik  dan over crowded  maka  akan  menimbulkan  keadaan  yang  dapat  merugikan Kesehatan

Fungsi utama ventilasi dan jendela antara lain : Sebagai lubang masuk dan keluar angin sekaligus sebagai lubang pertukaran udara atau lubang ventilasi yang tidak tetap (sering berupa jendela atau pintu); Sebagai lubang masuknya cahaya dari luar (sinar matahari).

Agar udara dalam ruangan segar persyaratan teknis ventilasi dan jendela sebagai berikut :
  1. Luas lubang ventilasi tetap, minimum 5% dari luas lantai ruangan dan luas lubang ventilasi insidentil (dapat dibuka dan ditutup) minimum 5% luas lantai, dengan tinggi lubang ventilasi minimal 80 cm dari langit-langit.
  2. Tinggi jendela yang dapat dibuka dan ditutup minimal 80 cm dari lantai dan jarak dari langit-langit sampai jendela minimal 30 cm.
  3. Udara yang masuk harud udara yang bersih, tidak dicemari oleh asap pembakaran sampah, knaolpot kendaraan, debu dan lain-lain.
  4. Aliran  udara diusahakan cross ventilation dengan menempatkan lubang hawa berhadapan antara dua dinding ruangan.Aliran udara ini diusahakan tidak terhalang oleh barang-barang seperti almari, dinding, sekat-sekat, dan lain-lain.
  5. Kelembaban udara dijaga antara 40% s/d 70%.
Prinsip utama dari ventilasi adalah menggerakan udara kotor dalam rumah atau di tempat kerja, kemidian menggantikannya dengan udara bersih. Sistem ventilasi menjadi fasilitas penting dalam upaya penyehatan udara pada suatu lingkungan kerja. Menurut ILO (1991), ventilasi digunakan untuk memberikan kondisi dingin atau panas serta kelembaban di tempat Kerja. Fungsi lain adalah untuk mengurangi konsentrasi debu dan gas-gas yang dapat menyebabkan keracunan, kebakaran dan peledakan.

Secara umum kita mengenal beberapa bentuk ventilasi :

Ventilasi alami (Natural Ventilation): Merupakan suatu bentuk pertukaran udara secara alamiah tanpa bantuan alat-alat mekanik seperti kipas. Ventilasi alami masih dapat dimungkinkan membersihkan udara selama pada saat ventilasi terbuka terjadi pergantian dengan udara yang segar dan bercampur dengan udara yang kotor yang ada dalam ruangan.

Standar luas ventilasi alami (Sumamur, 1987) lebih dari 20 % luas lantai tempat kerja. Penggunaan ventilasi alami tidak efektif jika digunakan dengan tujuan untuk mengurangi emisi gas, debu dan vapours ditempat kerja. Hal ini disebabkan tingkat kesulitan yang tinggi pada ventilasi alami terkait penentuan parameter yang harus kita ketahui menyangkut kecepatan angin, tekanan angin dari luar, arah angin, radiasi panas dan berapa besar pengaruh lubang-lubang yang ada pada dinding dan atap, Ventilasi alami biasanya digunakan dengan tujuan untuk memberikan kesegaran dan kenyamanan pada tempat Kerja yang tidak memiliki sumber bahaya yang tinggi.

Ventilasi Umum (General Ventilation): General ventilation atau ventilasi umum biasanya digunakan pada tempat kerja dengan emisi gas yang sedang dan derajat panas yang tidak begitu tinggi. Jenis ventilasi ini biasanya dilengkapi dengan alat mekanik berupa kipas penghisap. Sistem kerja yang dibangun udara luar tempat kerja di hisap dan di hembuskan oleh kipas kedalam rungan bercampur dengan bahan pencemar sehingga terjadi pengenceran. Kemudian udara kotor yang telah diencerkan tersebut dihisap dan di buang keluar.

Ventilasi pengeluaran setempat (Local Exhaust Ventilation): Jenis ventilasi ini dipakai dengan pertimbangan teknis, bahwa bahan pencemar berupa gas, debu dan vapours yang ada pada tempat kerja dalam konsentrasi tinggi tidak dapat dibuang atau diencerkan hanya dengan menggunakan ventilasi umum apalagi ventilasi alami, namun harus dengan ventilasi pengeluaran setempat yang diletakan tepat pada sumber pencemar. Bahan pencemar yang keluar dari proses kerja akan langsung di hisap oleh ventilasi, sebelum sampai pada tenaga kerja.

Comfort Ventilation: Contoh ventilasi ini dengan digunakanyya Air Conditioner (AC) pada suatu ruangan. Jenis ventilasi ini berfungsi menciptakan kondisi tempat kerja agar menjadii nyaman, hangat bagi tempat kerja yang dingin, atau menjadi sejuk pada tempat kerja yang panas.

Sementara pendapat serupa mengatakan, bahwa untuk memperoleh ventilasi yang baik dapat dilaksanakan dengan cara :
  1. Ventilasi alamiah, merupakan ventilasi yang terjadi secara alamiah, dimana udara masuk kedalam ruangan melalui jendela, pintu, atau lubang angin yang sengaja dibuat.
  2. Ventilasi Mekanik, merupakan ventilasi buatan dengan menggunakan: a. AC (Air Conditioner), yang berfungsi untuk menyedot udara dalam ruang kenudian disaring dan dialirkan kembali dalam ruangan; b. Fan (Baling-baling) yang menghasilkan udara yang dialirkan ke depan; c. Exhauser, merupakan baling-baling penyedot udara dari dalam dan luar ruangan untuk proses pergantian udara yang sudah dipakai..
Faktor yang harus diperhatikan dalam membangun sistem ventilasi, selain bentuk juga harus sangat diperhatikan kekuatan aliran dan tata letak ventilasi. Letak ventilasi harus sesuai dengan priciples of dilution ventilation, terutama untuk tempat kerja dengan resiko paparan bahan kimia.

