Blogger templates

Jumat, 25 Juni 2010

Pengendalian Kebisingan

Cara Pengendalian Kebisingan

Pengendalian kebisingan mutlak diperlukan untuk memperkecil pengaruhnya pada Kesehatan kita. Usaha pengendalian kebisingan harus dimulai dengan melihat komponen kebisingan, yaitu Sumber radiasi, Jalur tempuh radiasi, serta Penerima (telinga). Antisipasi kebisingan dapat dilakukan dengan intervensi terhadap ketiga komponen ini.Industrial Noise Control

Secara garis besar, ada dua jenis pengendalian kebisingan, yaitu pengendalian bising aktif (active noise control) dan pengendalian bising pasif (passive noise control).

Pada Active Noise Control dapat dilakukan dengan Kontrol pada Sumber. Pengontrolan kebisingan pada sumber dapat dilakukan dengan modifikasi sumber, yaitu penggantian komponen atau mendisain ulang alat atau mesin supaya kebisingan yang ditimbulkan bisa dikurangi. Program maintenance yang baik supaya mesin tetap terpelihara, dan penggantian proses. Misalnya mengurangi faktor gesekan dan kebocoran suara, memperkecil dan mengisolasi elemen getar, melengkapi peredam pada mesin, serta pemeliharaan rutin terhadap mesin. Tetapi cara ini memerlukan penelitian intensif dan umumnya juga butuh biaya yang sangat tinggi (Goembira, Fadjar, Vera S Bachtiar, 2003). Beberapa upaya untuk mengurangi kebisingan di sumber antara lain (Tambunan, 2005):

  • Mengganti mesin-mesin lama dengan mesin baru dengan  tingkat kebisingan yang lebih rendah
  • Mengganti jenis proses mesin (dengan tingkat kebisingan yang lebih rendah) dengan fungsi proses yang sama, contohnya pengelasan digunakan sbg penggantian proses riveting.
  • Modifikasi tempat mesin, seperti pemberian dudukan mesin dengan material-material yang memiliki koefisien redaman getaran lebih tinggi.
  • Pemasangan peredam akustik (acoustic barrier) dalam ruang kerja

Antisipasi kebisingan dengan kontrol sumber ternyata 10 kali lebih murah (unit harga terhadap reduksi dB) daripada antisipasi pada propagasi atau kontrol lingkungan. noise controll

Jika kita berada pada lingkungan kerja dengan kebisingan > 100 dB A, maka usaha kontrol pada sumber kebisingan harus dilakukan. Menurut Standard Basic Requirement OSHA, rekayasa mesin harus dilakukan pada kondisi ini, dengan beberapa teknik berikut :

  • Cladding, adalah teknik untuk mengurangi pancaran bising dari pipa akibat aliran fluida di dalamnya. Cladding terdiri atas lapisan penyerap suara dan bahan impermeable. Lapisan ini ada berbagai jenis dengan tingkat atenuasi yang bervariasi.
  • Silencer, Attenuator, Muffler. digunakan untuk mereduksi bising fluida dengan meletakkannya di daerah atau jalur aliran fluida.

Secara praktis di lapangan, pengendalian bising pada sumber dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain dengan cara pemeliharaan mesin-mesin secara kontinu, penempatan mesin-mesin pada ruangan khusus dan jauh dari kegiatan masyarakat atau karyawan, serta melengkapi mesin-mesin dengan penutup mesin sehingga dapat mengurangi kebisingan.

Metode lain untuk meredam bising seperti penggunaan alat peredam bising silencer yang diletakkan pada vent gas. Silencer dapat digunakan untuk mengurangi kebisingan dengan frekuensi tinggi, kompresor, blower, dan pompa vakum. Alat ini didisain sedemikian rupa sehingga aliran udara melewati tabung akustik berlubang yang dikelilingi oleh lapisan tebal dari material penyerap suara yang akan menurunkan kebisingan dengan range frekuensi tinggi dengan penurunan tekanan minimum.

Silencer terbuat dari konstruksi baja dimana permukaan luar dilapisi dengan baik. Alat ini didisain untuk menangani udara kering dengan temperatur di bawah 93oC. Untuk temperatur tinggi digunakan kemasan fiberglass.

clip_image008

Selain pengendalian dengan melakukan kontrol pada sumber bising, pengendalian kebisingan juga dapat dilakukan dengan pengendalian pada medium perambatan. Usaha ini bertujuan untuk menghalangi perambatan suara dari sumber suara yang menuju ke telinga manusia. Untuk menghalangi perambatan, ditempatkanlah sound barrier antara sumber suara dan telingan. Pemblokiran rambatan ini hanya akan berhasil jika sound barrier tidak ikut bergetar (resonansi) saat tertimpa gelombang yang merambat, hal ini sangat tergantung pada bahan dimensi.

Pengendalian kebisingan pada medium propagasi (medium rambat) sangat dipengaruhi oleh beberapa hal antra lain usaha untuk melakukan pemisahan ruangan dengan sekat atau pembatas akustik; Penggunaan material yang memiliki daya serap suara; Pembuatan Barrier yang berfungsi untuk menghalangi paparan bising dari sumber ke penerima dan dibangun di jalur propagasi antara sumber dan penerima. Usaha lain dapat dilakukan misal dengan memasang panel dan penghalang, serta memperluas jarak antar sumber dan melakukan pemagaran.

Salah satu usaha untuk mereduksi kebisingan pada daerah permukiman, dilakukan dengan Green Barrier yang membatasi daerah sumber kebisingan dengan daerah pemukiman masyarakat. Juga dapat dilakukan dengan memasang dinding pemisah antara sumber-sumber bising dengan ruangan tempat kerja (kedap suara).

Usaha terakhir untuk mengendalikan kebisingan dengan melakukan usaha proteksi secara personal. Proteksi personal yang bisa diterapkan adalah penggunaan earplugs dan earmuffs. Pemilihan antara kedua proteksi ini disesuaikan dengan kondisi. Secara umum, penggunaan earmuffs bisa mengurangi desibel yang masuk ke telinga lebih besar dari earplugs. Namun juga harus diingat bahwa proteksi yang berlebihan sangat dimungkinkan dapat mengurangi efektifitas proses.

Berikut beberapa penjelasan yang terkait dengan Earmuffs dan Earplugs.

Earmuffs, terbuat dari karet dan plastik. Earmuffs bisa digunakan untuk intensitas tinggi (>95 dB), bisa melindungi seluruh telinga, ukurannya bisa disesuaikan untuk berbagai ukran telinga, mudah diawasi dan walaupun terjadi infeksi pada telinga alat tetap dapat dipakai. Kekurangannya, penggunaan earmuffs menimbulkan ketidaknyamanan, rasa panas dan pusing, harga relatif lebih mahal, sukar dipasang pada kacamata dan helm, membatasi gerakan kepala dan kurang praktis karena ukurannya besar. Earmuffs lebih protektif daripada earplugs jika digunakan dengan tepat, tapi kurang efektif jika penggunaannya kurang pas dan pekerja menggunakan kaca mata.

Earplugs, digunakan untuk tingkat kebisingan sedang (80-95 dB), dengan waktu paparan 8 jam. Terdapat berbagai macam earplugs, baik bentuk padat maupun berongga. Bahannya terbuat dari karet lunak, karet keras, lilin, plastik atau kombinasi dari bahan-bahan tersebut.

Penguunaan ear plug mempunyai beberapa keuntungan, selain mudah dibawa karena bentuknya yang kecil, tidak membatasi gerakan kepala, lebih nyaman digunakan pada tempat panas, juga lebih murah (dibandingkan ear muff), Ear Plug juga lebih mudah dipakai bersama dengan kacamata dan helm. Sedangkan kekurangan ear plug atenuasi lebih kecil, sukar mengontrol atau diawasi, resiko infeksi pada saluran telinga.

Pengendalian pada penerima kebisingan dapat dilakukan dengan pembinaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), serta melengkapi karyawan dengan alat pelindung diri (ear muff dan ear plug).

Rabu, 23 Juni 2010

Deklarasi ODF Kecamatan Kedungjajang

Open Defecation Free Declaration Kecamatan Kedungjajang Kabupaten Lumajang

Satu lagi Deklarasi Open Defecation Free (ODF) di Kabupaten Lumajang. Masyarakat Kecamatan Kedungjajang melaksanakan Deklarasi ODF pada hari Rabu Tanggal 23 Juni 2010, di Pendopo Kecamatan. Dengan Deklarasi ini di Kabupaten Lumajang, sampai saat ini, terdapat komunitas ODF sebanyak 4 Kecamatan dengan 48 Desa serta lebih dari 200 Posyandu.  

Sebagai catatan, secara geografis dan kultural, mungkin Deklarasi di Kecamatan Kedungjajang menjadi istimewa. Pertama wilayah ODF bergeser ke sebelah Utara Kabupaten, dan kedua, disana merupakan basis suku dan kultural yang lain dari wilayah ODF yang selama ini sudah ada (Kecamatan Gucialit, Senduro dan Padang). Kalau boleh berhipotesa, hal ini membawa (sedikit) angin segar bagi (sedikit) pandangan yang selama ini beranggapan bahwa yang berbau tapal kuda masih memerlukan lebih banyak effort untuk berhasil.

spanduk ODF KedungjajangAda sedikit joke dari Wakil Bupati Lumajang terkait kultur ini (saat memberikan sambutan pada Deklarasi ini). Prinsipnya menyampaikan sesuatu pada mereka harus tuntas dan jelas. Ketika menjumpai ada masyarakat yang masih buang air besar di sungai, Pak Wabub kita menegurnya dengan mengingatkan, bahwa buang air besar di sungai tidak baik dan tidak boleh dari kaca mata apapun. Yang di tegur bilang, bahwa punyanya tidak besar namun panjang. So mesti jelas dong, dilarang buang air besar dan panjang .. di sungai  
100_6559100_6548Sesuai teori replikasi, lebih banyak harapan menjadi sah untuk dibebankan pasca deklarasi ODF Kecamatan Kedungjajang ini. Setidaknya - sesuai harapan Bupati Lumajang - pada pengantar penandatangan Prasasti Deklarasi ini, Kecamatan di wilayah Utara (dengan basis kultur yang sama), akan segera mengikuti jejak Kecamatan Kedungjajang (Kecamatan Randuagung, Klakah, dan Ranuyoso).
Namun sesuai target dan komitmen, 6 Kecamatan lain masih terus bergerak untuk menyandang Status ODF sampai akhir tahun 2010 ini (Tempursari, Pronojiwo, Pasrujambe, Yosowilangun, Tekung, Jatiroto).

