Blogger templates

Minggu, 19 Februari 2012

Food Borne Disease

Macam-Macam Penyakit yang Ditularkan Melalui Makanan

Penularan penyakit melalui makanan (food borne disease) dapat digolongkan menjadi food infection dan food poisoning, sebagai berikut :

Food Infection: Adalah masuknya mikroorganisme dalam makanan, berkembang biak sangat banyak dan dimakan orang dimana mikroorganisme tersebut menyebabkan sakit. Jenis-jenis mikroorganisme yang paling sering Salmonella, Shigella, E. coli, Vibrio cholerae, Vibrio parahaemolyticus. Bakteri patogen yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan merupakan penyebab penyakit. Bakteri patogen penyebab penyakit, mempunyai masa inkubasi dan gejala tergantung pada patogenitasnya.

Food Poisoning: Adalah bahan makanan yang memang mengandung bahan racun alami maupun makanan diberi zat-zat racun yang mempunyai tujuan komersial maupun nilai-nilai ekonomis, dapat juga disebabkan oleh makanan yang sudah tercemar oleh mikroorganime menghasilkan racun contoh bakteri Staphylococcus. Ada beberapa racun yang dihasilkan adalah eksotoksin dan endotoksin.
Food Borne Disease
Eksotoksin yaitu toksin yang disintesis di dalam sel mikroba, kemudian dikeluarkan ke substrat di sekelilingnya. Endotoksin yaitu toksin yang disintesis di dalam sel bakteri dan baru bersifat toksik bila sel mengalami lisis. Eksotoksin yang dihasilkan oleh bakteri biasanya bekerja secara spesifik terhadap tenunan-tenunan atau sel-sel tertentu. Misalnya sel-sel saraf, otot, sel-sel pada saluran pencernaan, dan sebagainya.
Beberapa eksotoksin yang dihasilkan oleh bakteri seperti racun botolinum yang bersifat neurotoksin (menyerang sel-sel saraf sehingga menyebabkan kelumpuhan), racun stafilokokus dan racun perfringens yang disebut enterotoksin karena penyerang sel-sel usus dan dapat menyebabkan diare. Endotoksin lebih bersifat tahan terhadap panas dibandingkan dengan eksotoksin.


Article Source : Zupardi, Imam. (1999), Mikrobiologi dalam Pengolahan dan Keamanan Pangan. Alumni Bandung.

Rabu, 15 Februari 2012

Sanitasi Alat Makan


Pencegahan Kontaminasi Makanan

Salah satu sumber penularan penyakit dan penyebab terjadinya keracunan makanan adalah makanan dan minuman yang tidak memenuhi syarat higiene. Keadaan higiene makanan dan minuman antara lain dipengaruhi oleh higiene alat masak dan alat makan yang dipergunakan dalam proses penyediaan makanan dan minuman. Alat masak dan alat makan ini perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan mikrobiologi usap alat makan meliputi pemeriksaan angka kuman.

Sanitasi alat makan dimaksudkan untuk membunuh sel mikroba vegetatif yang tertinggal pada permukaan alat. Agar proses sanitasi efisien maka permukaan yang akan disanitasi sebaiknya dibersihkan dulu dengan sebaik-baiknya Pencucian dan tindakan pembersihan pada peralatan makan sangat penting dalam rangkaian pengolahan makanan. Menjaga kebersihan peralatan makan telah membantu mencegah terjadinya pencemaran atau kontaminasi terhadap peralatan dilakukan dengan pembersihan peralatan yang benar ).

Pencucian dan sanitasi peralatan dapur dapat dilakukan secara
manual dan mekanis dengan menggunakan mesin. Pencucian manual maupun mekanis pada umumnya meliputi tahap-tahap sebagai berikut:

Pembuangan sisa makanan dan pembilasan: Sisa makanan dibuang kemudian peralatan dibilas atau disemprot dengan air mengalir. Tujuan tahap ini adalah menjaga agar air dalam bak-bak efisien penggunaannya.

Pencucian: Pencucian dilakukan dalam bak pertama yang berisi larutan deterjen hangat. Suhu yang digunakan berkisar antara 43C- 49C (Gislen, 1983). Pada tahap ini diperlukan alat bantu sikat atau spon untuk membersihkan semua kotoran sisa makanan atau lemak. Hal yang penting untuk diperhatikan pada tahap ini adalah dosis penggunaan deterjen, untuk mencegah pemborosan dan terdapatnya residu deterjen pada peralatan akibat penggunaan deterjen yang berlebihan.