Berdasarkan standar Industrial ventilation, a manual of recommended pratice (ACGIH, 1984) kecepatan aliran udara secara umum untuk tempat dimaksud lebih dari 75 fpm. Sedangkan detail tata letak tata letak ventilasi sebagimana gambar berikut :


 


Reference, antara lain :
  • Industrial Ventilation, A Manual Of Recommended Pratice (ACGIH). 1984. Industrial Ventilation, Edwards Brothers. Michigan USA
  • Sumamur, P.K. 1987.  Hygiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. 

Selasa, 27 November 2012

Sanitasi Pengelolaan Pestisida

Aspek Lingkungan Tempat Pengelolaan Pestisida

Sebagai praktisi Kesehatan lingkungan, salah satu jenis pestisida yang familier adalah pestisida hygiene lingkungan. Pestisida ini merupakan pestisida yang digunakan untuk pemberantasan vektor penyakit menular (serangga, tikus) atau untuk pengendalian hama di rumah-rumah, pekarangan, tempat kerja, tempat umum lain, termasuk sarana angkutan dan tempat penyimpanan/pergudangan. Dan aplikasi dari jenis pestisida ini kita mengenalnya dengan foggig, thermal fog, atau kegiatan dan istilah lainyya terkait pemberantasan vektor secara kimia.

Terkait dengan penggunaan pestisida, beberapa dasar hukum pengelolaan Pestisida yang kita kenal, antara lain :
  1. Peraturan Pemerintah Nomor : 7 Tahun 1973 tentang Pengawasan atas Peredaran, Penyimpanan, dan Penggunaan Pestisida
  2. Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 280/Kpts/Um/6/1973 tentang Prosedur Permohonan Pendaftaran dan Izin Pestisida.
  3. Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 24/Permentan/SR.140/4/2011 Tentang Syarat dan Tatacara Pendaftaran Pestisida 
  4. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor   :  258/MENKES/PER/III/1992 Tentang Persyaratan Kesehatan Pengelolaan Pestisida
  5. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor : PER-03/MEN/1986 tentang Syarat-syarat Keselamatan dan Kesehatan Tempat Kerja yang mengelola pestisida.
  6. Keputusan Menteri Pertanian No. 949 Tahun 1998 Tentang : Pestisida Terbatas
Sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor   :  258/MENKES/PER/III/1992 terdapat dua jenis penggololngan, yaitu Pestisida dan Pestisida hygiene lingkungan. Yang dimaksud dengan Pestisida adalah semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang dipergunakan untuk :
  • Memberantas atau mencegah hama-hama  dan penyakit-penyakit yang merusak tanaman; bagian-bagian tanaman, atau hasil-hasil pertanian;
  • Memberantas rerumputan;
  • Mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian tanaman tidak termasuk pupuk;
  • Mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan;
  • Memberantas atau mencegah hama-hama luar pada hewan-hewan piaraan dan ternak;
  • Memberantas atau mencegah hama-hama air;
  • Memberantas atau mencegah binatang-binatang dan jasad-jasad renik dalam rumah tangga, bangunan dan dalam alat-alat pengangkutan;
  • Memberantas atau mencegah binatang-binatang termasuk serangga yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia atau binatang yang perlu dilindungi dengan penggunaan pada tanaman, tanah atau air;
Regulasi dan pengaturan teknis penggunaan pestisida memang harus sedemikian detail, mengingat dampak pengunaan pestisida ini. Berbagai komponen yang terlibat dalam tata kelola Pestisida beresiko terpapar pestisida. Misalnya petani, tenaga kerja toko penjual pestisida merupakan kelompok tenaga kerja yang berisiko mengalami keracunan akibat paparan pestisida. Paparan pestisida ke petani terjadi apabila petani bekerja dengan tidak memperhatikan aspek keselamatan dan Kesehatan kerja, seperti menggunakan alat bantu kerja yang baik dan selalu menggunakan alat pelindung diri pada saat petani melakukan pencampuran bahan aktif dengan air, pengadukan dan penyemprotan pestisida pada tanaman.

Terjadinya keracunan pestisida sangat berpotensi terjadi pada petani atau petugas pengelola (Toko) Pestisida.  Keracunan baik pada  tingkat ringan atau sedang sangat terkait dengan frekuensi penyemprotan atau dengan potensi terpapar melalui kontak dengan pestisida selama jam kerja (pada tenaga kerja toko penjual pestisida). Proses ini dapat terjadi dan berlangsung misalnya pada saat pestisida diterima dari distributor, pada saat pengangkutan dari kendaraan ke gudang penyimpanan, penataan dan penyusunan di rak atau etalase, memperbaiki atau mengganti pembungkus yang rusak, memformulasikan dan membuat kemasan pestisida dalam ukuran kecil, pada saat membersihkan gudang, toko dan selama tenaga kerja tersebut berada dalam lingkungan udara tempat kerja yang terkontaminasi oleh pestisida. Selain faktor lingkungan, terjadinya keracunan pestisida juga dimungkan karena faktor perilaku pekerja.

Perilaku yang tidak aman merupakan faktor penyebab utama timbulnya kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Berdasarkan statistik, lebih dari 80% kecelakaan dan penyakit akibat kerja terjadi karena adanya perilaku yang tidak aman. Kecelakaan dan penyakit akibat kerja dapat terjadi karena kondisi lingkungan yang tidak aman (unsafe condition) dan karena perilaku yang tidak aman (unsafe act). Kedua kondisi tersebut secara sendiri-sendiri maupun bersamaan akan dapat menimbulkan kerugian berupa kecelakaan ataupun penyakit akibat kerja (Heinrich, 1980).

