Blogger templates

Sabtu, 28 Mei 2011

penggunaan model pembelajaran konstruktivisme untuk meningkatkan aktivitas dan prestasi belajar fisika siswa kelas X semester 1 di SMA Negeri 1 Sakra

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Fisika merupakan cabang IPA yang mempelajari tentang kejadian-kejadian alam. Fisika bukan merupakan kumpulan pengetahuan semata, melainkan proses dan sikap ilmiah yang tidak dapat dipisahkan. Karena itu dalam mengajar fisika kita tidak hanya dengan informasi saja, melainkan juga mengajarkan proses mendapatkan konsep-konsep fisika, sehingga pada akhirnya timbul sikap ilmiah.
Belajar fisika akan menyenangkan kalau memahami keindahan dan manfaatnya, jika siswa sudah mulai tertarik baik oleh manfaatnya ataupun dari lapangan kerjanya, mereka akan bisa lebih mudah dalam menguasai fisika. Maka motivasi belajar sudah menjadi modal pertama untuk menghadapi halangan atau kesulitan ketika sedang belajar fisika.
Untuk mengetahui pencapaian tujuan pembelajaran, pada setiap akhir program pengajaran dilakukan evaluasi. Indikator keberhasilan dari pencapaian tujuan pengajaran tersebut adalah kemampuan belajar siswa yang diwujudkan dalam bentuk Ujian Akhir Nasional (UAN). Hasil UAN
Fisika yang diperoleh siswa dari tahun ke tahun sangat tidak menggembirakan. Hal ini menandakan kualitas pendidikan Fisika masih rendah. Misalnya, dalam mata pelajaran Fisika dalam dua tahun terakhir pada SMU Negeri 1 Sakra Timur. Dari hasil observasi dan pengamatan guru mata pelajaran fisika di SMA Negeri 1 Sakra Timur diperoleh bahwa prestasi belajar fisika masih tergolong rendah. Hal ini bisa dilihat dari perolehan UAN yang rendah. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari table 1.1 berikut:
Tabel 1.1. Rata-rata Nilai UAN Fisika Siswa SMA Negeri 1 Sakra Timur
Tahun Ajaran Nilai Terendah Nilai Tertinggi Rata-rata Nilai UAN Simpangan Deviasi
2004/2005 4.32 5.00 4.61 0.35
2005/2006 4.59 6.32 5.00 0.67
(SMA Negeri 1 Sakra Timur)
Prestasi belajar siswa khususnya mata pelajaran fisika pada tiap tahun ajaran masih relatif rendah. Hal ini dapat dilihat dari nilai rata-ratanya yang mencapai 4,61 (2004/2005) dan 4,90 (2005/2006). Rendahnya prestasi belajar fisika siswa pada waktu kelas X disebabkan karena kurangnya motivasi, minat dan aktivitas belajar dari siswa itu sendiri. Pada umumnya siswa kurang aktif dan kebanyakan diam serta tidak mau bertanya tentang materi yang belum dimengerti. Siswa biasanya hanya mencatat dan mendengar apa yang disampaikan oleh guru. Pada umumnya siswa juga kadang-kadang dipaksa oleh guru untuk mencatat yang telah disampaikan.
Kurangnya minat dan aktivitas belajar siswa ini terkait dengan sistem pengajaran yang digunakan oleh sekolah yang masih menggunkan metode ekspositori yaitu guru menulis di papan tulis, siswa mengerjakan soal dibuku LKS, serta pemberian PR yang sifatnya monoton dan kurang variatif. Selain itu juga, guru kurang memahami siswa cara menciptakan proses belajar yang dapat membangkitkan minat, dorongan, dan semangat belajar siswa. Akibatnya siswa kurang aktif karena hanya menerima dan mengerjakan apa yang diberikan oleh guru. Hal ini tentunya akan berdampak pada siswa kurang percaya diri baik dalam bertanya, menyampaikan ide, maupun dalam menyelasaikan suatu permasalahan yang diberikan oleh guru dan dapat berdampak pada rendahnya prestasi belajar siswa. Penyebab lainnya adalah para guru fisika mengajar berdasarkan asumsi tersembunyi bahwa pengetahuan dapat dipindahkan secara utuh dari pikiran guru ke pikiran siswa. Dengan asumsi tersebut mereka memfokuskan diri pada upaya penuangan pengetahuan ke dalam kepala para siswanya (Sadia, 1997:1).
Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tersebut meliputi pengetahuan fisik, pengetahuan logika-matematika dan pengetahuan sosial. Tidak semua pengetahuan dapat diterima dengan mudah oleh siswa. Hal ini dapat diketahui dari contoh yang dikemukakan oleh Piaget yaitu pengetahuan sosial seperti lambang matematika, lambang fisika dapat dipelajari secara langsung. Tetapi pengetahuan fisik dan logika matematika tidak dapat ditransfer secara utuh dari pikiran guru ke pikiran siswa tetapi harus dibangun di dalam pikiran siswa sendiri sebagai usaha keras siswa untuk mengorganisasi pengalaman-pengalamannya dalam hubungannya dengan skema atau struktur mental yang telah ada sebelumnya ( De Vries and Zan, 1994 : 193-195 ; Bodner, 1986 : 2 ; Dahar, 1988 : 192 ).
Salah satu alternatif yang akan dicoba untuk diterapkan dalam upaya menangani permasalahan tersebut diatas adalah dengan menerapkan suatu model pembelajaran yakni model pembelajaran konstruktivisme. Menurut Ella (2004:109) dalam menerapkan teori konstruktivis dalam belajar dapat digunakan model pembelajaran, pembelajaran ini melibatkan beberapa tahap, yaitu: Pengenalan, pembelajaran kompetensi, pemulihan, pendalaman dan pengayaan. Pada dasarnya penerapan konstruktivisme dalam belajar adalah belajar untuk mengkonstruksi (dibangun dalam pikiran) dari hasil interpretasi atas sesuatu peristiwa, menemukan dan mentransformasikan informasi, memeriksa informasi yang baru serta merevisinya bila perlu. Dalam model pembelajaran konstruktivisme harus tercipta hubungan kerjasama antara guru dengan murid dan antar sesama murid.
Menurut Boediono (2001), beberapa bentuk kondisi belajar yang sesuai dengan filosofi "constructivism" antara lain: diskusi yang menyediakan kesempatan agar semua peserta didik mau mengungkapkan gagasan, pengujian dan penelitian sederhana, demonstrasi dan peragaan prosedur ilmiah, dan kegiatan praktis lain yang memberi peluang peserta didik untuk mempertajam gagasannya. Demonstrasi yang dimaksud disini adalah cara yang digunakan untuk menciptakan suasana pembelajaran yang dapat menumbuhkan dan menghidupkan gairah belajar. Tujuan dari penggunaan metode demonstrasi dalam proses belajar mengajar ialah untuk memperjelas pengertian konsep dan memperlihatkan cara melakukan sesuatu atau proses terjadinya sesuatu. Sedangkan guru hanya sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar mengajar berjalan dengan baik.
Oleh karena itu, di dalam penelitian ini peneliti akan mencoba menyelidiki apakah penggunaan model pembelajaran konstruktivisme pada pokok bahasan suhu dapat meningkatkan aktivitas dan prestasi belajar fisika siswa di SMA Negeri 1 Sakra Timur. Karena melalui model pembelajaran ini diharapkan dapat mengajak siswa berperan aktif dan melibatkan segenap kemampuan yang dimiliki siswa sehingga pemahaman tentang suatu konsep dapat diterima dengan demikian diharapkan prestasi siswa dapat meningkat.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah �Apakah penggunaan model pembelajaran konstruktivisme dapat meningkatkan aktivitas dan prestasi belajar fisika siswa kelas X semester 1 di SMA Negeri 1 Sakra�.