Komitmen besar dan gaung kampanye ODF di tingkat stake holder, memang sangat layak untuk dijadikan landasan membangun optimisme. Kita dapat melihat bagaimana para camat dan Kepala Desa sudah sangat nyambung dengan komitmen Bupati di seantero wilayah. 100_6563 Dan dari sini (sebetulnya) kita dapat melihat berbagai inovasi tiada henti (meminjam iklan produk otomotif), dari mereka untuk mewujudkan ODF di wilayahnya. Yang menjadi sedikit kelabakan mungkin para verifikator ODF (dan tentu para verifikator pasca deklarasi ODF). Untung kita mendapat supply sukup, dengan kehadiran para CPNS baru dengan basic fungsional Sanitarian dan Penyuluh Kesehatan. Mereka masih muda, energik, idealis, dan profesional (tinggal sedikit injeksi roh STBM dan Jiwa CLTS ). 

Kembali ke Kecamatan Kedungjajang. Kilas balik cerita dimulai pada tahun 2005 ketika pilot project CLTS di terapkan di Desa Jatisari, dan berhasil. Metode ini kemudian dikembangkan di 3 desa lainnya - Desa Grobogan, Kedungjajang, dan Curah Petung - dan berhasil, sampai kemudian ternyata metode ini kurang berhasil dilaksanakan di Desa Pandansari. 100_6593 Belajar dari situ, kemudian dilakukan penguatan pada Tim dan kerjasama lintas sektor. Sebut saja diantaranya dengan kehadiran Tim SToPS, sinkronisasi dengan Posyandu Gerbangmas, sampai kemudian lahir Tim STBM dengan penguatan aspek legalitasnya (SK Camat dan Kepala Desa). Motto Tim Mereka ternyata simple namun keren : YANG BIASA BELUM TENTU BENAR YANG BENAR HARUS DIBIASAKAN. 

Dari motto tersebut lahirlah hasil berikut : 100_6586Pada tahun 2005 angka kepemilikan jamban di Kecamatan Kedungjajang tercatat 5.550 buah, Jumlah ini terus bertambah sehingga sampai tri bulan I tahun 2010 ini angka kepemilikan jamban meningkat menjadi 8.694 buah.  Terjadi penambahan jumlah jamban sebanyak 3.144 buah. Dengan akses penggunaan menjadi 100%, maka dengan gembira di umumkanlah Deklarasi 100% masyarakat Kecamatan Kedungjajang Telah Bebas Dari Buang Air Besar Sembarangan pada Tanggal 23 Juni 2010.

Untuk lebih melengkapi informasi ini, berikut sebagian prosesi Deklarasi Open Defecation Free Kec. Kedungjajang dalam format video :


See u next ODF .

Selasa, 01 Juni 2010

Standard Operational Procedure Sanitarian

SOP Mengukur Sampel Kebisingan, Kepadatan Lalat, Kualitas Fisik Limbah Cair, dan Pemeriksaan Sampel Sampah dan Tanah

Beberapa teman Sanitarian tidak lulus uji kompetensi. Beberapa dari mereka memenyinggung transparansi nilai. Apakah memang kualifikasi nilai yang didapat dibawah standard kompetensi atau ada faktor (?) lain. Sementara banyak teman mereka lulus-lulus saja. Jangan-jangan kita memang sudah terlalu tua untuk mengingat teori-teori, sementara keseharian kerja kita disibukkan dengan sistem dan pola yang aplikatif, dan celakanya itu jauh dari aplikasi teori yang kita dapatkan saat sekolah dulu. Sebagai awam, kalau boleh bertanya, kenapa sih mesti ada uji kompetensi? Bukankah status berkompeten sudah kita dapatkan bersamaan dengan wisuda dari sekolah yang sangat berkompeten menyelenggarakan pendidikan kita dulu? Namun orang bilang, pada era ISO dan era Sertifikasi sekarang, para kuli bangunan-pun harus punya sertifikat uji kompetensi. Ah, jangan-jangan (lagi), kita memang selalu suka menggunakan jargon Kalau bisa dipersulit, mengapa harus dipermudah ? Semoga itu sekedar Suudhon orang yang kalah perang pada wadah baru uji kompetensi ini.
Perdebatan diatas harus saya akhiri. Tulisan ini mungkin sekedar mengingatkan kita pada beberapa teori terkait SOP pengambilan sampel lingkungan. Tulisan-tulisan berikutnya Insya Allah akan lebih banyak lagi.

Mengukur Kebisingan
Cara menentukan titik lokasi untuk pengambilan sampel kebisingan sebagai berikut : Soun Level Meter
  • Ditentukan pada jarak terjauh dari sumber bising
  • Jarak terdekat dari sumber kebisingan
  • Jarak antara jarak terjauh dan terdekat dengan sumber bising.
Sedangkan peralatan yang digunakan adalah Sound Level Meter dan Form Pencatatan. Hasil pengukuran kemudian dilakukan analisa dengan membandingkan hasil pengukuran dengan standard.

Mengukur Kepadatan Lalat
Alat yang digunakan untuk mengukur tingkat kepadatan lalat antara lain fly grill, formulir, counter dan stop watch.
Prosedur pengukuran kepadatan lalat :
  1. Fly grill diletakkan mendatar pada titik lokasi pengukuran
  2. Setiap titik lokasi dilakukan 10x pengukuran
  3. Selama 30 detik lalat yang hinggap di fly grill dihitung
The InfoVisual.info site uses images to explain objects. Setelah prosedur diatas dilakukan, kepadatan lalat dicatat dalam lembar isian. Formulir ini diisi tiap kali pengukuran dengan lama waktu 30 detik.Penentuan tingkat kepadatan lalat dihitung dengan cara diambil 5 dari 10 pengukuran yang paling banyak, selanjutnya hasil di rata-rata. Hasil ini dibandingkan dengan standard berikut :
Index Kepadatan lalat :
  • Jarang : = 2
  • Sedang : >2-20
  • Tinggi : > 20

Pengukuran Kualitas Fisik Limbah Cair
Peralatan yang digunakan untuk mengukur kualitas fisik limbah cair sebagai berikut :
  1. Termometer digunakan untuk mengukur suhu
  2. DHL Meter digunakan untuk mengukur kadar DHL
  3. Dry Oven digunakan untuk pemanasan sampel
  4. Desikator digunakan untuk menyerap kadar air
  5. Timbangan analitik digunakan untuk menimbang
  6. Cawan Porselen digunakan sebagai wadah kertas saring saat di oven
  7. Beker Glass wadah sampel saat akan diukur
Sedangkan bahan yang digunakan :
  1. Aquades sebagai pelarut dan pengencer
  2. Kertas saring untuk menyaring suspended solid
  3. Tissue untuk membersihkan atau mengeringkan alat
Selain alat dan bahan diatas juga diperlukan peralatan penunjang seperti pena/pensil, kertas kerja, penghapus, serta kalkulator.

Sebagai catatn, identifikasi limbah cair berfungsi sebagai informasi tentang identitas sampel agar tidak tertukar dengan sampel lain, juga untuk kepentingan analisis hasil pemeriksaan. Sedangkan komponen identitas sampel minimal terdiri dari beberapa informasi :
  1. Nama/alamat pengirim
  2. Tempat pengambilan sampel
  3. Tanggal pengambilan
  4. Waktu pengambilan
  5. Tujuan pemeriksaan
Jenis parameter kualitas fisik limbah cair yang harus diukur adalah suhu, Daya Hantar Listrik (DHL), serta Total Suspended Solid (TSS).

Pemeriksaan Sampel Tanah Dan Sampah
Sebelum melakukan uji/pemeriksaan sampel tanah dan sampah, penting dipersiapkan Alat Pelindung Diri (APD) seperti masker, sepatu boot, sarung tangan, dan helm kerja. Sedangkan alat yang digunakan dalam pengambilan sampel tanah dan sampah untuk kepentingan pemeriksaan kualitas fisik adalah :
  1. Bor tangan
  2. Sekop kecil dari bahan metal, plastik, dan kayu
  3. pH soil tester
  4. Termometer
  5. Higro meter
  6. Wadah sampel
  7. Alat tulis
  8. Checklist pengambilan sampel
  9. Rol meter
Komponen / unsur fisik yang harus dicatat dakam pengambilan sampel tanah adalah :
  1. Jenis sampel
  2. Spesifikasi pemeriksaan (fisik/kimia/mikrobiologi)
  3. Lokasi sampling
  4. Teknik sampling yang dilakukan
to be continued  ..

Rabu, 26 Mei 2010

Software Klinik Sanitasi

Software Klinik Sanitasi Berbasis Surveilans


Software ini dibuat oleh Tim MIT Sanitasi Dinkes Kab. Lumajang dengan basis aplikasi menggunakan bahasa program Delphi. Spesifikasi komputer yang diperlukan termasuk minimal, yaitu Pentium III ke atas, OS windows xp,vista,windows 7, RAM minimum, VGA minimum, serta LAN yang bersifat optional.