Pembilasan: Pembilasan dilakukan pada bak kedua dengan menggunakan air hangat. Pembilasan dimaksud untuk menghilangkan sisa deterjen dan kotoran. Air bilasan sering digantikan dan akan lebih baik jika dengan air mengalir.

Sanitasi atau desinfeksi peralatan setelah pembilasan dapat dilakukan dengan beberapa metode. Metode pertama adalah meletakkan alat pada suatu keranjang, kemudian merendamnya di bak ketiga yang berisi air panas bersuhu 82C selama 2 menit atau 100oC selama 1 menit. Cara lainnya adalah dengan menggunakan bahan sanitaiser seperti klorin dengan dosis 50 ppm dalam air selama 2 menit kemudian ditempatkan di tempat penirisan. Disarankan untuk sering mengganti air pada ketiga bak yang digunakan. Selain itu suhu air juga harus dicek dengan termometer yang akurat untuk menjamin efektivitas proses pencuciannya

Penirisan atau pengeringan: Setelah desinfeksi peralatan kemudian ditiriskan dan dikeringkan. Tidak diperkenankan mengeringkan peralatan, terutama alat saji dengan menggunakan lab atau serbet, karena kemungkinan akan menyebabkan kontaminasi ulang. Peralatan yang sudah disanitasi juga tidak boleh dipegang sebelum siap digunakan.

Sanitasi Alat Makan
Desinfeksi Peralatan: Peralatan dapur harus segera dibersihkan dan didesinfeksi untuk mencegah kontaminasi silang pada makanan, baik pada tahap persiapan, pengolahan, penyimpanan sementara, maupun penyajian. Diketahui bahwa peralatan dapur seperti alat pemotong, papan pemotong, dan alat saji merupakan sumber kontaminan potensial bagi makanan.

Frekuensi pencucian dari alat dapur tergantung dari jenis alat yang digunakan. Alat saji dan alat makan harus dicuci, dibilas dan disanitasi segera setelah digunakan. Permukaan peralatan yang secara langsung kontak dengan makanan seperti pemanggang atau open (open listrik, kompor gas, maupun microwave) dibersihkan paling sedikit satu kali sehari. Peralatan bantu yang tidak secara langsung bersentuhan dengan makanan harus dibersihkan sesuai kebutuhan untuk mencegah terjadinya akumulasi debu, serpihan bahan atau produk makanan, serta kotoran lainnya.


Article Source:
  • Mikrobiologi Pangan. Direktorat Surveilans dan Penyuluhan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya. Balai Pengawasan Obat dan Makanan: BPOM, 2003, Jakarta.
  • Purnawijayanti, H.A. (2001) Sanitasi Higiene dan Keselamatan Kerja dalam Pengolahan Makanan. Kanisius: Yogyakarta.

Penyakit Karena Cacing Cambuk


Soil Transmitted Helminth Karena Cacing Cambuk (Trichuris trichiura)

Soil Transmitted Helminth (STH) adalah cacing yang dalam siklus hidupnya memerlukan stadium di tanah yang sesuai untuk berkembang menjadi bentuk infektif bagi manusia. Jenis STH yang paling penting yang penularannya melalui lalat sebagai vektor mekanik adalah Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura. Kedua jenis cacing ini termasuk dalam kelompok infektif, dimana manusia merupakan hospesnya

Trichuris trichiura adalah spesies cacing yang termasuk ke dalam phylum Nematoda, kelas Aphasmidia, ordo Enoplida, super famili Trichuridae, famili Trichinellida dan genus Trichuris.

Cacing ini bersifat kosmopolit terutama ditemukan di daerah panas dan lembab, seperti di Indonesia. Cacing betina panjangnya kira-kira 5 cm, sedangkan cacing jantan kira-kira 4 cm. Bagian anterior langsing seperti cambuk, panjangnya kira-kira 3/5 dari panjang seluruh tubuh. Bagian posterior bentuknya lebih gemuk, pada cacing betina bentuknya membulat tumpul dan pada cacing jantan melingkar dan terdapat satu speculum. Bagian anteriornya seperti cambuk masuk ke dalam mukosa usus.