1.3 Tujuan penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk meningkatkan aktivitas dan prestasi belajar fisika pada siswa kelas X semester 1 di SMA Negeri 1 Sakra Timur melalui penggunaan model pembelajaran konstruktivisme.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Bagi siswa: Memacu motivasi dan minat siswa serta mendorong siswa agar lebih aktif dalam belajar serta sebagai pengalaman langsung bagi mereka tentang pelaksanaan model pembelajaran tersebut.
b. Bagi guru: Menambah sumbangan pemikiran dalam rangka perbaikan model pembelajaran agar lebih bervariasi sehingga dapat meningkatkan hasil belajar.
c. Bagi sekolah: Sebagai sumbangan nyata bagi program pembelajaran di SMA Negeri 1 Sakra Timur, sekaligus menambah koleksi buku bacaan dan pengetahuan baru tentang model pembelajaran.

1.5 Batasan Masalah
Untuk membatasi luasan masalah penelitian, maka penelitian ini dibatasi pada pokok bahasan suhu dan pemuaian kelas X1 semester 2 di SMA Negeri 1 Sakra Timur tahun ajaran 2007/2008.
1.6 Definisi Operasional
1. Konstruktivisme adalah suatu teori yang memandang bahwa pengetahuan itu dibangun sendiri secara aktif dalam diri setiap individu dengan cara mengkaitkan pembelajaran dengan pengalaman nyata.
2. Aktivitas belajar adalah suatu proses atau kegiatan yang dilakukan untuk mencapai pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap.
3. Presatasi belajar adalah hasil penilaian pendidikan tentang kemajuan siswa setelah melakukan aktivitas belajar.










BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konstruktivisme
2.1.1 Pengertian Konstruktivisme
Untuk menciptakan suasana belajar agar siswa lebih aktif guru menggunakan berbagai macam model pembelajaran yang diyakini memiliki dampak positif terhadap hasil belajar, salah satunya yaitu konstruktivisme. Berdasarkan penelitian tentang bagaimana anak-anak memperoleh pengetahuan, Pieget sampai pada kesimpulan, bahwa pengetahuan itu dibangun dalam pikiran anak. Penelitian inilah yang menyebabkan ia dikenal sebagai konstruktivis pertama. Piaget mengemukakan, bahwa �pengetahuan itu dibangun sambil anak (yang belajar) mengatur pengalaman-pengalamannya yang terdiri atas struktur-struktur mental atau skema-skema yang sudah ada padanya (Karso, 1993)�.
Konstruktivisme adalah perkataan bahasa Inggris yaitu "Constructivism" dan berasal dari kata " Construct " yang artinya membina. Konstruktivisme merupakan proses pembelajaran yang menerangkan bagaimana pengetahuan disusun dalam pikiran manusia. Konstruktivisme merupakan satu kepercayaan bahawa pembelajaran bermula dari pengetahuan dan pengalaman yang tersimpan dalam memori atau struktur kognitif pelajar. Dalam proses pembelajaran, baru diproses dan diserapkan untuk dijadikan sebahagian daripada struktur kognitif di dalam minda pelajar. Pendekatan yang masih dianggap baru ini memberi idea-idea terkini tentang pertumbuhan kognitif dan pembelajaran. Ini bersesuaian dengan apa yang dinyatakan oleh Grayson (1991) bahawa pengetahuan tidak diterima secara pasif tetapi diterima secara aktif oleh pelajar. (---------,------)
Menurut Piaget pikiran manusia mempunyai struktur yang disebut skema atau skemata yang sering disebut dengan struktur kognitif. Dengan menggunakan skemata itu seseorang mengadaptasi dan mengkordinasi lingkungannya sehingga terbentuk skemata yang baru, yaitu melalui proses asimilasi dan akomodasi. Selanjutnya, Piaget (dalam Bell,1981: Stiff dkk.,1993) berpendapat bahwa �skemata yang terbentuk melalui proses asimilasi dan akomodasi itulah yang disebut pengetahuan (-------,----).