Gambaran singkat software klinik sanitasi berbasis surveilans ini dapat anda lihat pada video berikut :



Latar belakang dibuatnya program aplikasi klinik sanitasi ini dimulai ketika tahun 2008 dilakukan survey sanitasi dasar (lebih tepatnya sensus, karena dilakukan secara total sampling). Dengan lebih 250 ribu rumah sasaran penilaian, kegiatan ini menghasilkan data base sanitasi dasar yang sangat menggiurkan, sehingga sangat eman jika tidak dimaksimalkan.

Survey sanitasi dasar dengan sasaran rumah ini menggunakan acuan Pedoman Teknis Penilaian Rumah Sehat Depkes RI Tahun 2007. Sehingga survey ini pada dasarnya selain bertujuan untuk memperoleh data dasar rumah sehat yang valid, juga diperolehnya gambaran prosentase rumah sehat, gambaran status sanitasi rumah (yang meliputi aspek komponen rumah, aspek sarana sanitasi, serta aspek perilaku), serta diketahuinya gambaran potensi resiko penyakit berbasis lingkungan dalam kaitan dengan kondisi rumah.
Tujuan diatas menjadi penting, karena sebagian besar penyakit berbasis lingkungan masuk dalam 10 besar penyakit, sehingga dengan aplikasi ini diharapkan dapat mengembangkan kemampuan petugas dalam identifikasi, analisa dan upaya pemecahan masalah Kesehatan lingkungan dan penyakit berbasis lingkungan
Dengan output pada software klinik sanitasi ini akan diketahui kondisi sanitasi serta perilaku sanitasi pada sasaran serta dapat dilakukan analisa berdasarkan data cakupan analisa pada masing-masing kondisi. Kondisi yang dimaksud adalah kriteria dan indikator sesuai data base Survey Sanitasi Dasar dan checklist inspeksi sanitasi.

Data base survey sanitasi dasar meliputi berbagai item data sanitasi dasar rumah antara lain :
Indikator komponen rumah yang di survey meliputi :
1. Langit-langit
2. Dinding
3. Lantai
4. Jendela kamar tidur
5. Jendela ruang keluarga
6. Ventilasi
7. Lubang asap dapur
8. Pencahayaan
9. Kandang
10. Pemanfaatan Pekarangan
11. Kepadatan penghuni.

Indikator sarana sanitasi meluputi :
1. Sarana air bersih
2. Jamban
3. Sarana pembuangan air limbah
4. Sarana pembuangan sampah.

Indikator perilaku penghuni :
1. Kebiasaan mencuci tangan
2. Keberadaan vektor tikus
3. Keberadaan Jentik.

Sedangkan data base lain menggunakan acuan hasil inspeksi sanitasi pada lebih dari 34 checklist sasaran.
Check List Inspeksi Sanitasi Rumah
Check List Inspeksi Sanitasi Tempat Pengelolaan Makanan (TPM)
1. Rumah Makan
2. Audit Hygiene Sanitasi MakananJasa Boga
3. Laporan Pemeriksaan Jasa Boga
4. Kantin Sekolah

Check List Inspeksi Sanitasi Sarana Air Bersih
1. Sumur Gali
2. Sumur Pompa Tangan
3. Perlindungan Mata Air
4. Penampungan Air Hujan
5. Kran Umum
6. Terminal Air

Check List Inspeksi Sanitasi Tempat-Tempat Umum (TTU)
1. Kolam Renang/Pemandian Umum
2. Depot Air Minum Isi Ulang
3. Pasar
4. Pusat Perbelanjaan
5. Salon
6. Pangkas Rambut
7. Masjid
8. Gereja
9. Hotel Melati

Check List Inspeksi Sanitasi Institusi
1. Kes lingkungan kerja Industri
2. Kes lingkungan kerja perkantoran
3. Sekolah


Berbagai macam checklist tersebut telah dibukukan lengkap dengan bobot dan nilai serta kriteria akhir. Dengan berbagai tool dan data base diatas maka intervensi dan tindak lanjut lapangan dapat dilakukan secara lebih tepat dan terarah.

Kamis, 20 Mei 2010

Pemeriksaan E Coli Dengan Metode H2S

PEMERIKSAAN KUALITAS BAKTERIOLOGIS AIR METODE H2S

Menjawab permintaan mas Putut dalam kolom shoutmix tentang artikel yang terkait laboratorium, berikut artikel tentang Pemeriksaan Kualitas Bakteriologis Air dengan menggunakan metode H2S. Tulisan ini mengacu pada Pedoman Pemeriksaan Kualitas Bakteriologis Air Untuk Daerah Perdesaan Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman Tahun 1997.

Latar belakang pemeriksaan bakteriologis air dengan metode H2S antara lain bahwa keberadaan bakteri coliform didalam air diasosiasikan dengan organisme penghasil hidrogen sulfide/H2 S (Allen & Geldreich-1975). Berdasarkan kepastian adanya H2s dalam air tersebut sekaligus merupakan indikator adanya bakteri coliform (Manya dkk, 1982).

Terdapat cara sederhana yang dapat dilakukan untuk mengetahui kepastian tersebut (adanya coliform karena faktor H2S ini). Mengapa sederhana? Karena pengambilan dan pemeriksaan sampel dapat langsung dilakukan dengan tabung reaksi/botol yg telah berisi media yang sudah dipersiapkan. Botol dengan media ini selanjutnya dieramakan/inkubasi pada suhu ruangan (26oc 37oc) selama 1 3 hari (mulai dari 18 jam). Untuk menilai hasil pekerjaan ini digunakan indikator dengan adanya perubahan warna botol media yang menjadi hitam.

Pemeriksaan kualitas bakteriologis air dengan menggunakan metode H2S ini mempunyai beberapa keuntungan sekaligus kerugian. Beberapa keuntungan dapat kita sebutkan antara lain sederhana, mudah, cepat, murah, peralatan dan media mudah diperoleh, serta tidak memerlukan keahlian khusus, karena cukup dengan pelatihan sederhana petugas sudah mampu melakukan pemeriksaan.

clip_image002Selain beberapa keuntungan tersebut, juga terdapat kerugian, diantaranya metode ini bersifat kualitatif, sehingga tidak terukur percise dalam bentuk satuan (range atau angka). Berdasarkan uji coba, hasil yang didapat kurang sensitif dibanding dengan metode tabung ganda. Walaupun persentasenya kecil, masih terdapat satu sampel yang sama didapat, namun berbeda hasil dengan menggunakan ke-dua metode ini. Metode H2S ini mempunyai sensitivitas yang baik (>80%), jika digunakan pada uji sampel air dengan kadar bakteri tinggi, namun kurang sensitif jika frekuensi keberadaan bakteri dalam air rendah.

Peralatan dan media pemeriksaan bakteriologis kualitas air dengan metode H2S antra lain :
  • Kompor
  • Tabung reaksi dg tutup ulir / botol bertutup tahan panas
  • Sterilisator (autoclave, drying oven)
  • Lampu spiritus
  • Timbangan
  • Pipet (1 ml , 10 ml )
  • Gelas ukur, erlenmeyer
  • Rak tabung
  • Botol media
  • Lain-lain (Ph lakmus, spidol, label)
  • Sodium thiosulfate
  • Kertas saring
  • Pepton (bakteriological peptone)
  • Dipotasium hydrogen phospate
  • Ferric ammonium citrate
  • Teepol
  • Aquadest/aquabi dest

Prosedur pembuatan Media pemeriksaan
  1. Pepton : 40,0 GR ; K2HPO4 : 3,0 GR ; FAC : 1,5 GR ; NA2S2SO4 : 1,0 GR ; dan aquabidest 1.000 ml.
  2. Tambahkan Teepol 2,0 ml
  3. Dipanaskan sambil diaduk perlahan lahan sampai larutan homogen/merata, kemudian diamkan sampai dingin.
  4. Masukan kertas saring berlipat (8 x 8 cm) kedlm tabung/botol media, kemudian pipet larutan media 1 ml untuk sampel 20 ml, & 2,5 ml untuk sampel 100 ml.
  5. Tabung-tabung tersebut disteril pada suhu 121 oc selama 15 kemudian dikeringkan (oven 60 oc selama 30).
  6. Dinginkan, simpan media pada suhu 4 8 oc.
Prosedur pemeriksaan dan pembacaan hasil
  • Ambil 1 tabung media.
  • Masukan sampel air 20 cc atau sampai tanda batas kedalam tabung/botol media (lewat mulut tabung diatas nyala api ,agar tetap steril).
  • Simpan di rak tabung pada suhu ruangan selama 1 3 hari.
Jika tahapan diatas sudah dilakukan, maka pembacaan hasil untuk memastikan keberadaan bakteri coliform dalam air bersih pada sampel pemeriksaan dapat dilakukan dengan dua cara, kualitatif dan semi kualitatif.

Dengan cara kualitatif, hasil negatif jika tidak terjadi perubahan warna, hasil positif (+), jika terjadi perubahan warna pada media menjadi hitam / ke-hitaman. Sedangkan dengan cara Semi kualitatif, dpat dijelaskan sebagai berikut :

Botol 100 ml :
  • Warna hitam dalam waktu 1 3 hari berarti mengandung 1 bakteri/100 ml.
  • Warna hitam pekat dalamwaktu < 24 jam berarti mengandung > banyak bakteri/100 ml.
Tabung 20 ml :
  • Warna hitam dalam waktu 1 3 hari berarti mengandung > 5 bakteri/100 ml.
  • Warna hitam pekat dalam waktu < 24 jam berarti mengandung > 50 bakteri/100 ml.