Trichuris trichiura
Seekor cacing betina diperkirakan menghasilkan telur setiap hari antara 3.000 10.000 butir. Telur berukuran 50-54 mikron x 32 mikron, berbentuk seperti tempayan dengan semacam penonjolan yang jernih pada kedua kutup. Kulit telur bagian luar berwarna kekuning-kuningan dan bagian dalamnya jernih (Lihat Gambar 5). Telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja.

Telur tersebut menjadi matang dalam waktu 3 6 minggu dalam lingkungan yang sesuai, yaitu pada tanah yang lembab dan tempat yang teduh. Telur matang ialah telur yang berisi larva dan merupakan bentuk infektif. Cara infeksi langsung bila secara kebetulan hospes menelan telur matang. Larva keluar melalui dinding telur dan masuk ke dalam usus halus. Sesudah menjadi dewasa cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke daerah kolon. Jadi cacing ini tidak mempunyai siklus paru. Masa pertumbuhan mulai dari telur yang tertelan sampai menjadi cacing dewasa betina mengeluarkan telur kira-kira 30 90 hari.

Untuk menghindari terjadi penyebaran penyakit kecacingan, maka perlu dilakukan tindakan untuk memutus rantai penularannya, yaitu pengobatan masal pada penderita, perbaikan gizi, dan perbaikan atau peningkatan sanitasi lingkungan.

Article Source:
  • Gandahusada, S, Ilahude, H.H.D, Pribadi, W. 2006. Parasitologi Kedokteran, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
  • Hadiwartomo, 1994. Seminar Tentang Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Cacing. Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
  • Tjitra, E. 1991. Penelitian-Penelitian Soil Transmitted Helminth Di Indonesia, Cermin Dunia Kedokteran, Jakarta.

Senin, 13 Februari 2012

Klinik Sanitasi


Jati Diri Klinik Sanitasi 

Sebetulnya program Klinik Sanitasi sudah mulai diperkenalkan dan dilaksanakan sejak tahun 2003. Namun dibanyak tempat program ini seperti jalan di tempat, tanpa tanda-tanda kehidupan, dengan segudang permasalahan dan alasan. Jikapun ada, dibanyak tempat, kegiatan klinik sanitasi seperti bergerak tanpa esensi, dan sebatas sekedar gerakan diatas kertas. Untuk mengingatkan kita bersama, berikut disarikan beberapa hal terkait dengan program klinik sanitasi. Sumber acuan menggunakan, Pedoman Pelaksanaan Klinik Sanitasi untuk Puskesmas, dan Standar Prosedur Operasional Klinik Sanitasi Depkes RI tahun 2003.

Penyakit berbasis lingkungan masih merupakan masalah Kesehatan masyarakat Indonesia. Hal ini tercermin dari tingginya angka kejadian dan kunjungan penderita beberapa penyakit ke sarana Kesehatan. Penyakit tersebut meliputi Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), tuberkulosis paru, diare, malaria, Demam Berdarah Dengue (DBD), keracunan makanan, kecacingan, serta gangguan Kesehatan akibat keracunan bahan kimia dan pestisida.

Klinik sanitasi adalah suatu upaya atau kegiatan yang mengintegrasikan pelayanan Kesehatan promotif, preventif, dan kuratif yang difokuskan pada penduduk yang berisiko tinggi untuk mengatasi masalah penyakit berbasis lingkungan pemukiman yang dilaksanakan oleh petugas puskesmas bersama masyarakat yang dapat dilaksanakan secara pasif dan aktif di dalam dan di luar gedung.

Integrasi upaya Kesehatan lingkungan dan upaya pemberantasan penyakit berbasis lingkungan semakin relevan dengan ditetapkannya paradigma sehat yang lebih menekankan pada upaya promotif-preventif dibanding upaya kuratif-rehabilitatif. Melalui klinik sanitasi, ketiga upaya pelayanan Kesehatan yaitu promotif, preventif, dan kuratif dilakukan secara terintergrasi dalam pelayanan Kesehatan program pemberantasan penyakit berbasis lingkungan, di dalam maupun di luar gedung.


Klinik sanitasi merupakan suatu wahana masyarakat dalam mengatasi masalah Kesehatan lingkungan untuk pemberantasan penyakit dengan bimbingan, penyuluhan, dan bantuan teknis dari petugas puskesmas. Klinik sanitasi bukan sebagai unit pelayanan yang berdiri sendiri, tetapi sebagai bagian integral dari kegiatan Puskesmas.