Menurut WHO,  kondisi lingkungan yang tidak aman pada toko penjual pestisida dapat dihindari dengan melakukan pengendalian lingkungan. Prinsip pengendalian lingkungan kerja pengelolaan pestisida antara lain meliputi penataan sistem ventilasi yang baik, housekeeping dan maintenance. Sistem ventilasi yang baik pada suatu tempat kerja akan menjamin kesegaran dan kebersihan udara tempat kerja sehingga memberikan kenyamanan dalam bekerja dan memberikan rasa aman dan sehat bagi tenaga kerja yang berada di dalamnya karena ia mampu menghilangkan atau mengurangi kontaminasi yang ada dalam udara dan menggantikanya dengan udara yang bersih (ILO, 1991).

Aspek Sistem Ventilasi
Kondisi udara perlu di tata secara optimal agar memberikan kondisi yang nyaman, aman dan sehat untuk bekerja. Dan salah satu tujuan dibuatnya fasiltas ventilasi untuk menciptakan suasana dimaksud. Ventilasi digunakan untuk memberikan kondisi dingin atau panas serta kelembaban di tempat Kerja. Fungsi lain ventilasi untuk mengurangi konsentrasi debu dan gas-gas yang dapat menyebabkan keracunan, kebakaran dan peledakan.

Secara prinsip sistem kerja ventilasi adalah menggerakan udara kotor di tempat kerja, kemudian menggantikannya dengan udara yang bersih. Sistem ventilasi merupakan hal pokok dalam upaya penyehatan udara lingkungan kerja. Jika ventilasi dibuat dengan standar dan berfungsi baik maka paparan bahan beracun pada tenaga kerja dapat dihindari atau minimal dikurangi.

Aspek Housekeeping
Housekeeping atau kebersihan dan pemeliharaan ketatarumahtanggaan merupakan hal yang penting dalam upaya menciptakan lingkungan kerja yang selamat dan sehat.

Aspek Maintenance
Menurut ILO (1991), maintenance diartikan sebagai upaya perawatan dengan cara perbaikan dan atau menggantikan bagian yang rusak dari suatu fasilitas baik yang berhubungan dengan kegiatan produksi, bangunan dan fasilitas lainnya agar sesuai dengan standar penggunaannya. Perawatan atau menjaga dan perbaikan suatu peralatan sebelum alat tersebut mengalami kerusakan. Maintenance dapat dilakukan melalui upaya secara periodik atau disebut sebagai periodic inspection and checking maupun inspeksi secara menyeluruh agar diketahui kesalahan dan kerusakan lebih awal.

Housekeeping dan maintenance meru pakan satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan dan keduanya saling mendukung. Bagaimana suatu tempat kerja dapat tertata dengan baik dan bersih bila upaya perawatan atau maintenance di tem pat kerja tersebut tidak dapat di jalankan dengan baik. Sebagai ilustrasi bagaimana housekeeping mengenai kebersihan suatu lantai kerja dapat tercapai bila kebocoran pada atap tempat kerja tidak segera di atasi melalui upaya maintenance, setiap hujan lantai akan menjadi basah dan kotor sehingga mengganggu kelancaran kerja bahkan dapat menjadi penyebab terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 258/MENKES/PER/III/1992 Tentang Persyaratan Kesehatan Pengelolaan Pestisida (Pasal 6), disebutkan bahwa :
  1. Tempat Pembuatan dan Penyimpanan pestisida harus memenuhi persyaratan Kesehatan;
  2. Persyaratan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengenai lokasi, bangunan, kontruksi fasilitas sanitasi dan tata ruang/letak serta sarana lain yang diperlukan untuk pengamanannya.
  3. Pestisida yang disajikan dalam  ruang penjualan atau dalam pengangkutan harus memenuhi persyaratan Kesehatan untuk menghindarkan gangguan Kesehatan dan atau pencemaran lingkungan.
  4. Ketentuan persyaratan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan (3) ditetapkan oleh Direktur Jenderal.
Sesuai Keputusan Dirjen P2M dan PLP Nomor : 32 tahun 1993 tentang Persyaratan Kesehatan Tempat Pembuatan, Penyimpanan, Penyajian dan Pengangkutan Pestisida, diatur tentang tata letak dan fasilitas- fasilitas yang harus dilengkapi agar mudah untuk dibersihkan dan diatur sedemikian rupa sehingga dapat menjamin keselamatan dan Kesehatan tenaga kerja.


Toko penjual pestisida merupakan tempat untuk menyimpan pestisida sekalian juga tempat meyajikan pestisida untuk itu perlu diketahui beberapa persyaratan tentang hal tersebut. Persyaratan Kesehatan tempat penyimpanan pestisida adalah sebagai berikut :

Lokasi: Lokasi berada di tempat bebas banjir di daerah atau kawasan industri, memiliki jarak aman dari pemukiman dan mudah dijangkau oleh kendaraan pengangkut, pemadam kebakaran dan ambulan.

Kontruksi bangunan: Lantai bangunan harus kedap air dan mudah dibersihkan, bagian luar dilapisi sekat kedap air setinggi 15 cm. Pelataran kedap air dan dikelilingi oleh parit. Langit-langit dan atap terbuat dari bahan yang ringan, mudah pecah oleh panas serta tidak tembus cahaya. Dilengkapi dengan penghisap debu, terdapat pintu darurat. Bahan bangunan tidak mudah terbakar serta pemasangan instalasi listrik harus bebas dari bahaya kebakaran.

Fasilitas sanitasi: Tersedia tempat air bersih, instalasi pengolahan air limbah, satu kakus untuk 20 tenaga kerja. Kamar mandi dilengkapi dengan shower, tempat cuci tangan dilengkapi dengan sabun dan lap. Pembersih lantai dilengkapi dengan absorbent dan bahan kimia penetralisasi. Tersedia tempat sampah domestik dan khusus pestisida.

Tata ruang: Harus tersedia tempat khusus untuk : 1) menyimpan pestisida; 2) kantor; 3) tempat ganti pakaian; 4) ruang istirahat; 5) ruang makan; 6) tempat menyimpan bahan baku pestisida; 7) tempat menyimpan bahan pestisida yang sudah diproses.