Rabu, 19 Mei 2010

Deklarasi ODF Kec. Padang

Deklarasi Open Defecation Free (ODF) Kecamatan Padang Kab. Lumajang

Satu lagi Deklarasi penting dilakukan di Kabupaten Lumajang, Deklarasi Kecamatan Padang, sebagai Kecamatan ke tiga dengan 100% masyarakat telah bebas dari buang air besar sembarangan. Deklarasi ini dilakukan oleh masyarakat dengan penanda tanganan prasasti dilakukan oleh Bupati Lumajang (Dr. Sjahrazad Masdar, MA), pada Tanggal 18 Mei 2010, di Kantor Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang.

Pada tingkat lokal Deklarasi ini menjadi cukup bermakna karena beberapa hal, antara lain :

Deklarasi ini merupakan first step dari banyak deklarasi serupa yang ditargetkan akan dilakukan di Kabupaten Lumajang. Sebagaimana komitmen Pemerintah Kabupaten Lumajang bahwa target Kabupaten Lumajang pada tahun 2013 seluruh wilayah Kabupaten sudah mnecapai status ODF. Sebagaimana kita ketahui bahwa target Nasional kondisi ini akan dicapai sampai tahun 2014 (100 % Stop BAB sembarangan).

100_5983Deklarasi yang dihadiri oleh (tidak lebih) dari 500 undangan, dari kalangan Legislatif, Kementerian Kesehatan, Birokrasi (Kepala Dinas/Kantor/Intansi Vertikal, Camat, Danramil, Kapolsek, se Kabupaten Lumajang, serta masyarakat Kecamatan padang. Secara implisit, tingkat kehadiran dengan beragam latar belakang ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa Gerakan STBM telah menjadi sebuah totalitas gerakan di masyarakat. Sebagai catatan, bahwa peran Lintas Sektor khususnya Koramil sangat mewarnai Gerakan STBM di Kabupaten Lumajang, sehingga secara bermakna berperan dalam percepatan pencapaian target ODF.

Sebagai informasi perkembangan pelaksanaan STBM di Kabupaten Lumajang telah menunjukkan trend menjanjikan, sebagaimana data berikut :
100_5985
Kec gucialit : 9 Desa (Kecamatan ODF)
Kecamatan Senduro : 12 Desa (Kecamatan ODF)
Kecamatan Padang (odf) : 9 Desa (Kecamatan ODF)
Kecamatan Kedungjajang : 12 Desa (Rencana Deklarasi pada bulan juni
Kecamatan Pronojiwo : 2 Desa ODF
Kecamatan Pasirian : 2 Desa ODF
Kecamatan Yosowilangun : 4 Desa ODF
Sedangkan kecamatan lainnya telah menunjukkan trend ke arah jalan yang lurus dan telah mempunyai beberapa wilayah ODF ditingkat Posyandu, serta mempunyai target Kecamatan ODF serta perkembangan terakhir yang on schedulle :
  1. Kecamatan Pasrujambe, rencana Deklarasi ODF pada bulan Juni 2010, mulai bergerak serta telah terbentuk jejaring sanitasi.
  2. Kecamatan Yosowilangun, rencana Deklarasi ODF pada bulan Juli 2010, Muspika bergerak 2 kali seminggu turun ke desa.
  3. Kecamatan Tempursari, rencana Deklarasi ODF pada bulan Agustus 2010.
  4. DSCN0902Kecamatan Jatiroto, rencana Deklarasi ODF pada bulan Desember 2010, target ini dapat lebih cepat terealisasi mengingat totalitas dukungan Danramil dengan gerakan karya bhakti-nya.
  5. Kecamatan Pronojiwo, rencana Deklarasi ODF pada bulan September 2010, gerakan muspika dan lintas sektor 2 kali seminggu turun ke desa
  6. Kecamatan Tekung, rencana Deklarasi ODF pada bulan Desember 2010, gerakan muspika turun ke desa juga telah dilakukan
Jika target diatas terwujud, maka sepanjang tahun 2010 ini Kabupaten Lumajang akan mempunyai 10 Kecamatan ODF. Selanjutnya tantangan masih menanti  . mempertahankan perilaku Buang Air Besar Masyarakat hanya di jamban, agar tidak kembali menjadi OD lagi .

Minggu, 09 Mei 2010

Konstruksi Jamban Pada Kondisi Khusus

Konstruksi Jamban Pada Daerah Pasang Surut Pantai, Daerah Banjir, serta Rumah Panggung

Tulisan ini sebetulnya memenuhi permintaan Mas Faidul - Kendari , saat chatting di media sillaturrahim facebook kemarin. Saya menggunakan acuan yang dibuat WSP dan UP3D LPPM-ITS. Pada dasarnya perencanaan jamban pada daerah khusus ini tetap mengacu pada teori hydrogeology penyebaran dan pergerakan air akibat resapan alamiah sesuai tinggi rendagnya Muka Air Tanah (MAT). Berbagai Aspek MAT terhadap letak dan konstruksi jamban, akan saya sampaikan dilain kesempatan.

Pada kondisi khusus ini, kontruksi jamban dapat dibuat dengan dua model :
  1. Jamban dengan permukaan ditinggikan. Jamban model ini dapat dilihat sebagaimana gambar dibawah ini. Dengan meninggikan permukaan dasar bangunan jamban sehingga dapat menampung rumah jamban sekaligus penampungan tinja di bawahnya. Jamban Ditinggikan
  2. Jamban untuk daerah banjir/pasang surut, atau rumah panggung. Jamban model ini dirancang untuk digunakan pada daerah yang biasa terkena dampak banjir selama musim hujan. Juga cocok digunakan pada daerah pasang surut serta rumah panggung. Jamban Daerah Banjir dan PantaiJika kita lihat gambar diatas, sumur penampung tinja berada diatas tanah. Sumur ini dihubungkan dengan slab dan closet melalui sejumlah ring beton dan pipa. Jumlah ring beton dan panjang pipa dapat disesuaikan dengan ketinggian air selama banjir atau pasang surut.  Karena sumur akan penuh selama banjir atau pasang, maka bagian satu-satunya yang dapat digunakan dari tangki adalah bagian yang melewati permukaan banjir atau pasang. Rumah jamban perlu ditinggikan melebihi permukaan air yang tertinggi. Jamban model ini akan lebih mahal biaya pembuatannya daripada jamban jenis lain. Juga harus diperhitungkan semakin berkurangnya kekuatan bahan bangunan yang digunakan akibat terendam air. Akan sangat disarankan jika menggunakan bahan dengan spesifikasi tahan air.
Persyaratan Teknis Konstruksi
Persyaratan Teknis Konstruksi model jamban diatas antara lain :
  1. Tangki septic menggunakan pasangan batu bata biasa dengan adukan 1ps:2sm:3kp, sedangkan untuk adukan kedap air/plester menguunakan adukan 1sm:3ps
  2. Tangki septic harus dilengkapi dengan pipa udara dengan diameter 50 mm (2) dan tinggi 25 m dari permukaan tanah.
  3. Tangki septic harus dilengkapi dengan lubang periksa yang berukuran 40 cm x 40 cm.
Persyaratan Teknis Resapan
  1. Konstruksi sumur resapan merupakan sumuran yang berdiameter 80 cm dengan kedalaman 160 cm
  2. Sumur resapan menggunakan pasangan batu bata system sarang lebah pada bagian bawah (daerah yang terendam air), dan konstruksi bata dengan adukan kapur untuk bagian atas (daerah kering).
Pengurasan jamban jenis ini menjadi tidak mudah untuk dilakukan. Dampak dari pengerjaan tukang yang kurang baik, akan dapat menyebabkan runtuh atau ring bergeser, sehingga nasehat ahli pertukangan sangat disarankan selama pengerjaan.

Tulisan ini mungkin masih jauh dari detail yang dibutuhkan rekan sanitarian. Namun setidaknya (harapannya) dapat menjadi sedikit acuan (semoga .

Jumat, 30 April 2010

Sick Building Syndrome

Dampak Kesehatan Pemakaian Air Conditioner (AC) dan Sick Building Syndrome

Pendingin udara atau Air conditioner (AC), saat ini merupakan kebutuhan pokok bagi sebuah lingkungan kerja. Dengan peningkatan suhu bumi yang semakin tidak kompromi, AC menjadi alternatif utama untuk kenyamanan. Dengan AC, maka temperatur, kelembaban, dan distribusi udara dapat diatur sesuai syarat dan keinginan. Berbagai kenyamanan penggunaan AC, seringkali membuat pengelola gedung melupakan perawatan yang benar terhadap AC dan menganggap bahwa udara dalam ruangan dengan AC selalu bersih dan sehat. Perawatan AC yang kurang benar berpeluang menyebarkan berbagai virus dan bakteri. Masalah Kesehatan yang muncul kemudian adalah terjadinya Sick Building Syndrome. Faktor yang ikut mempengaruhi penyakit ini antara lain sirkulasi ventilasi yang buruk, selain akibat pencemaran polusi udara asap kendaraan bermotor dan industri, kuman, virus, jamur, dan parasit. 

Rumah sakit sebagai sebuah lingkungan kerja merupakan institusi pelayanan Kesehatan yang di dalamnya terdapat bangunan, peralatan, manusia, dan aktivitas pelayanan Kesehatan. Disamping memberikan dampak positif sebagai tempat untuk menyembuhkan penyakit, ternyata rumah sakit juga memberikan dampak negatif bagi manusia seperti pencemaran, sumber penularan penyakit, termasuk gangguan Kesehatan bagi tenaga medis maupun non medis. Salah satu gangguan Kesehatan yang dapat terjadi pada tenaga medis dan non medis di rumah sakit adalah SBS (Sick Building Syndrome). SBS berhubungan dengan buruknya kualitas udara dalam ruangan kerja.