Secara umum klinik sanitasi bertujuan untuk meningkatkan derajat Kesehatan masyarakat melaui upaya preventif, kuratif, dan promotif yang dilakukan secara terpadu, terarah dan terus menerus. Secara khusus bertujuan:
  1. Terciptanya keterpaduan kegiatan lintas program dan lintas sektor dalam program pemberantasan penyakit menular dan penyehatan lingkungan dengan memberdayakan masyarakat;
  2. Meningkatnya pengetahuan, kesadaran, kemampuan dan perilaku masyarakat (pasien, klien dan masyarakat) untuk mewujudkan lingkungan dan perilaku hidup bersih dan sehat;
  3. Meningkatnya pengetahuan, kesadaran, dan kemampuan masyarakat untuk mencegah dan menanggulangi penyakit berbasis lingkungan serta masalah Kesehatan lingkungan dengan sumber daya yang ada;
  4. Menurunnya angka penyakit berbasis lingkungan dan meningkatnya kondisi Kesehatan lingkungan.
Sasaran program klinik sanitasi meliputi: 1) penderita penyakit (pasien) yang berhubungan dengan masalah Kesehatan lingkungan (yang datang ke puskesmas atau yang diketemukan di lapangan); 2) masyarakat umum (klien) yang mempunyai masalah Kesehatan lingkungan (yang datang ke puskesmas atau yang menemui petugas klinik sanitasi di lapangan); 3) lingkungan penyebab masalah bagi penderita/klien dan masyarakat sekitarnya.

Klinik sanitasi dilaksanakan di dalam gedung dan di luar gedung puskesmas oleh petugas sanitasi dibantu oleh petugas Kesehatan lain dan masyarakat. Kegiatan dalam gedung difokuskan pada identifikasi penyakit yang diderita pasien, kegiatan konseling, penyuluhan dan membuat perjanjian untuk kunjungan rumah. Kegiatan di luar gedung berupa kunjungan rumah. Kegiatan tersebut meliputi inspeksi sanitasi lingkungan tempat tinggal pasien, penyuluhan yang lebih terarah kepada pasien, keluarga dan tetangga sekitar. Inspeksi sanitasi lingkungan bertujuan untuk mengetahui faktor risiko lingkungan dan ketepatan jenis intervensi yang akan dilakukan.

Strategi operasional dari program klinik sanitasi meliputi :
  1. Inventarisasi masalah Kesehatan lingkungan dan penyakit berbasis lingkungan yang dihadapi oleh masyarakat dengan cara pengumpulan data dan pemetaan yang berkaitan dengan penyakit, perilaku, sarana sanitasi, dan keadaan lingkungan.
  2. Mengintegrasikan intervensi Kesehatan lingkungan dengan program terkait di puskesmas dalam rangka pemberantasan penyakit berbasis lingkungan.
  3. Menentukan skala prioritas penyusunan perencanaan dan pelaksanaan penanganan masalah Kesehatan lingkungan
    dengan mempertimbangkan segala sumber daya yang ada dengan melibatkan lintas program dan lintas sektor terkait, baik dalam lingkup kabupaten maupun puskesmas.
  4. Menumbuhkembangkan peran serta masyarakat melalui kemitraan dengan kelembagaan yang ada.
  5. Membentuk jaringan kerjasama antar kabupaten/kecamatan yang merupakan satuan ekologis atau satuan epidemiologis penyakit.
  6. Menciptakan perubahan dan peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat, serta menumbuhkan kemandirian masyarakat melalui upaya promosi Kesehatan dan pemberdayaan masyarakat.
  7. Mengupayakan dukungan dana dari berbagai sumber antara lain masyarakat, swasta, pengusaha, dan pemerintah.
Pemisahan Tempat Sampah Medis
Untuk melaksanakan kegiatan program klinik sanitasi diperlukan adanya tenaga pelaksana, sarana dan prasarana, dan dukungan dana. Tenaga pelaksana sebaiknya berlatarbelakang pendidikan Kesehatan lingkungan atau tenaga Kesehatan lain yang ditunjuk oleh kepala puskesmas dan telah mendapat pelatihan tentang klinik sanitasi.