Asimilasi merupakan proses kognitif yang dengannya seseorang mengintegrasikan informasi (persepsi, konsep, dsb) atau pengalaman baru kedalam struktur kognitif (skemata) yang sudah dimiliki seseorang. Sedangkan Akomodasi adalah proses restrukturisasi skemata yang sudah ada sebagaia akibat adanya informasi dan pengalaman baru yang tidak dapat secara langsung diasimilasikan pada skemata tersebut ( Hamzah, 2002).
Menurut para penganut konstruktif, pengetahuan dibina secara aktif oleh seseorang yang berfikir. Seseorang tidak akan menyerap pengetahuan dengan pasif. Untuk membangun suatu pengetahuan baru, peserta didik akan menyesuaikan informasi baru atau pengetahuan yang disampaikan guru dengan pengetahuan atau pengalaman yang telah dimilikinya melalui berinteraksi sosial dengan peserta didik lain atau dengan gurunya (Ella, 2004).
Sedangkan menurut Wan (2005), Konstruktivisme diartikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan menciptakan sesuatu dari apa yang dipelajari. Konstrutivisme sebenarnya bukan merupakan ide yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang itu mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih baik.
Menurut Schuman (1996), konstruktif dikemukakan dengan dasar pemikiran bahwa �semua orang membangun pandangannya terhadap dunia melalui pengalaman individu atau skema�. Konstruktif menekankan pada menyiapkan peserta didik untuk menghadapi dan menyelesaikan masalah dalam situasi yang tidak tentu atau ambigus (Ella, 2004).
Menurut teori belajar konstruktivisme, mengemukakan bahwa teori belajar konstruktivisme memandang anak sebagai mahluk yang aktif dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan melalui interaksi dengan lingkungannya. Guru, yang dipandang sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran, seyogyanya mengetahui tingkat kesiapan anak untuk menerima pelajaran, termasuk memilih motede yang tepat dan sesuai dengan tahap perkembangan anak (Ghozali, 2003).
Jadi, Konstruktivisme adalah suatu teori yang memandang bahwa pengetahuan itu dibangun sendiri secara aktif dalam diri setiap individu dengan cara mengkaitkan pembelajaran dengan pengalaman nyata.
2.1.2 Model Pembelajaran Konstruktivisme
Model pembelajaran merupakan suatu rencana atau kerangka yang dapat digunakan untuk merancang mekanisme pengajaran yang bermakna. Menurut Westbrook & Rogers (1994), jenis program pembelajaran yang di terapkan mempengaruhi pengembangan kemampuan penalaran siswa. Komponen utama yang secara langsung membentuk model pembelajaran adalah materi subjek yang dibahas, guru pengajar, tahap berpikir siswa sebagai subjek belajar, pendekatan dan metode, serta alat evaluasi yang digunakan (Sutarno,2003).
Model pembelajaran telah mendapatkan perhatian yang besar dikalangan peneliti pendidikan sains pada masa akhir-akhir ini. Model ini memiliki masa depan yang menjanjikan dalam bidang pendidikan sains. Daya tarik dari model konstruktivisme ini adalah pada kesederhanaanya. Menurut Mulyasa (2004:239) Model pembelajaran konstruktivisme memperlihatkan bahwa pembelajaran merupakan proses aktif dalam membuat sebuah pengalaman menjadi masuk akal, dan proses ini sangat dipengaruhi oleh apa yang sudah diketahui orang sebelumnya. Karena itu, dalam setiap kegiatan pembelajaran guru harus memperoleh, atau sampai pada, persamaan pemahaman dengan murid.
Yang terpenting dalam teori konstruktivisme adalah bahwa dalam proses pembelajaran, si belajarlah yang harus mendapatkan penekanan. Merekalah yang harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukan pembelajar atau orang lain. Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif siswa. Belajar lebih diarahkan pada experimental learning yaitu merupakan adaptasi kemanusia berdasarkan pengalaman konkrit di laboratorium diskusi dengan teman sekelas, yang kemudian dijadikan ide dan pengembangan konsep baru (Dina, ).