Tata letak: Setiap pestisida di letakan sesuai dengan sifat kimianya, pintu masuk tempat pestisida harus berhubungan langsung dengan ruang khusus lalulintas karyawan dan barang. Pintu utama harus berhubungan langsung dengan bagian luar. Ruangan khusus untuk perubahan atau perbaikan kemasan tidak dibenarkan dekat dengan pintu utama dan ruang kantor harus dipisah dengan ruangan tempat pestisida.

Tata cara penyimpanan: Setiap barang yang masuk ke gudang harus melalui pemeriksaan agar dapat disimpan secara aman. Bahan makanan, tekstil dan barang sejenis lainya dilarang diletakan di tempat pestisida. Setiap kemasan pestisida tidak boleh diletakan langsung diatas lantai, seperti : 1) kemasan berat (drum, bag dan boxis) diletakan atau disusun diatas balok kayu atau pallet; 2) kemasan kecil letakan atau disusun dalam rak. Tinggi rak masimal 2 meter dan jarak dari atap gudang minimal 1 meter. Sirkulasi barang dengan sistem FIFO (first in first out). Standar jarak rak penyimpanan adalah 5 cm dari dinding, 15 cm dari lantai dan 60 cm dari langit-langit.

Tata cara istirahat: Setiap orang dilarang berada dalam gudang pestisida selama waktu istirahat, makan dan minum, merokok dan kegiatan lainnya yang tidak berkaitan dengan kegiatan penyimpanan barang.

Standar dan persyaratan tempat penyajian pestisida adalah sebagai berikut :

Konstruksi ruangan: Konstruksi diatur sedemikian rupa sehingga memberikan kemudahan dalam pelayanan terhadap pembeli, mudah dibersihkan, luas ventilasi minimal 20 % luas lantai dan pencahayaan minimal 200 lux.

Tata letak: Setiap jenis (nama dagang) pestisida tidak boleh di sajikan erlalu banyak dalam ruang penjualan, disajikan dalam rak atau lemari dengan tinggi maksimal 2 meter dan tidak boleh langsung diatas lantai. Pestisida yang sangat berbahaya diletakakn dalam lemari kaca terkunci. Tiap jenis pestisida harus jelas batas pemisahannya. Bahan makanan dan obat-obatan tidak boleh didekatkan penyajianya.

Wadah: Penjualan pestisida tidak boleh dilakukan dengan cara membuka, merubah atau menukar wadah aslinya.

Sarana lain: Sarana lain yang harus dimiliki : 1) alat pemadam kebakaran;2) alat cuci tangan yang dilengkapi dengan sabun dan lap; 3) kakus dan kamar mandi.

Refference, antara lain :
  • Control Technology For The Formulation and Packing of Pesticide (WHO. 1992)
  • Industrial Accident Prevention (Heinrich, H.W. 1980)
  • Encylopaedia of Occupational Health and Safety (ILO, 1991)

Jumat, 09 Maret 2012

Fogging dan Resistensi Aedes Aegypti


Resistensi Aedes Aegypti Terhadap Insektisida

Sebagaimana kita ketahui, usaha pengendalian dan pemberantasan vektor demam berdarah telah banyak dilakukan. Selain dengan menerapkan usaha pemberantasan sarang nyamuk (PSN), juga dilakukan fogging untuk memutus mata rantai penularan DBD.  Fogging dimaksudkan sebagai upaya membasmi nyamuk dewasa (aedes aegyti). Di pasaran, saat ini, salah satu jenis insektisida yang digunakan untuk memberantas vektor demam berdarah dengue adalah malathion.

Malathion merupakan insektisida golongan organofosfat. Ciri khas dari malathion, antara lain mampu melumpuhkan serangga dengan cepat dengan mekanisme menyerang sistem saraf terutama pada sinapsis. Ciri malathion lain, mempunyai toksisitas relatif rendah terhadap mammalia dan kurang stabil terhadap vertebrata. Selain itu malathion bersifat korosif terhadap logam, berbau khas, serta mempunyai rantai karbon yang pendek. Di pasaran bentuk malathion adalah cair, biasa diaplikasikan dalam thermal fogging. Mode of entry malathion adalah melalui kulit, pernafasan dan pencernaan.

Namun penggunaan insektisida (untuk memberantas`n nyamuk aedes aegypti) yang kurang terkendali akan berakibat terjadinya resistensi pada nyamuk. Menurut World Health Organization (WHO), pengertian resistensi adalah berkembangnya kemampuan toleransi suatu spesies serangga terhadap dosis toksik insektisida yang mematikan sebagian besar populasi. Secara prinsip mekanisme resistensi ini akan mencegah insektisida berikatan dengan titik targetnya atau tubuh serangga menjadi mampu untuk mengurai bahan aktif insektisida sebelum sampai pada titik sasaran. Sedangkan jenis atau tingkatan resistensi itu sendiri meliputi tahap rentan, toleran baru kemudian tahap resisten. Beberapa faktor yang mempengaruhi mekanisme resistensi insektisida pada aedes aegypti ini, antara lain :
  • Faktor genetic. Faktor ini tergantung pada keberadaan gen resisten yang mampu mengkode pembentukan enzim tertentu dalam tubun nyamuk. Enzim inih akan menetralisir keberadaan insektisida (misalnya enzim esterase).
  • Faktor biologis yaitu kecepatan regenerasi nyamuk aedes aegypti. Kemampuan beradaptasi terhadap tekanan alam seperti pemberian insektisida dan didukung kecepatan regenerasi yang tinggi menyebabkan nyamuk cepat menurunkan generasi yang resisten.
  • Faktor operasional meliputi bahan kimia yang digunakan, cara aplikasi, frekuensi, dosis dan lama pemakaian.
Laju perkembangan resistensi sangat dipengaruhi oleh tingkat tekanan seleksi yang diterima oleh suatu populasi nyamuk Aedes aegypti  Pada kondisi yang sama populasi yang menerima tekanan yang lebih keras akan berkembang menjadi populasi yang resisten dalam waktu yang lebih singkat dibandingkan dengan populasi yang menerima tekanan seleksi lebih lemah.