Kelengkapan sarana dan prasarana seperti ruangan untuk konseling dan bengkel, peralatan, transportasi, alat peraga atau media penyuluhan, formulir pencatatan dan pelaporan, dan buku pedoman. Tenaga dan sarana/prasarana yang tersedia dapat diberdayakan dengan baik jika ada dukungan dana operasional.

Beberapa hambatan yang mungkin ditemui dalam pelaksanaan klinik sanitasi sebagai berikut :

  1. Masih terbatasnya tenaga puskesmas sebagai pelaksana klinik sanitasi, sehingga kegiatan ini belum menjadi prioritas puskesmas.
  2. Terbatasnya jangkauan petugas klinik sanitasi untuk membina desa yang ada di wilayah puskesmas karena luasnya wilayah, kondisi geografis, dan terbatasnya transportasi.
  3. Terbatasnya dana untuk kegiatan klinik sanitasi.

Beberapa peluang yang mungkin ditemui dalam pelaksanaan klinik sanitasi sebagai berikut.
  1. Adanya dana operasional Puskesmas yang dapat
    dimanfaatkan untuk kegiatan klinik sanitasi.
  2. Penyakit berbasis lingkungan masih mendominasi kasus yang terjadi.
  3. Adanya mekanisme lokakarya mini di puskesmas yang dapat digunakan untuk pengembangan dan koordinasi kegiatan klinik sanitasi.
  4. Pendayagunaan tenaga Kesehatan lingkungan yang saat ini bekerja di luar bidang tugasnya untuk pelaksanaan klinik sanitasi.
  5. Adanya dana sektor lain yang dapat dialokasikan di desa sehingga dapat menunjang kegiatan klinik sanitasi.
  6. Semakin meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan di desa sebagai dampak dari pemberdayaan masyarakat selama ini.
  7. Telah tersediaannya alat (water test kit dan media penyuluhan).
  8.  Penerapan paradigma sehat yang selaras dengan pelaksanaan klinik sanitasi.

Kamis, 09 Februari 2012

Karakteristik Aedes Aegyti


Demam Derdarah dan Aedes Aegypti, Siklus Hidup dan Karakteristik

Masalah yang selalu menghantui kita setiap tahun, khususnya jajaran Kesehatan dan publik health community, adalah penyakit demam berdarah. Penyakit yang pertama kali ditemukan 1968 di Surabaya dan Jakarta ini, hampir setiap tahun menjadi primadonoa Kejadian Luar Biasa (KLB DBD), walupun tahun 2011 ini terjadi penurunan signifikan dibandingkan tahun 2010. Kita sebetulnya kita belum tahu persis penyebab penurunan itu, karena global warming sepertinya telah mengacaukan signal kelaziman epidemiologis konvensional. Namun kita tetap harus selalui waspada terhadap siklus lima tahunan DBD (epidemiologi lama ?).  Kejadian Luar Biasa (KLB) atau epidemi hampir terjadi setiap tahun di daerah yang berbeda tetapi seringkali berulang di wilayah yang sama dan secara nasional berulang setiap lima tahun (Suroso, 2004).

Berikut beberapa hal yang perlu kita refresh kembali, terkait demam berdarah ini. Penyakit demam berdarah dengue adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Ae.aegypti, yang ditandai dengan: (1) demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus-menerus selama 2 - 7 hari disertai perdarahan; (2) Manifestasi perdarahan termasuk uji Torniquet positif; (3) Jumlah trombosit = 100.000/l); (4) peningkatan hematokrit = 20%; dan (5) Disertai dengan atau tanpa pembesaran hati (hepatomegali).

Penyebab DBD adalah virus dengue yang sampai sekarang dikenal empat serotipe (dengue-1, dengue-2, dengue-3 dan dengue-4), termasuk dalam group B Artropod Borne Virus (Arbovirus). Keempat serotipe ini telah ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Hasil penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa dengue-3 sangat berkaitan dengan kasus DBD berat dan merupakan serotipe yang paling luas distribusinya disusul oleh dengue-2, dengue-1 dan dengue-4 (Depkes, 2005).

Tiga faktor yang memegang peranan penting pada penularan virus dengue ini adalah manusia, virus dan nyamuk vektor. Nyamuk Ae. aegypti L. dapat mengandung virus pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia. Virus kemudian berada di kelenjar ludah nyamuk dan berkembang dalam waktu 8 10 hari (extrinsic incubation period) sebelum dapat ditularkan lagi pada manusia melalui gigitan berikutnya.