Sebuah penelitian menyebutkan bahwa di United States pada Tahun 1994 (Bureau of Labor Statistic di Amerika Serikat), 5 juta warganya yang bekerja di rumah sakit, 40% di antaranya adalah dokter, perawat, apoteker serta para asistennya menderita Sick Building Syndrome ini (Wichaksana (2002). Penting dicatat, mereka merupakan sebuah kelompok tenaga kerja yang mempunyai risiko besar terpajan bahan-bahan berbahaya di rumah sakit. Pada lingkungan Rumah sakit juga sangat dimungkinkan menjadi tempat berkembang biaknya sumber penyakit dan berkumpulnya bahan- bahan berbahaya biologi, kimia, dan fisik yang setiap saat dapat kontak dengan tenaga kerja, pasien, keluarga pasien, dan pengunjung.

acKita masih mencatat bahwa AC bisa menyebabkan penderitaan bagi banyak orang. Terdapat 182 orang - peristiwa ini terjadi di Philadelpia, USA tahun 1976) - mengalami pegal- pegal, flu, kepala pusing, kejang otot, perut kembung, cepat lelah, dan 29 orang diantaranya kemudian meninggal dunia ( data Bureau of Labor Statistic, AS). Berdasarkan hasil penelitian, kasus ini disebabkan oleh bakteri Legionella pneumophila. Bakteri itu hidup di alam bebas, terutama di daerah dengan kelembaban tinggi seperti sungai, danau, selokan, termasuk juga AC terutama di bagian cooling tower.
Penelitian yang dilakukan di PT. Infomedia Nusantara yang menggunakan AC lokal terhadap 89 responden ditemukan bahwa sebagian besar karyawan mengalami gangguan Kesehatan berupa bersin sebesar 57,3 %, sakit kepala sebesar 66,29 %, mata merah sebesar 5 1,69 %, mata pedih sebesar 58,43 %, mata gatal sebesar 74,16 %, dan kulit kering sebesar 17,9 1 % (Corie, 2004).

Berdasarkan bebeapa kenyataan diatas sangat penting untuk dilakukan pengendalian pencemaran udara di lingkungan rumah sakit, sehingga dapat meminimalisasi terjadinya gangguan Kesehatan bagi seluruh pengguna rumah sakit (tenaga medis, non medis, pasien, maupun pengunjung).

Namun bagaimanakah sebetulnya pengaruh kualitas fisik dan mikrobiologi udara pada ruangan ber-AC terhadap munculnya Sick Building Syndrome (SBS), pada tempat kerja, akan selalu terkait dengan beberapa data berikut :
a. Pengaruh kualitas fisik dan kualitas mikrobiologi udara dalam ruang.
b. Apakah ada perbedaan keluhan Sick Building Syndrome (SBS) pada berbagai jenis tenaga kerja.

Sick Building Syndrome (SBS)

Istilah sindrom gedung sakit (Sick Building Syndrome) pertama diperkenalkan oleh para ahli dari negara Skandinavia di awal tahun 1980-an yang lalu. Istilah ini kemudian digunakan secara luas dan kini telah tercatat berbagai laporan tentang sindrom ini dari berbagai Negara Eropa, Amerika, bahkan dari Negara tetangga kita Singapura (Aditama, 2002).


Sick Building Syndrome atau sindrom gedung sakit adalah kumpulan gejala akibat adanya gedung yang sakit, artinya terdapat gangguan pada sirkulasi udara dalam gedung itu. Adanya gangguan itulah yang menyebabkan gedung tersebut dikatakan sakit sehingga timbul sindrom ini yang memang terjadi karena penderitanya menggunakan suatu gedung yang sedang sakit (Aditama, 2002).

Menurut Burge (2004), Sick Building Syndrome (SBS) terdiri dari sekumpulan gej ala iritasi mukosa, kulit, dan gej ala lainnya terkait dengan gedung sebagai tempat kerja, penyebabnya adalah gedung yang tidak terawat dengan baik.

Sedangkan menurut Prof. Dr. Juli Soemirat Slamet, M.PH., Ph.D, Sick Building Syndrome adalah gej ala- gej ala gangguan Kesehatan, umumnya berkaitan dengan saluran pernafasan. Sekumpulan gej ala ini dialami oleh orang yang hidup atau bekerja di gedung atau rumah yang ventilasinya tidak direncanakan dengan baik (Sujayanto, 2001).

Gejala atau Keluhan SBS
Gejala-gejala yang timbul memang berhubungan dengan tidak sehatnya udara di dalam gedung. Keluhan yang ditemui pada sindrom ini antara lain dapat berupa batuk kering, sakit kepala, iritasi mata, hidung dan tenggorokan, kulit yang kering dan gatal, badan lemah dan lain- lain. Keluhan- keluhan tersebut biasanya menetap setidaknya dua minggu. Keluhan- keluhan yang ada biasanya tidak terlalu hebat, tetapi cukup terasa mengganggu dan yang penting amat berpengaruh terhadap produktivitas kerja seseorang. Sindrom gedung sakit ini baru dapat dipertimbangkan bila lebih dari 20% atau bahkan 50% pengguna suatu gedung mempunyai keluhan- keluhan seperti di atas. Kalau hanya dua atau tiga orang maka mereka mungkin sedang kena flu biasa (Aditama, 2002).
Keluhan SBS dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Iritasi selaput lendir: iritasi mata, mata pedih, merah, dan berair.
2. Iritasi hidung: iritasi tenggorokan, sakit menelan, gatal, batuk kering.
3. Gangguan neurotoksik: sakit kepala, lemah atau capek, mudah tersinggung, sulit berkonsentrasi.
4. Gangguan paru dan pernafasan: batuk, nafas berbunyi, sesak nafas, rasa berat di dada.
5. Gangguan kulit: kulit kering dan gatal.
6. Gangguan saluran cerna: diare.
7. Lain- lain: gangguan perilaku, gangguan saluran kencing, sulit belajar (Aditama, 2002).

Penyebab Terjadinya SBS
Sampai saat ini masih sulit untuk menentukan suatu penyebab tunggal dari sindrom gedung sakit, namun sebagian besar keluhan yang timbul dari tejadinya SBS diakibatkan oleh pencemaran udara yang terjadi dalam ruangan. Menurut hasil penelitian dari Badan Kesehatan dan Keselamatan Kerja Amerika Serikat atau National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH) 466 gedung di Amerika Serikat menemukan bahwa ada enam sumber utama pencemaran udara di dalam gedung, yaitu:
  1. 52% pencemaran akibat ventilasi yang tidak adekuat dapat berupa kurangnya udara segar yang masuk ke dalam ruangan gedung, distribusi udara yang tidak merata, dan buruknya perawatan sarana ventilasi.
  2. Pencemaran udara dari alat- alat di dalam gedung seperti mesin fotokopi, kertas tisu, lem kertas dan lem wallpaper, zat pewarna dari bahan cetakan, pembersih lantai serta pengharum ruangan (sebesar 17%).
  3. Pencemaran dari luar gedung dapat juga masuk ke dalam ruangan, hal ini dikarenakan tidak tepatnya penempatan lokasi masuknya udara segar dalam ruangan (sebesar 11%).
  4. Pencemaran bahan bangunan meliputi pencemaran formaldehid, lem, asbes, fibreglass dan bahan lain yang merupakan komponen pembentuk gedung tersebut (sebesar 3%).
  5. Pencemaran akibat mikroba dapat berupa bakteri, jamur, protozoa, dan produk mikroba lainnya yang dapat ditemukan di saluran udara dan alat pendingin serta seluruh sistemnya (sebesar 5%).
  6. Sebesar 12 % dari sumber tidak diketahui (Aditama, 2002).
Burge (2004) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi peningkatan prevalensi SBS antara lain:
1. Faktor individu:
  • a. Debu kertas.
  • b. Asap rokok
  • c. Debu dalam ruangan
  • d. Penggunaan komputer

2. Faktor gedung:
  • a. Suhu ruangan yang tinggi (lebih dari 23C dalam ruangan ber-AC).
  • b. Aliran udara dalam ruangan rendah (kurang dari 10 liter/ detik/ orang).
  • c. AC dalam ruangan.
  • d. Kontrol yang rendah terhadap suhu dan pencahayaan.
  • e. Rendahnya perawatan dan kebersihan gedung.
  • f. Kerusakan pada jaringan air.
Usaha untuk mengerti penyebab SBS telah dilakukan dengan melakukan penyelidikan terhadap banyak parameter yang cenderung difokuskan pada kinerja ventilasi, kontaminan dan berbagai variasi parameter lainnya. Tipikal parameter yang telah diselidiki dapat dilihat pada tabel berikut:
Parameter yang Diselidiki pada SBS
Parameter Keterangan
Sistem ventilasi 1. Kecepatan ventilasi (terlalu cepat, terlalu lambat).
2. Buruknya distribusi udara.
3. Sistem ventilasi yang tidak beroperasi.
4. Pengatur suhu udara (air conditioner).
5. Buruknya penyaringan.
6. Buruknya perawatan.
Kontaminan gedung 1. Asbestos
2. Karbondioksida
3. Karbon monoksida
4. Debu
5. Formaldehid, radon, ozon.
6. Spora, polen.
7. Bakteri.
8. Kelembaban (terlalu tinggi, terlalu rendah).
9. Ion
10. Bau, asap
Polutan dari luar, dan senyawa organik (volatil).
Penghuni Usia, gender, status Kesehatan, pekerjaan.
Lain- lain 1. Bentuk gedung.
2. Radiasi elektromagnetik
3. Tidak ada kontrol lingkungan.
4. Pencahayaan
5. Kebisingan
6. Faktor psikologi
7. Stres
8. Terminal display.
Sumber: Liddament, 1990 dalam Pudjiastuti et al., 1998

Jumat, 26 Maret 2010

Ice Breaking

Ice Breaking The Succes Key of Event ?