Resistensi Aedes?
Pada dasarnya mekanisme resistensi insektisida pada serangga dapat dibagi menjadi tiga tahap. Pada tahap pertama terjadi peningkatan detoksifikasi insektisida, sehingga insektisida menjadi tidak beracun (hal ini disebabkan pengaruh kerja enzim tertentu). Kemudian terjadi penurunan kepekaan titik target insektisida pada tubuh,. Tahap selanjut terjadi penurunan laju penetrasi insektisida melalui kulit, sehingga menghambat masuknya bahan aktif insektisida dan meningkatkan enzim detoksifikasi.

Untuk menilai dan mengukur tingkat resistensi vektor aedes aegypti ini dapat dilakukan dengan melakukan uji susceptibility. Pengujian ini digunakan untuk menguji resistensi nyamuk terhadap insektisida. Uji ini menggunakan dosis insektisida sesuai standard WHO. Secara garis besar metode penilaian uji, dilakukan dengan menghitung jumlah nyamuk yang mati setelah terpapar insektisida. Sesuai standar ini, terdapat tiga jenis kategori pembacaan yaitu rentan jika jumlah kematian lebih dari 98%, toleran jika jumlah kematian antara 80%-98% dan resisten jika kematian kurang dari 80%.

Reference
- Djojosumarto Panut. 2008. Teknik Aplikasi Pestisida Pertanian. Kanisius. Yogyakarta

Kamis, 23 Februari 2012

Kebisingan dan <a href="http://toko-alkes.com">Kesehatan</a>


Pengaruh Bising Terhadap Kesehatan

Pada tulisan terdahulu kita sudah singgung sekilas Kesehatan.blogspot.com/2012/02/kebisingan.html">pengertian dan katagori kebisingan. Pada kesempatan ini kita coba tulis sekilas informasi terkait pengaruh kebisingan terhadap Kesehatan.

Pengaruh bising terhadap Kesehatan tergantung pada intesitas, frekuensi, lama paparan, jenis bising dan sensitivitas individu. Intesitas bising yang tinggi lebih menggangu dibanding intesitas bising yang rendah. Bising hilang timbul lebih menggangu dari bising kontinyu. Diantara bising hilang timbul, maka bising pesawat udara lebih mengganggu dibanding bising lalu lintas dan bising kereta api.

Ear Plug
Dampak negatif utama yang timbul sebagai akibat dari kebisingan terutama pada aspek Kesehatan. Bunyi mendadak yang keras secara cepat diikuti oleh reflek otot di telinga tengah yang akan membatasi jumlah energi suara yang dihantarkan ke telinga dalam. Meskipun demikian di lingkungan dengan keadaan semacam itu relatif jarang terjadi. Kebanyakan seseorang yang terpajan pada kebisingan mengalami pajanan jangka lama, yang mungkin intermiten atau terus menerus. Transmisi energi seperti itu, jika cukup lama dan kuat akan merusak organ korti dan selanjutnya dapat mengakibatkan ketulian permanen.

Kesepakatan para ahli mengemukakan bahwa batas toleransi untuk pemaparan bising selama 8 jam perhari, sebaiknya tidak melebihi ambang batas 85 dBA. Pemaparan kebisingan yang keras selalu di atas 85 dBA, dapat menyebabkan ketulian sementara. Biasanya ketulian akibat kebisingan terjadi tidak seketika sehingga pada awalnya tidak disadari oleh manusia. Baru setelah beberapa waktu terjadi keluhan kurang pendengaran yang sangat mengganggu dan dirasakan sangat merugikan. Pengaruh-pengaruh kebisingan selain terhadap alat pendengaran dirasakan oleh para pekerja yang terpapar kebisingan keras mengeluh tentang adanya rasa mual, lemas, stres, sakit kepala bahkan peningkatan tekanan darah. Apakah kebisingan dapat menyebabkan perubahan yang menetap seperti penyakit tekanan darah tinggi.

Gangguan Kesehatan lainnya selain gangguan pendengaran biasanya disebabkan karena energi kebisingan yang tinggi mampu menimbulkan efek viseral, seperti perubahan frekuensi jantung, perubahan tekanan darah, dan tingkat pengeluaran keringat. Sebagai tambahan, ada efek psikososial dan psikomotor ringan jika dicoba bekerja di lingkungan yang bising.

Bising menyebabkan berbagai gangguan pada tenaga kerja.Gangguan Kesehatan yang ditimbulkan akibat bising pada tenaga kerja bermacam-macam. Efek atau gangguan kebisingan dapat dibagi menjadi dua yaitu (Siswanto, 1992).:

Gangguan fisiologis dapat berupa peningkatan tekanan darah dan penyakit jantung.
Kebisingan bisa direspon oleh otak yang merasakan pengalaman ini sebagai ancaman atau stres, yang kemudian berhubungan dengan pengeluaran hormon stres seperti epinephrine, norepinephrine dan kortisol. Stres akan mempengaruhi sistim saraf yang kemudian berpengaruh pada detak jantung, akan berakibat perubahan tekanan darah. Stres yang berulang-ulang bisa menjadikan perubahan tekanan darah itu menetap. Kenaikan tekanan darah yang terus- menerus akan berakibat pada hipertensi dan stroke.

Gangguan pada indera pendengaran.
Trauma Akustik: Merupakan gangguan pendengaran yang disebabkan pemaparan tunggal (Single exposure) terhadap intensitas yang tinggi dan terjadi secara tiba-tiba, sebagai contoh gangguan pendengaran atau ketulian yang disebabkan suara ledakan bom. Hal ini dapat menyebabkan robeknya membran tympani dan kerusakan tulang-tulang pendengaran.