Tiga faktor yang berperan penting pada penularan infeksi virus dengue adalah manusia, virus dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Ae. aegypti. Nyamuk Aedes tersebut dapat mengandung virus dengue pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, kemudian virus yang ada di kelenjar liur nyamuk berkembangbiak dalam waktu 8-10 hari sebelum dapat ditularkan kembali pada manusia pada saat gigitan berikutnya (Depkes, 2005).

Karakteristik Nyamuk Ae. aegypti
Nyamuk adalah serangga kecil berkaki panjang, bersayap dua, mempunyai antena yang panjang, beruas-ruas, sayapnya mempunyai noda-noda dan mempunyai vena dan jumbai, termasuk dalam Phylum Arthropoda, Kelas Insekta, Sub kelas Pterygota, Ordo  Diptera, Sub Ordo Nematocera, Famili Culicidae, Sub Famili Culicinae, Genus  Aedes, Species  Aedes aegypti L. (Borror & Delong, 1990). Nyamuk Ae. aegypti merupakan vektor utama yang menularkan virus dengue penyebab DBD. Nyamuk Ae. aegypti lebih menyukai darah manusia daripada binatang (antropofilik) dan bersifat menggigit pada beberapa orang sebelum merasa kenyang. Nyamuk Ae.aegypti L. ini hidup dan berkembang dengan baik di daerah tropis yaitu pada garis isotermis 200 yang terletak diantara 450 LU dan 350LS dengan ketinggian kurang dari 1000 meter di atas permukaan laut (Sugito, 1989).

Morfologi nyamuk Ae. aegypti terdiri dari telur, larva, kepompong, serta nyamuk dewasa, selengkapnya sebagai berikut :

Aedes Aegypti
Telur : Telur berwarna hitam berukuran 0,80 1 mm. Nyamuk Ae. aegypti L. bertelur pada air bersih di tempat penampungan air yang tidak kontak langsung dengan tanah seperti ember, vas bunga, kaleng bekas yang dapat menampungan air bersih dan juga pelepah daun yang dapat menampung air (Rozendall, 1997). Telur nyamuk Ae. aegypti L.berwarna hitam, mempunyai dinding bergaris garis dan membentuk seperti kasa. Telur akan diletakkan satu per satu pada dinding bejana berisi air tempatnya bertelur. Telur ini tidak berpelampung, panjang telur kira kira 1 mm dan berbentuk oval. Sekali bertelur nyamuk Ae. aegypti L. betina dapat 150 butir. Telur kering dapat bertahan sampai 6 bulan. Setelah kira kira 2 hari jika telur ini kontak dengan air maka akan menetas menjadi jentik ( Adam, 2005).

Jentik (larva): Menurut Adam (2005), telur akan menetas menjadi jentik atau yang sering disebut sebagai jentik. Jentik ini adalah stadium yang membutuhkan banyak makan dan akan mengalami pergantian kulit atau molting sebanyak empat kali. Setiap masa pergantian kulit tersebut disebut dengan instar. Instar 1, 2, 3 dan 4 akan memiliki perbedaan dalam hal ukuran tubuhnya, jumlah bulu bulunya dan pada stadium ini belum bisa dibedakan antara jantan dan betina.

Larva Ae. aegypti terdiri dari kepala, toraks dan abdomen serta terdapat segmen anal dan sifon dengan satu kumpulan rambut. Ada empat tingkat (instar) jentik sesuai dengan pertumbuhan larva tersebut, yaitu instar I berukuran paling kecil yaitu 1-2 mm, instar II 2,5-3,8 mm, instar III lebih besar sedikit dari instar II dan instar IV berukuran paling besar 5 mm. Larva instar IV mempunyai tanda khas yaitu pelana yang terbuka pada segmen anal, sepasang bulu sifon dan gigi sisir yang berduri lateral pada segmen abdomen (Hamzah, 2004).

Pada stadium larva ada perbedaan mendasar antara Ae. aegypti dan Ae.albopictus. Larva Ae. aegypti, prosesus torakalis jelas, tunggal dan tidak bergerigi. Abdomen berciri sifon pendek, bulu satu pasang, warna lebih gelap daripada abdomen, segmen anal dengan pelana tidak menutup segmen. Gigi sisir pada sifon dan segmen VII dengan duri samping. Larva Ae. albopictus mempunyai prosesus torakalis tidak jelas dan bergerigi. Abdomen berciri sifon pendek, bulu sifon satu berkas, warna lebih gelap daripada abdomen, segmen anal dengan pelana tidak menutup segmen, gigi sisir pada sifon dan segmen abdomen VII tanpa duri samping (Juwono, 1999).