Hampir sebagian besar Sanitarian, juga merangkap sebagai Tenaga Penyuluh Masyarakat. Jika demikian tentu akan sangat intens berhubungan dengan acara pelatihan dan orientasi, baik bagi kader maupun lintas program. Berikut saya sampaikan tulisan tentang Ice Breaker yang sangat lazim digunakan pada berbagai acara dan orientasi.

Ice Breaking merupakan kegiatan ringan dalam sebuah acara yang bertujuan agar peserta acara mengenal peserta lain dan merasa nyaman dengan lingkungan barunya. Banyak bentuk kegiatan dalam ice breaking, mulai yang bersifat humor, informatif, maupun yang agak serius. Jika dilakukan dengan benar ice breaking bisa menjadi alat yang tepat untuk memfasilitasi kesuksesan suatu kegiatan.

Dalam bahasa Inggris, Ice Breaking dapat bermakna memecah es. Istilah ini sering dipakai dalam suatu acara dengan maksud menghilangkan kebekuan-kebekuan di antara peserta latihan, sehingga mereka saling mengenal, mengerti dan bisa saling berinteraksi dengan baik antara satu dengan yang lainnya. Hal ini dimungkinkan karena perbedaan status, usia, pekerjaan, penghasilan, jabatan dan sebagainya akan menyebabkan terjadinya dinding pemisah antara peserta yang satu dengan yang lainnya. untuk melebur dinding-dinding penghambat tersebut, diperlukan sebuah proses ice breaking.
Kapan Ice breaking dibutuhkan? Biasanya kegiatan ini dilaksanakan pada pada pertemuan yang bersifat formal. Teknik ini sering digunakan ketika peserta belum saling kenal, belum pernah bekerja sama ataupun belum mengenal lingkungan sekitar. Kenyataan yang mendasari ice breaking antra lain kenyataan bahwa peserta sebuah acara dan kegiatan datang dari berbagai latar belakang yang berbeda, peserta perlu untuk bekerjasama secepatnya untuk satu tujuan, tim baru terbentuk, topik diskusi merupakan hal baru, atau dapat juga karena faktor fasilitator yang ingin lebih mengenal peserta atau sebaliknya.

Berdasarkan kenyataan diatas maka ice breaking dilaksanakan dengan tujuan :
a.    Menghilangkan sekat-sekat pembatas di antara peserta.
c.    Terciptanya kondisi yang dinamis di antara peserta
d.    Menciptakan motivasi antara sesama peserta untuk melakukan aktivitas selama training berlangsung.

Master Key Ice Breaker
Kunci dari kesuksesan ice breaker adalah mengkhususkan kegiatan ini untuk menunjang agenda yang ada dan mencairkan suasana. Langkah - langkah Mendesain Ice Breaker:
  • Ketahui dulu es-es yang ada.
  • Klarifikasikan tujuan yang khusus pada sesi ice breaking ini.
  • Dengan Tujuan yang jelas desain sesi ice breaking bisa dimulai. Buat list pertanyaan bagaimana anda akan mencapai tujuan anda.
Metode
Ice-Breaker-PosterBanyak metode yang dapat dilakukan dalam ice breaking ini, di antaranya :
  1. Metode Ceramah, pelatih melakukan terlebih dahulu ceramah pembuka yang pada hakikatnya menjelaskan tentang beberapa hal, antara lain : pentingnya kesatuan dalam suatu komunitas, persamaan hak di antara sesama peserta, perlakukan yang sama,  tim building, kesadaran potensi, kerjasama antar kelompok dll.
  2. Metode Studi Kasus, yaitu memberikan kesempatan kepada peserta untuk ikut andil memecahkan persoalan-persoalan praktis sehari-hari yang ditawarkan oleh pelatih, tujuannya adalah ;
  • Untuk melihat potensi awal yang dimiliki masing-masing peserta baik dari segi afektif, kognitif maupun psikomotornya.
  • Membiasakan peserta untuk berinteraksi dengan kelompoknya yang baru, dengan bertanya, menanggapi atau mengamati peserta lain.
  • Memberikan pengertian bahwa sejak hari itu mereka akan menjadi sebuah keluarga (sanak famili) sampai kapanpun.
3. Metode Sinetik, yaitu sebuah metode pengembangan sumbang saran, dimana dalam suatu pemecahan masalah dipadukan berbagai pendapat dari berbagai disiplin ilmu sehingga memunculkan solusi yang lebih kreatif terhadap persoalan yang muncul.
4. Metode Lorong Penuh Liku, metode ini dimulai dari membaca beberapa halaman dari buku, kemudian dipaksa untuk membuat keputusan. Berdasarkan keputusan itu peserta diinstruksikan untuk membuka pada suatu halaman tertentu yang telah disusun secara acak. Kemudian diberikan sebuah skenario yang berdasarkan keputusan yang telah dibuat dan keputusan lebih lanjut akan mengirim anda ke halaman muka atau halaman-halaman belakang dari buku, sampai akhirnya peserta keluar dari lorong-lorong tersebut, mungkin setelah melakukan beberapa langkah-langkah yang salah. (untuk penggunaan teknik ini, pelatih harus terlebih dahulu mempersiapkan bahan-bahannya).
5. Metode Simulasi dan Permainan, metode ini merupakan metode yang paling mudah dilakukan, pelatih mempersiapkan beberapa permainan yang bertujuan untuk memecah kebekuan (ice breaking games) peserta. Permainan ini banyak sekali bentuknya, di antaranya adalah ; permainan lempar kokarde, pesan berantai, ziq-zaq dan lain-lain. Tujuan simulasi ini adalah :
  • Terciptanya keakraban di antara peserta.
  • Masing-masing peserta dapat menghafal nama dan beberapa identitas penting peserta lainnya.
  • Tertanamnya anggapan bahwa mereka adalah satu kesatuan (solidaritas) bila satu sakit, yang lain akan ikut merasakannya.
Beberapa Contoh Ice Breaking :
1. Ice Breaker Perkenalan.
  • The Little Known Fact -> Menanyai Peserta tentang nama, alamat dll.
  • True or False -> Seorang peserta diminta memperkenalkan diri. kemudian fasilitator membuat sebuah pernyataan berkaitan dengan orang tersebut. kemudian fasilitator meminta kepada peserta untuk menebak, apakah pernyataan tadi benar atau salah?
  • Interviews -> Semua peserta di pecah menjadi beberapa group, dan masing - masing menginterview temannya. kemudian peserta di satukan kembali dan masing - masing di minta menceritakan hasil interview mereka.
  • Problem Solver -> Kondisikan Peserta menjadi kelompok - kelompok kecil. kemudian beri kelompok itu suatu soal untuk mengerjakan dalam waktu yang singkat.
2. Ice Breaker Team Building
Ball Challenge : Permainan Ini dibuat mudah untuk fokus pada tujuan bersama dan mendorong pada tiap peserta untuk menyatu dengan peserta yang lain. Cara permainan: Group di buat barisan melingkar, kemudian fasilitator memegang bola. kemudian fasilitator melempar bola itu ke peserta dan peserta melanjutkan dengan melempar bola itu ke peserta yang lain. Sebelumnya peserta yang melempar bola itu harus menyebutkan nama peserta yang akan di lempar. begitu seterusnya. bisa dimodifikasi dengan mempercepat lemparan atau aliran bola dan juga dengan menambah jumlah bola sehingga tidak hanya satu.
Hal-hal yang Perlu Diperhatikan Saat Ice Breaking
  1. Seorang pelatih haruslah mempunyai naluri (feeling) khusus yang kuat ketika melakukan proses ice breaking. Ia harus tahu saat peserta sudah lebur atau belum dan masih harus dileburkan. Ketika peserta belum lebur namun ice breaking sudah dihentikan, hal ini akan menyusahkan sewaktu penyajian materi berikutnya.
  2. Saat melakukan ice breaking, seorang pelatih harus sudah dapat mendeteksi, (minimal beberapa orang dari peserta sudah masuk dalam memorinya) tentang potensi awal, sikap, sifat dan karakteristik special seorang peserta.
  3. Waktu yang disediakan untuk melakukan ice breaking sangat kondisional, tergantung kepada tingkat keleburan peserta. Ada peserta yang mudah lebur dan ada yang sulit lebur, karena perbedaan pendidikan, latar belakang, dll yang sangat signifikan. Oleh karena itu seorang pelatih harus mempunyai beberapa jurus simpanan yang harus dikeluarkannya bila peserta sulit mengalami peleburan antara satu dengan yang lainnya.
  4. Menimbulkan kesan positif, seorang pelatih haruslah dipandang oleh peserta dalam pandangan yang positif, baik dari segi pendapat, sikap, sifat dan interaksinya dengan peserta, karena tidak menutup kemungkinan nanti seorang pelatih akan menjadi tempat curhat paling dipercaya bagi peserta yang mengalami persoalan-persoalan khusus.
Terdapat hal-hal berikut penting sebagai informasi tambahan terkait Ice Breaking ini, diantranya penentu Kesuksesan sebuah ice breaking pada suatu acara antara lain :
  1. Membangun Kesan PERTAMA.
  2. Menumbuhkan KETERTARIKAN peserta.
  3. Membangun OTORITAS pembicara.
  4. Mencipta KENYAMANAN peserta n pembicara.
  5. Menyiapkan STATE of MIND (kesiapan menyimak materi).
Pada Tulisan Yang Akan Datang Insya Allah Akan Disampaikan Berbagai Macam Jenis dan Bentuk Ice Breaking .... Thanks For Coming ...

Selasa, 16 Maret 2010

Seri Ponpes dan Masalah Sanitasinya

Potret Sanitasi Pondok Pesantren Kita ?