Temporary Threshold Shift (TTS) atau kurang pendengaran akibat bising sementara (KPABS). Adalah efek jangka pendek dari pemaparan bising, berupa kenaikan ambang sementara yang kemudian setelah berakhirnya pemaparan terhadap bising akan kembali normal. Faktor yang mempengaruhi terjadinya TTS adalah intensitas dan frekuensi bising, lama waktu pemaparan dan lama waktu istirahat dari pemaparan, tipe bising dan kepekaan individual.

Permanent Threshold shift (PTS) atau kurang pendengaran akibat bising tetap. Adalah kenaikan ambang pendengaran yang bersifat irreversibel, sehingga tidak mungkin terjadi pemulihan. Ini dapat disebabkan oleh efek kumulatif pemaparan terhadap bising yang berulang selama bertahun-tahun.

Nilai Ambang Batas (NAB) Kebisingan
Kebisingan mengganggu perhatian yang terus menerus dicurahkan. Maka dari itu, tenaga kerja yang melakukan pengamatan dan pengawasan terhadap suatu proses produksi atau hasil dapat melakukan kesalahan-kesalahan.Akibat kebisingan juga dapat meningkatkan kelelahan

Nilai ambang batas kebisingan mengacu pada Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 5 1/KEPMEN/1999. Nilai ambang batas ini menggunakan patokan kebisingan di tempat kerja yang dapat diterima tenaga kerja tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan Kesehatan dalam pekerjaannya sehari-hari untuk waktu tidak melebihi 8 jam sehari atau 40 jam seminggu.

Intensitas dan Jam Kerja Diperkenankan
Waktu pemaparan sehari
Waktu Intensitas
kebisingan (NAB)
1
Jam
3
8
Jam
85
4
Jam
88
2
Jam
91
1
Menit
94
30
Menit
97
1.5
Menit
100
7.5
Menit
103
3.75
Menit
106
1.88
Menit
109
0.94
Menit
112



Article Source :
Antara lain : Siswanto, A. dan Haryuti,1991,Kebisingan, Balai Hiperkes dan Keselamatan Kerja Departemen Tenaga Kerja, Jawa Timur  dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 51/KEPMEN/1999

Rabu, 08 Februari 2012

Sanitasi Lingkungan dan DBD


Aspek Sanitasi Lingkungan yang Berhubungan dengan DBD

Menurut Soemirat (2000), lingkungan adalah segala sesuatu baik berupa benda mati atau benda hidup, nyata atau abstrak seperti suasana yang terbentuk akibat interaksi semua elemen yang ada di alam. Lingkungan sangat erat hubungannya dengan Kesehatan, karena lingkungan yang menyediakan fasilitas untuk keberadaan suatu makhluk hidup.   

Pengertian sanitasi menurut Ehler dan Steel (1958) adalah sebagai usaha untuk mencegah penyakit dengan cara menghilangkan atau mengatur faktor-faktor lingkungan yang berkaitan dengan rantai penularan penyakit tersebut. Sementara menurut Riyadi (1984), sanitasi lingkungan adalah prinsip-prinsip untuk meniadakan atau setidak-tidaknya menguasai faktor-faktor lingkungan yang dapat menimbulkan penyakit.

World Health Organization (WHO) memberikan batasan kajian sanitasi pada usaha pengawasan penyediaan air minum bagi masyarakat, pengelolaan pembuangan tinja dan air limbah, pengelolaan sampah, vektor penyakit, kondisi perumahan, penyediaan dan penanganan makanan, kondisi atmosfer dan Kesehatan kerja.

Sedangkan ruang lingkup kegiatan sanitasi lingkungan menurut Riyadi (1984) antara lain mencakup sanitasi perumahan, sanitasi makanan, penyediaan air bersih, pengelolaan sampah, pembuangan air limbah dan kotoran manusia serta pemberantasan vektor.

Terkait dengan usaha pemberantasan dan pengendalian vektor diatas, menurut Depkes RI (1985), usaha perbaikan sanitasi lingkungan merupakan salah satu cara untuk menjaga populasi vektor dan binatang pengganggu tetap pada suatu tingkatan tertentu yang tidak menimbulkan masalah Kesehatan.Sedangkan WHO (2001) menyatakan bahwa aspek penyediaan air bersih, pengelolaan sampah dan perbaikan disain rumah sangat penting kaitannya dengan upaya pengendalian vektor Demam Berdarah Dengue (DBD). Maka dapat kita kembalikan pada prinsip penting pengendalian vektor ini, bahwa pada dasarnya usaha sanitasi bertujuan untuk menghilangkan food preferences, breeding place) dan resting place vektor dan binatang pengganggu.

Aspek sanitasi lingkungan yang berhubungan dengan pengendalian vektor, khususnya aedes aegypti meliputi penyediaan air bersih dan pengelolaan sampah. Sistem penyediaan air pada tingkat rumah tangga, berpengaruh langsung pada kepadatan vektor ini. Jika sistem itu telah meminimalisasi tempat penampungan air, misalnya karena sudah menggunakan jaringan perpipaan, maka sangat dimungkinkan kepadatan vektor (baca jentik) juga akan menurun. Sebagaimana kita ketahui, tempat-tempat penampungan air (kontainer) pada tingkat rumah tangga yang menjadi tempat kehidupan telur, larva, pupa Aedes.  