Jentik akan beristirahat dengan posisi tegak lurus terhadap permukaan air dan jika disentuh atau terdapat getaran maka jentik akan aktif berenang menuju ke dasar. Jentik ini jika bernafas akan menuju ke permukaan air dengan posisi siphon berada di atas permukaan air untuk mengambil udara (Sugito, 1989). Keberlangsungan hidup jentik ini sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti suhu air, kepadatan populasi jentik, jumlah makanan yang tersedia serta keberadaan predator di alam (WHO, 1997)

Kepompong : Bentuk pupa seperti terompet melengkung, kepala lebih besar ukurannya dibandingkan dengan tubuhnya. Mempunyai terompet yang berbentuk segitiga yang digunakan untuk bernapas. Pada bagian distal dari abdomen terdapat sepasang kaki pengayuh atau paddle yang berbentuk lurus dan runcing. Stadium pupa tidak memerlukan makan (Gandahusada dkk., 1988). Menurut Depkes (1997), pupa akan bertahan selama 1 5 hari sampai menjadi nyamuk dewasa tergantung dari suhu air habitatnya. Pada suhu 27 320 C pupa jantan memerlukan waktu 1 2 hari untuk tumbuh dan berkembang menjadi nyamuk dewasa. Pupa betina memerlukan waktu kurang lebih 2,5 hari untuk dapat berkembang menjadi nyamuk betina dewasa.

Pupa Ae. aegypti terdiri dari sefalotoraks, abdomen dan kaki pengayuh. Sefalotoraks mempunyai sepasang corong pernapasan yang berbentuk segitiga. Pada bagian distal abdomen ditemukan sepasang kaki pengayuh yang lurus dan runcing. Jika terganggu, pupa akan bergerak cepat untuk menyelam beberapa detik kemudian muncul kembali ke permukaan air (Hamzah, 2004).

Kepompong (pupa) berbentuk seperti koma, bentuknya lebih besar tetapi lebih ramping dibandingkan dengan larva (jentiknya). Pupa berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan rata-rata pupa nyamuk lain (Depkes, 2005).

Nyamuk dewasa : Nyamuk dewasa mempunyai panjang kurang lebih 3 4 mm.Bagian tubuhnya terdiri dari kepala, dada (toraks) dan perut (abdomen) Memiliki warna dasar hitam dengan bintik bintik putih terdapat di seluruh tubuhnya dan di kaki akan berbentuk cincin. Memiliki gambaran atau venasi yang jelas pada sayapnya yang membedakan dengan spesies yang lainnya. Lyre berupa sepasang garis putih lurus di bagian tengah dan di bagian tepi tepinya berupa garis lengkung berwarna putih (Gandahusada dkk,. 1988).

Menurut Hamzah (2004), nyamuk Ae. aegypti dewasa tubuhnya terdiri dari kepala, toraks dan abdomen. Ae. aegypti dewasa mempunyai ciri-ciri morfologi yang khas, yaitu :
  1. Mempunyai warna dasar yang hitam dengan belang-belang putih yang terdapat pada bagian badannya, terutama tampak jelas pada kaki pada bagian basal.
  2. Pada bagian dorsal toraks tumbuh bulu-bulu halus yang membentuk gambaran lyra, yaitu sepasang garis putih sejajar di tengah dan garis lengkung putih yang tebal pada tiap sisinya.
Nyamuk dewasa Ae. aegypti berukuran panjang 3-4 mm, pada stadium dewasa berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan rata-rata nyamuk lain dan mempunyai warna dasar hitam dengan bintik-bintik putih pada bagian badan dan kaki. NyamukAe. aegypti dewasa memiliki probosis berwarna hitam, skutelum bersisik lebar berwarna putih dan abdomen berpita putih pada bagian basal. Ruas tarsus kaki belakang berpita (Sungkar, 2005).