Pondok pesantren, selain dikenal sebagai wahana tempat belajar santri dan santriwati dalam mendalami ilmu agama Islam, namun ponpes selama ini juga dikenal bermasalah dari aspek sanitasi. Berbagai penyakit berbasis lingkungan yang umum sering menjadi masalah di Ponpes seperti kudis, diare, ISPA, disebabkan oleh lingkungan yang kurang sehat di Pondok Pesantren (Ponpes). Bahkan ada gurauan dikalangan santri dan kyai bahwa belum belum sah jika seorang santri yang mondok disebuah ponpes jika belum terserang penyakit kudis (scabies).

Sebagamana sanitasi rumah, sanitasi Ponpes pada dasarnya adalah usaha Kesehatan masyarakat yang menitikberatkan pada pengawasan terhadap struktur fisik, dimana orang menggunakannya sebagai tempat berlindung yang mempengaruhi derajat Kesehatan manusia. Sarana sanitasi tersebut antara lain ventilasi, suhu, kelembaban, kepadatan hunian, penerangan alami, konstruksi bangunan, sarana pembuangan sampah, sarana pembuangan kotoran man usia, dan penyediaan air bersih (Azwar, 1990). Kondisi sanitasi pada Ponpes akan sangat berkaitan dengan angka kesakitan berbasis lingkungan yang menular.

Beberapa masalah sanitasi sangat umum di ponpes dapat kita sebut antara lain keterbatasan sarana sanitasi dan perilaku santri yang belum ber PHBS. Berikut observasi umum yang (saya kira, dan saya percaya), dapat dipercaya berlaku umum di Ponpes kita (lokasi observasi untuk sementara tidak disebutkan). Observasi ini menggunakan alat ukur checklist inspeksi sanitasi Ponpes, pengamatan secara visual serta melakukan wawancara terhadap santri.

Berdasarkan hasil observasi awal yang dilakukan didapatkan gambaran antara lain banyak ditemukan Sanitasi Ponpes yang kurang memadai, higiene perorangan pada santri yang buruk, pengetahuan, sikap, dan perilaku para santri yang kurang mendukung pola hidup sehat, serta pihak penghelola ponpes yang kurang tertarik (?) dengan masalah sanitasi lingkungan Ponpes.

Beberapa komponen yang diamati adalah sanitasi lingkungan Ponpes yang terdiri dari lokasi dan konstruksi Ponpes, penyediaan air bersih, ketersediaan jamban, pengelolaan sampah, sistem pembuangan air limbah, sanitasi dan kepadatan pemondokan, sanitasi ruang belajar santri, dan sanitasi masjid Ponpes.

Lingkungan Ponpes
Berdasarkan alat ukur checklist inspeksi sanitasi pada Ponpes, dapat dilihat bahwa secara umum lingkungan dan bangunan pondok pesantren harus selalu dalam keadaan bersih dan tersedia sarana sanitasi yang memadai. Selain itu Lingkungan dan bangunan ponpes tidak memungkinkan sebagai tempat bersarang dan berkembang biaknya serangga, binatang mengerat, dan binatang mengganggu lainnya. Bangunan Ponpes juga harus kuat, utuh, terpelihara, mudah dibersihkan dan dapat mencegah penularan penyakit dan kecelakaan.

Secara umum lingkungan Ponpes pada lokasi observasi telah memenuhi syarat, dengan berbagai komponen persyaratan tersebut telah terpenuhi, baik dari aspek sarana, kebersihan, maupun konstruksi bangunan.

Konstruksi Bangunan
Syarat sebuah pondok pesantren berdasarkan aspek konstruksi mempersyaratkan adanya kondisi pada lantai, dinding, lubang penghawaan, kelembaban, ventilasi, atap, langit-langit, serta jaringan instalasi. Pada lantai bangunan Ponpes harus terbuat dari bahan yang kuat, kedap air, permukaan rata, tidak licin dan mudah dibersihkan. Juga Lantai yang selalu kontak dengan air mempunyai kemiringan yang cukup (2%-3%) kearah saluran pembuangan air limbah. Pada Dinding Ponpes, dipersyaratkan adanya permukaan dinding yang harus rata, berwarna terang, dan mudah dibersihkan. Permukaan dinding yang selalu terkena percikan air terbuat dari bahan yang kuat dan kedap air. Persyaratan konstruksi a t a p, selain kuat juga tidak bocor dan tidak menjadi tempat perindukan serangga dan tikus. Sedangkan Persyaratan langit-langit, selain kuat, berwarna terang serta mudah dibersihkan, dengan tinggi minimal 2.50 meter dari lantai. Sementara konstruksi pintu harus kuat, serta dapat mencegah masuknya serangga, tikus dan binatang pengganggu lainnya.

Ventilasi dan Kelembaban Udara
Lubang Penghawaan pada bangunan ponpes harus dapat menjamin pergantian udara didalam kamar/ruang dengan baik. Luas lubang penghawaan yang dipersyaratkan antara 5% - 15% dari luas lantai dan berada pada ketringgian minimal 2.10 meter dari lantai. Bila lubang penghawaan tidak menjamin adanya pergantian udara dengan baik harus dilengkapi dengan penghawaan mekanis. Dari aspek kelembaban udara ruang, dipersyaratkan ruangan mempunyai tingkat kelembaban udara dengan kriteria buruk jika tingkat kelembaban > 90%, kelembaban Baik (65-90%). Kelembaban sangat berkaitan dengan ventilasi. Tingkat kelembaban yang tidak memenuhi syarat ditambah dengan perilaku tidak sehat, misalnya dengan penempatan yang tidak tepat pada berbagai barang dan baju, handuk, sarung yang tidak tertata rapi, serta kepadatan hunian ruangan ikut berperan dalam penularan penyakit berbasis lingkungan seperti Scabies (memudahkan tungau penyebab/Sarcoptes scabiei, berpindah dari reservoir ke barang sekitarnya hingga mencapai pejamu baru.
Ventilasi adalah proses penyediaan udara segar ke dalam dan pengeluaran udara kotor dari suatu ruangan tertutup secara alamiah maupun mekanis. Dengan adanya ventilasi yang baik maka udara segar dapat dengan mudah masuk ke dalam ruangan. Ventilasi yang memungkinkan sinar matahari pagi dapat masuk dan proses pertukaran udara juga tidak lancar.
Persyaratan sanitasi dari aspek pencahayaan, bahwa lingkunga Ponpes baik di dalam maupun diluar ruangan harus mendapat pencahayaan yang memadai. Mutu udara harus memenuhi persyaratan, seperti tidak berbau (terutama H2S dan Amoniak), serta kadar debu tidak melampaui konsentrasi maksimum.
Jaringan instalasi, pemasangan jaringan instalasi air minum, air limbah, gas, listrik, sistem sarana komunikasi dan lain-lain harus rapi, aman, dan terlindung

Dapur dan Fasilitas Pengelolaan makanan.
Persyaratan sanitasi ruang tidur pada pondok pesantren meliputi antara lain, ruangan selalu dalam keadaan bersih dan mudah dibersihkan, tersedia tempat sampah sesuai dengan jenis sampahnya serta tersedia fasilitas sanitasi sesuai kebutuhan. Syarat bangunan dapur berdasarkan aspek sanitasi, ruang dapur harus menggunakan pintu yang dapat membuka dan menutup sendiri atau harus dilengkapi dengan pegangan yang mudah dibersihkan.
clip_image001
Dapaur pada ponpes mempergunakan minyak tanah sebabagai bahan bakar, dengan kondisi dapur kotor dan didominasi warna hitam oleh karena asap. Namun dari aspek pencahayaan dan ventilasi telah memenuhi syarat, dengan sebagian sisi dapur merupakan ruang terbuka.

Kepadatan Penghuni.
Variabel kepadatan penghuni memberikan hasil yang signifikan untuk kejadian ISPA. Kepadatan penghuni rumah dihubungkan dengan transmisi penyakit tuberculosis dan infeksi saluran pernafasan. Hal ini karena kepadatan penghuni kamar tidur yang tidak memenuhi syarat akan menghalangi proses pertukaran udara bersih sehingga kebutuhan udara bersih tidak terpenuhi dan akibatnya menjadi penyebab terjadinya ISPA.
Kepadatan penghuni rumah yang terlalu tinggi dan tidak cukupnya ventilasi menyebabkan kelembaban dalam rumah juga meningkat (Krieger dan Higgins, 2002). Syarat kepadatan hunian pada Ponpes dipersyaratkan kepadatan yang termasuk dalam kriteria hunian tinggi jika ruangan <8 m2/ dihuni untuk 2 orang, sedangkan kepadatan hunian rendah (> 8 m2 untuk 2 orang).

clip_image001[11]
Tingkat kepadatan penghuni di Ponpes lokasi observasi cenderung padat namun masih dalam batas toleransi persyaratan. Perbandingan jumlah tempat tidur dengan luas lantai minimal 3 m2/tempat tidur (1.5 m x 2 m). Namun struktur tempat tidur santri tidak berada dalam bed tersendiri, namun berada di lantai dengan menggunakan alas berbentuk tikar. Kepadatan hunian merupakan syarat mutlak untuk Kesehatan rumah pemondokan termasuk ponpes, karena dengan kepadatan hunian yang tinggi terutama pada kamar tidur memudahkan penularan berbagai penyakit secara kontak dari satu santri kepada santri lainnya.