Kebiasaan penyimpanan air untuk keperluan rumah tangga yang mencakup gentong, baik yang terbuat dari tanah liat, semen maupun keramik serta drum penampungan air. Wadah atau tempat penyimpanan air harus ditutup rapat-rapat setelah diisi penuh dengan air. Jika habitat jentik juga mencakup tangki di atas atau bangunan pelindung jaringan pipa air, bangunan atau benda tersebut harus dibuat rapat. Bangunan pelindung pintu air dan meteran air harus dilengkapi dengan perembesan sebagai bagian dari tindakan pencegahan. Tumpah bocornya dalam bangunan pelindung, dari pipa distribusi, katup air, meteran air dan sebagainya, menyebabkan air tergenang dan dapat menjadi habitat yang penting untuk Ae. aegypti (WHO, 2001).

Kamis, 02 Februari 2012

Indonesia Sanitation and Environmental Health


Kondisi Sanitasi dan Kesehatan Lingkungan Berdasarkan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2010 

Tulisan dan uraian berikut akan kami tampilkan data dan pokok hasil pencapaian bidang Kesehatan lingkungan dan sanitasi. Dengan membaca hasil riset Kesehatan dasar tahun 2010, khususnya bidang Kesehatan lingkungan dan sanitasi, mungkin dapat menjadi acuan dan pijakan kita untuk lebih mengkritisi wilayah kita masing-masing serta lebih mengoptimalkan pencapaiannya. Berdasarkan hasil Riskesda tahun 2010, pencapaian bidang Kesehatan lingkungan dan sanitasi sebagaimana uraian berikut ini (Sumber Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010  Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI Tahun 2010). 
 
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) khususnya yang terkait dengan Kesehatan lingkungan, disamping untuk mengevaluasi program yang sudah ada dan menindaklanjuti upaya perbaikan yang akan dijalankan, juga diperlukan untuk mengidentifikasi faktor risiko lingkungan berbagai jenis penyakit, sehingga diharapkan dapat berperan mengendalikan penyakit berbasis lingkungan.  Pada Riskesdas 2010 data Kesehatan lingkungan yang dikumpulkan meliputi data kebutuhan air keperluan rumah tangga, sanitasi, dan Kesehatan perumahan.

Air keperluan rumah tangga
Data kebutuhan air keperluan rumah tangga meliputi jenis sumber utama air yang digunakan untuk seluruh keperluan rumah tangga termasuk minum dan memasak, jumlah pemakaian air per orang per hari, jenis sumber air minum, jarak dan waktu tempuh ke sumber air minum, kemudahan memperoleh air minum, orang yang biasa mengambil air minum dari sumbernya, cara pengolahan air minum dalam rumah tangga, cara penyimpanan air minum dan serta akses terhadap sumber air minum.

Pengelompokan jumlah pemakaian air untuk keperluan rumah tangga per orang per hari mengacu pada kriteria risiko Kesehatan masyarakat yang berhubungan dengan higiene yang digunakan World Health Organization (WHO). Jumlah pemakaian air per orang per hari adalah jumlah pemakaian air rumah tangga dalam sehari semalam dibagi dengan jumlah anggota rumah tangga. Jumlah pemakaian air dikelompokkan menjadi beberapa kriteria :
         Pemakaian air lebih kecil dari 5 liter/orang/hari, menunjukkan tidak akses
         Pemakaian air antara 5-19,9 liter/orang/hari, menunjukkan akses kurang
         Pemakaian air antara 20-49,9 liter/orang/hari, menunjukkan akses dasar
         Pemakaian air antara 50-99,9 liter/orang/hari, menunjukkan akses menengah
         Pemakaian air lebih besar atau sama dengan 100 liter/orang/hari, menunjukkan akses optimal.
Untuk menilai akses terhadap sumber air minum, dalam penyajian ini digunakan dua kriteria, yaitu kriteria yang digunakan pemerintah dalam laporan Millenium Development Goals (MDGs) 2010 dan kriteria yang digunakan Joint Monitoring Program (JMP) WHO-UNICEF 2004.


Kriteria akses terhadap sumber air minum terlindung yang digunakan MDGs adalah bila jenis sumber air minum berupa perpipaan, sumur pompa, sumur gali terlindung dan mata air terlindung dengan jarak dari sumber pencemaran lebih dari 10 meter, dan air hujan. Sedangkan kriteria akses terhadap air minum yang digunakan JMP WHO-UNICEF 2004 adalah bila pemakaian air keperluan rumah tangga minimal 20 liter per orang per hari, berasal dari sumber air yang improved dan sumber air minumnya berada dalam radius satu kilometer dari rumah. Pada kriteria MDGs maupun JMP WHO- UNICEF, air kemasan (bottled water) tidak dikategorikan sebagai sumber air minum terlindung.

Dalam laporan Riskesdas ini disajikan kriteria alternatif untuk menilai akses terhadap sumber air minum dengan mempertimbangkan jenis sumber air minum terlindung, keberadaan sarana dalam radius satu kilometer, mudah diperoleh sepanjang tahun, dan memiliki kualitas air yang baik secara fisik (tidak keruh, tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbusa dan tidak berbau).