Sedangkan menurut Pratomo dan Rusdyanto (2003), nyamukAe. albopictus  mempunyai ciri-ciri morfologi sebagai berikut:
  • Nyamuk berukuran lebih kecil, berwarna gelap tidak tampak kasar.
  • Tibia kaki belakang tanpa gelang putih.
  • Mesotonum dengan garis memanjang atau kumpulan sisik berwarna putih mirip tanda seru.
  • Sisik-sisik putih pada paha atau femur dalam bentuk bercak-bercak putih tidak teratur. 
  • Ada kumpulan sisik-sisik putih yang lebar di atas akar sayap di antara bulubulu supra alar

Rabu, 08 Februari 2012

Sanitasi Lingkungan dan DBD


Aspek Sanitasi Lingkungan yang Berhubungan dengan DBD

Menurut Soemirat (2000), lingkungan adalah segala sesuatu baik berupa benda mati atau benda hidup, nyata atau abstrak seperti suasana yang terbentuk akibat interaksi semua elemen yang ada di alam. Lingkungan sangat erat hubungannya dengan Kesehatan, karena lingkungan yang menyediakan fasilitas untuk keberadaan suatu makhluk hidup.   

Pengertian sanitasi menurut Ehler dan Steel (1958) adalah sebagai usaha untuk mencegah penyakit dengan cara menghilangkan atau mengatur faktor-faktor lingkungan yang berkaitan dengan rantai penularan penyakit tersebut. Sementara menurut Riyadi (1984), sanitasi lingkungan adalah prinsip-prinsip untuk meniadakan atau setidak-tidaknya menguasai faktor-faktor lingkungan yang dapat menimbulkan penyakit.

World Health Organization (WHO) memberikan batasan kajian sanitasi pada usaha pengawasan penyediaan air minum bagi masyarakat, pengelolaan pembuangan tinja dan air limbah, pengelolaan sampah, vektor penyakit, kondisi perumahan, penyediaan dan penanganan makanan, kondisi atmosfer dan Kesehatan kerja.

Sedangkan ruang lingkup kegiatan sanitasi lingkungan menurut Riyadi (1984) antara lain mencakup sanitasi perumahan, sanitasi makanan, penyediaan air bersih, pengelolaan sampah, pembuangan air limbah dan kotoran manusia serta pemberantasan vektor.

Terkait dengan usaha pemberantasan dan pengendalian vektor diatas, menurut Depkes RI (1985), usaha perbaikan sanitasi lingkungan merupakan salah satu cara untuk menjaga populasi vektor dan binatang pengganggu tetap pada suatu tingkatan tertentu yang tidak menimbulkan masalah Kesehatan.Sedangkan WHO (2001) menyatakan bahwa aspek penyediaan air bersih, pengelolaan sampah dan perbaikan disain rumah sangat penting kaitannya dengan upaya pengendalian vektor Demam Berdarah Dengue (DBD). Maka dapat kita kembalikan pada prinsip penting pengendalian vektor ini, bahwa pada dasarnya usaha sanitasi bertujuan untuk menghilangkan food preferences, breeding place) dan resting place vektor dan binatang pengganggu.

Aspek sanitasi lingkungan yang berhubungan dengan pengendalian vektor, khususnya aedes aegypti meliputi penyediaan air bersih dan pengelolaan sampah. Sistem penyediaan air pada tingkat rumah tangga, berpengaruh langsung pada kepadatan vektor ini. Jika sistem itu telah meminimalisasi tempat penampungan air, misalnya karena sudah menggunakan jaringan perpipaan, maka sangat dimungkinkan kepadatan vektor (baca jentik) juga akan menurun. Sebagaimana kita ketahui, tempat-tempat penampungan air (kontainer) pada tingkat rumah tangga yang menjadi tempat kehidupan telur, larva, pupa Aedes.  

Kebiasaan penyimpanan air untuk keperluan rumah tangga yang mencakup gentong, baik yang terbuat dari tanah liat, semen maupun keramik serta drum penampungan air. Wadah atau tempat penyimpanan air harus ditutup rapat-rapat setelah diisi penuh dengan air. Jika habitat jentik juga mencakup tangki di atas atau bangunan pelindung jaringan pipa air, bangunan atau benda tersebut harus dibuat rapat. Bangunan pelindung pintu air dan meteran air harus dilengkapi dengan perembesan sebagai bagian dari tindakan pencegahan. Tumpah bocornya dalam bangunan pelindung, dari pipa distribusi, katup air, meteran air dan sebagainya, menyebabkan air tergenang dan dapat menjadi habitat yang penting untuk Ae. aegypti (WHO, 2001).