Fasilitas Sanitasi
Termasuk dalam aspek Kesehatan fasilitas sanitasi, sebauah pondok pesantren harus memenuhi persyaratan antara lain meliputi Penyediaan air minum serta toilet dan kamar mandi.
Fasilitas sanitasi mempunyai kriteria persyaratan sebagai berikut :
- Kualitas
- Kuantitas
- Kontinuitas
:
:
:
Tersedia air bersih yang memenuhi syarat Kesehatan (fisik, kimia, dan bakteriologis)
Tersedia air bersih minimal 60 lt/tt/hr
Air minum dan air bersih tersedia pada setiap tempat kegiatan yang membutuhkan secara berkesinambungan

Sedangkan aspek Kesehatan sanitasi Toilet dan kamar mandi, selain harus selalu dalam keadaan bersih, juga lantai kamar mandi terbuat dari bahan yang kuat, kedap air, tidak licin, berwarna terang, dan mudah dibersihkan. Toilet dan kamar mandi harus juga dilengkapi dengan pembuangan air limbah yang dilengkapi dengan penahan bau (water seal). Sedangkan letak toilet dan kamar mandi tidak boleh berhubungan langsung dengan tempat pengelolaan makanan (dapur, ruang makan). Lubang penghawaan harus berhubungan langsung dengan udara luar.
clip_image002
Toilet dan kamar mandi karyawan/pengurus harus terpisah dengan toilet santri, serta tidak terdapat tempat penampungan atau genangan air yang dapat menjadi tempat perindukan serangga dan binatang pengerat. Sedangkan perbandingan jumlah santri dengan jumlah jamban dan kamar mandi adalah untuk jumlah santri 15 harus tersedia satu jamban dan kamar mandi, selanjutnya setiap penambahan 25 tempat tidur harus ditambah 1 jamban dan 1 kamar mandi.

Kondisi di Ponpes lokasi observasi, jumlah jamban yang tersedia sebanyak 4 unit dengan kamar mandi 10 unit, dengan sebagaian besar santri masih mempergunakan sungai sebagai tempat buang air besar dan mandi. Alur sungai yang kebetulan melalui area ponpes diberi sekat dan dimanfaatkan untuk sarana MCK. Ketika ditanyakan pada santri, penggunaan sungai ini dikarenakan jumlah sarana jamban dan kamar mandi ponpes masih jauh dari cukup, sehingga untuk menggunakannya harus antri.. Jika melihat tandard proporsi jamban maka masih diperlukan penambahan kamar mandi dan jamban. Teknis penambahan dapat dilakukan dengan membangun jamban dan kamar mandi baru sejumlah 12 unit . Selain penambahan baru juga penambahan jamban pada kamar mandi yang sudah ada (kamar mandi ini belum dilengkapi sarana jamban), yaitu sejumlah 8 unit.
MCK Ponpes Kita

Pengelolaan sampah.
Tersedia tempat sampah yang dilengkapi dengan penutup. Tempat sampah terbuat dari bahan yang kuat, tahan karat, permukaan bagian dalam rta/licin. Tempat sampah dikosongkan setiap 1 x 24 jam atau apabila 2/3 bagian telah terisi penuh. Jumlah dan volume tempat sampah disesuaikan dengan perkiraan volume sampah yang dihasilkan oleh setiap kegiatan. Tempat sampah harus disediakan minimal 1 buah untuk setiap radius 10 meter dan setiap jarak 20 meter pada ruang tunggu dan ruang terbuka. Tersedia tempat pembuangan sampah sementara yang mudah dikosongkan, tidak terbuat dari beton permanen, terletak di lokasi yang mudah dijangkau kendaraan pengangkut sampah dan harus dikosongkan sekurang-kurangnya 3 x 24 jam.
Pengelolaan sampah di ponpes ini cukup baik dengan memanfaatkan ruang terbuka pondok untuk menimbun sampah, sementra tempat sampah/container tersedia berbagai sudut Pondok.

Pengelolaan Air Limbah.
Ponpes harus memiliki sistem pengelolaan air limbah sendiri yang memenuhi persyaratan teknis apabila belum ada atau tidak terjangkau oleh sistem pengolahan air limbah perkotaan.
Saluran pembuangan air limbah (SPAL) di Ponpes tidak mengalir lancar, dengan bentuk SPAL tidak tertutup di banyak tempat, sehingga air limbah menggenang di tempat terbuka. Keadaan ini berpotensi sebagai tempat berkembang biak vektor dan bernilai negatif dari aspek estetika.


Pengelolaan makanan/minuman
Persyaratan pengelolaan makanan/minuman antara lain menyangkut komponen dapur, ruang makan dan gudang. Luas dapur minimal 40% dari ruang makan. Sedangkan untuk syarat penghawaan harus dilengkapi dengan pengeluaran udara panas maupun bau-bauan (exhauser) yang dipasang setinggi 2 meter dari lantai. Pada tungku dapur dilengkapi dengan sungkup atap (hood). Sementara pertukaran udara diusahakan dengan ventilasi yang dapat menjamin kenyamanan, menghilangkan debu dan asap. clip_image002[10]
Untuk bahan dan peralatan dipersyaratkan antara lain, pada bahan makanan/minuman yang diolah harus dalam keadaan baik, tidak rusak, atau berubah bentuk warna dan rasa. Bahan terolah harus dikemas dan bahan tambahan harus memenuhi persyaratan Kesehatan. Sedangkan peralatan memasak dan peralatan makan/minum, dipersyaratkan permukaan harus mudah dibersihkan, tidak terbuat dari bahan yang mengandung timah hitam, tembaga, seng, kadmium, arsenikum, dan antimon. Sementara ruang tempat penyimpanan alat-alat terlindung dan tidak lembab.
Di Ponpes lokasi observasi, terutama pada ruang penyimpanan bahan baku makanan / ruang pengelolaan, kondisi ruangan sudah memenuhi syarat baik pada aspek kebersihan, pencahayaan, serta ventilasi.

Kesimpulan dan Saran.
Berdasarkan observasi terhadap Ponpes disimpulkan bahwa dari aspek sanitasi lingkungan, masih banyak ditemukan komponen sanitasi yang tidak memenuhi syarat, terutama pada komponen sarana air bersih, ventilasi, pencahayaan, kelembaban, kepadatan penghuni, serta aspek kontruksi ruang. Keadaan ini dapat meningkatkan resiko terjadinya penyakit berbasis lingkungan seperti kudis, ISPA, dan diare.

Berdasarkan observasi tersebut dapat disarankan kepada fihak manajemen Ponpes untuk memperbaiki kondisi sanitasi lingkungan Ponpes dengan menambah jumlah kamar mandi dan jamban. Juga perlu perbaikan dalam penyediaan sumber air bersih dengan mempergunakan sumber air bersih yang memenuhi syarat serta mengolah secara sederhana yaitu penambahan tawas untuk menjernihkan air dan penambahan kaporit sebagai disinfektan. Untuk mendukung lingkungan yang sehat, harus didukung dengan perilaku sehat santri. Untuk tujuan tersebut penting dibuat peraturan dan komitmen bersama untuk mengelolanya.

Ponpes sebagai lokasi observasi diatas sebetulnya sudah cukup baik dari aspek sanitasi, karena saya percaya masih banyak Ponpes yang jauh lebih buruk kondisi sanitasinya. Sebagaimana disebutkan pada hasil penelitian Faktor Sanitasi Lingkungan Yang Berperan Terhadap Prevalensi Penyakit Scabies Studi Pada Santri Di Pondok Pesantren Kabupaten Lamongan (Isa M.,Soedjajadi K., Hari B.N).

Dengan mempergunakan besar sampel sebanyak 12 Ponpes dengan 338 orang santri yang dihitung berdasarkan formula Lemeshow (1997), penelitian ini menghasilkan beberapa kesimpulan yang menarik sebagai bahan referensi rekan-rekan Sanitarian petugas Promkes kita.
  1. Pemeriksaan fisik kulit terhadap 338 orang santri Ponpes di Kabupaten Lamongan menunjukkan bahwa prevalensi penyakit Scabies adalah 64,20%. Prevalensi Scabies ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan prevalensi penyakit Scabies di neg ara sedang berkembang yang hanya 6-27% saja (Sungkar, 1997) ataupun prevalensi penyakit Scabies di Indonesia sebesar 4,60 -12,95% saja (Dinkes Prop Jatim, 1997). Sedangkan prevalensi penyakit Scabies diantara para santri di Kabupaten Lamongan lebih sedikit rendah kalau dibandingkan dengan prevalensi penyakit Scabies di sebuah Ponpes di Jakarta yang mencapai 78,70% atau di Ponpes Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, sebesar 66,70% (Kuspriyanto, 2002).
  2. Santri yang tinggal di pemondokan dengan kepadatan hunian tinggi (<8 m2 untuk 2 orang) sebanyak 245 orang mempunyai prevalensi penyakit Scabies 71,40%, sedangkan santri yang tinggal di pemondokan dengan kepadatan hunian rendah (> 8 m2 untuk 2 orang) sebanyak 93 orang mempunyai prevalensi penyakit Scabies 45,20%. Dengan demikian tampak peran kepadatan hunian terhadap penularan penyakit Scabies pada santri di Ponpes Lamongan (Chi kuadrat, p <0,01).
  3. Sebanyak 232 orang santri tinggal di ruangan dengan kelembaban udara yang buruk (> 90%) dengan prevalensi penyakit Scabies 67,70%, sedangkan 106 santri tinggal di ruangan dengan kelembaban Baik (65-90%) memiliki prevalensi penyakit Scabies 56,60%. Kelembaban ruangan pemondokan kebanyakan para santri nampak kurang memadai, sebagai akibat buruknya ventilasi, sanitasi karena berbagai barang dan baju, handuk, sarung tidak tertata rapi, dan kepadatan hunian ruangan ikut berperan dalam penularan penyakit Scabies (Chi kuadrat, p <0,05). Hal ini memudahkan tungau penyebab (Sarcoptes scabiei) berpindah dari reservoir ke barang sekitarnya hingga mencapai pejamu baru.
  4. Sebagian besar santri (213 orang) mempunyai higiene perorangan yang jelek dengan prevalensi penyakit Scabies 73,70%. Sedangkan santri dengan higiene perorangan baik (121 orang) mempunyai prevalensi penyakit Scabies 48,00%. Tampak sekali peran higiene perorangan dalam penularan penyakit Scabies (Chi kuadrat, p <0,01).