Secara garis besar Hasil Riskesdas 2010 pada kriteria Air Keperluan Rumah Tangga Sebagai berikut :
  • a.    Hasil Riskesdas 2010 menunjukkan bahwa jenis sumber utama air untuk seluruh keperluan rumah
    tangga pada umumnya menggunakan sumur gali terlindung (27,9%) dan sumur bor/pompa (22,2%) dan air ledeng/PAM (19,5%).
  • b.         Berdasarkan karakteristik tempat tinggal, terdapat perbedaan jenis penggunaan sumber utama air untuk keperluan rumah tangga. Di perkotaan, pada umumnya rumah tangga menggunakan sumur bor/pompa (30,3%), sedangkan di perdesaan lebih banyak menggunakan sumur gali terlindung (29,6%).
  • c.    Secara nasional, rumah tangga di Indonesia menggunakan sumur gali terlindung (24,7%), air ledeng/PAM (14,2%), sumur bor/pompa (14,0%), dan air dari depot air minum (DAM) (13,8%) untuk sumber air minum.
  • d.    Berdasarkan tempat tinggal, baik di perkotaan maupun di perdesaan, sumber utama air untuk minum cukup bervariasi. Penggunaan sumber air minum di perkotaan yang cukup menonjol adalah air dari DAM (21,1%), air ledeng/PAM (18,5%), air kemasan (13,2%), dan sumur bor/pompa (15,9%). Di perdesaan, rumah tangga lebih banyak yang menggunakan sumur gali terlindung (30,0%), sumur bor/pompa (12,0%), mata air terlindung (11,8%), sumur gali tidak terlindung (11,6%), air PAM (9,5%), air hujan (4,7%).
  • e.    Jumlah pemakaian air per orang per hari secara nasional pada umumnya lebih dari 20 liter. Persentase pemakaian air tertinggi adalah lebih atau sama dengan 100 liter per orang per hari.
  • f.     Secara nasional, letak sumber utama air minum pada umumnya berada di dalam rumah (53,3%) dan di sekitar rumah dengan jarak tidak lebih dari 10 meter (28,5%). Persentase rumah tangga dengan sumber utama air di dalam rumah tertinggi di Provinsi Sulawesi Selatan (66,9.
  • g.    Untuk kemudahan dalam memperoleh air minum, secara nasional terdapat 81 ,7 persen rumah tangga mudah memperoleh air minum sepanjang tahun dan 17,8 persen sulit memperoleh air minum pada musim kemarau.
  • h.    Secara nasional, anggota rumah tangga yang biasa mengambil air untuk kebutuhan minum rumah tangga adalah laki-laki (51 ,4%) dan perempuan (47,1%) yang telah dewasa. Akan tetapi, masih terdapat anak laki-laki (0,5%) dan anak perempuan (1,0%) berumur di bawah 12 tahun yang biasa mengambil air untuk kebutuhan minum rumah tangga.
  • i.      Secara nasional, 90 persen kualitas fisik air minum di Indonesia termasuk dalam kategori baik (tidakkeruh, tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbusa, dan tidak berbau). Akan tetapi, masih terdapat rumah tangga dengan kualitas air minum keruh (6,9%), berwarna (4,0%), berasa (3,4%), berbusa (1 ,2%), dan berbau (2,7%).
  • j.      Berkaitan dengan tempat tinggal, persentase rumah tangga dengan kualitas fisik air minum baik (tidak keruh, tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbusa, dan tidak berbau) di perkotaan (94,2%) lebih tinggi dibandingkan dengan di perdesaan (85,6%). Persentase rumah tangga dengan kualitas fisik air minum keruh di perdesaan (10,2%) lebih tinggi dari pada di perkotaan (3,8%).
  • k.    Pengolahan air minum di rumah tangga sebelum dikonsumsi, pada umumnya dilakukan dengan cara dipanaskan/dimasak terlebih dahulu (77,8%) dan ditempatkan dalam dispenser (panas/dingin) (10,7%). Selain dipanaskan/dimasak dan disimpan dalam dispenser (panas/dingin), pengolahan air minum sebelum dikonsumsi dilakukan dengan cara penyinaran dengan sinar ultra violet (UV) (1,9%), disaring/filtrasi (0,9%), dan menambahkan larutan klor (klorinasi) (0,1%).
  • l.      Persentase rumah tangga di perkotaan (69,0%) yang mengolah air sebelum diminum dengan cara dimasak lebih rendah dibandingkan dengan di perdesaan (87,1%). Sebaliknya, persentase rumah tangga yang tidak mengolah air sebelum dimasak di perkotaan (9,3%) lebih tinggi daripada di perdesaan (6,8 %).
  • m.  Pada umumnya rumah tangga menyimpan air minum dalam wadah tertutup dan bermulut sempit seperti teko/ceret/termos/jerigen (64,1 %), dispenser (19,6%), ember/panci tertutup (9,5%) dan kendi (3,1%). Akan tetapi, masih terdapat rumah tangga yang menyimpan air minum dalam wadah terbuka (ember/panci terbuka) (0,9%).
  • n.    Sesuai kriteria MDGs (air perpipaan, sumur pompa, sumur gali terlindung dan mata air terlindung dengan jarak ke sumber pencemaran lebih dari 10 meter dan penampungan air hujan) tanpa memperhitungkan sumber air minum kemasan atau dari depot air minum. Secara nasional akses terhadap air minum terlindung baru mencapai 45,1
  • o.    Berdasarkan tempat tinggal, terdapat perbedaan persentase rumah tangga dalam hal akses terhadap sumber air minum terlindung antara di perkotaan dan di perdesaan, di mana di perdesaan (48,8%) lebih tinggi dibandingkan di perkotaan (41 ,6%). Akan tetapi, bila memperhitungkan air kemasan dan air dari depot air minum, persentase rumah tangga yang akses terhadap air minum terlindung menunjukkan keadaan yang sebaliknya, di mana di perkotaan (75,9%) lebih tinggi dibandingkan dengan di perdesaan (56,9%).
  • p.    Berdasarkan kriteria lain seperti sumber air minum terlindung (termasuk air kemasan), sarana berada dalam radius 1 kilometer, tersedia sepanjang waktu, dan kualitas fisik airnya baik (tidak keruh, berbau, berasa, berwarna dan berbusa), rumah tangga yang akses terhadap air minum berkualitas secara nasional telah mencapai 67,5 persen;
  • q.         Berdasarkan tempat tinggal, dengan memperhitungkan air minum dari sumber air dan kemasan, terdapat perbedaan persentase rumah tangga dengan akses terhadap air minum berkualitas antara perkotaan dan perdesaan. Persentase rumah tangga yang mempunyai akses terhadap air minum berkualitas di perkotaan (80,3%) lebih tinggi dibandingkan dengan di perdesaan (53,9%). Berdasarkan pengeluaran rumah tangga, menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pengeluaran rumah tangga, semakin tinggi pula persentase rumah tangga yang mempunyai akses terhadap air minum berkualitas