Implikasi dari pandangan konstruktivisme di sekolah ialah pengetahuan tidak dapat dipindahkan secara utuh dari pikiran guru ke siswa, namun secara aktif dibangun oleh siswa sendiri melalui pengalaman nyata. Dalam belajar sains menurut pandangan konstruktivisme adalah proses konstruktif yang menghendaki partisifasi aktif dari siswa, sehinggga disini peran guru berubah dari sumber dan pemberi informasi menjadi pendiagnosis dan fasilitator belajar siswa (Sutarno,2003).
Menurut Davis (1996), pandangan konstruktivis dalam pembelajaran berorientasi pada: (1) pengetahuan dibangun dalam pikiran melalui proses asimilasi atau akomodasi, (2) dalam pengerjaan, setiap langkah siswa dihadapkan kepada apa, (3) informasi baru harus dikaitkan dengan pengalamannya tentang dunia melalui suatu kerangka logis yang mentransformasikan, mengorganisasikan, dan menginterpretasikan pengalamannya, dan (4) pusat pembelajaran adalah bagaimana siswa berpikir, bukan apa yang mereka katakan atau tulis (---------,2007).
Menurut Drs. Akh. Hidayat (2003) ciri-ciri pembelajaran konstruktivisme adalah keaktifan dan keterlibatan siswa belajar dalam proses upaya belajar sesuai dengan kemampuan, pengetahuan awal dan gaya belajar masing-masing dengan bantuan guru sebagai fasilitator yang membantu warga belajar apabila warga belajar mengalami kesulitan dalam kegiatan belajar (, , , , , 2004).
Belajar menurut model konstruktivis merupakan proses aktif siswa untuk mengkonstruksi pikirannya. Belajar juga merupakan proses mengasimilasikan dan menghubungkan pengalaman pengalaman yang telah dimilikinya. Proses belajar dalam model konstruktivis bercirikan oleh hal-hal sebagai berikut (Suparno, 1997:61).
1. Belajar berarti memberi makna. Makna yang diciptakan oleh siswa berasal dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan dan alami. Konstruksi ini dipengaruhi pengertian yang telah dipunyai.
2. Konstruksi arti adalah proses yang terus menerus. Setiap kali berhadapan dengan fenomena atau persoalan yang baru, akan diadakan rekonstruksi baik secara kuat maupun lemah.
3. Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta melainkan lebih merupakan suatu pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian yang baru. Belajar bukanlah hasil perkembangan melainkan merupakan perkembangan itu sendiri. Suatu perkembangan menuntut penemuan dan pengaturan kembali pemikiran seseorang.
4. Proses belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam keraguan yang merangsang pemikiran lebih lanjut.
5. Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman siswa dengan dunia fisik dan lingkungannya.
6. Hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui siswa mengenai konsep-konsep, tujuan dan motivasi yang mempengaruhi interaksi dengan bahan yang dipelajari.
( Wilantara,2003).

Menurut Hudojo (1998:7-8) ciri-ciri pembelajaran dalam pandangan konstruktivisme adalah sebagai berikut:
1) Menyediakan pengalaman belajar dengan mengkaitkan pengetahuan yang telah dimiliki siswa sedemikian rupa sehingga belajar melalui proses pembentukan pengetahuan.
2) Menyediakan berbagai alternatif pengalaman belajar, tidak semua mengerjakan tugas yang sama, misalnya masalah dapat diselesaikan dengan berbagai cara.
3) Mengintegrasikan pembelajaran dengan situasi yang realistik dan relevan dengan melibatkan pengalaman konkrit, misalnya untuk memahami suatu konsep melalui kenyataan kehidupan sehari-hari.
4) Mengintegrasikan pembelajaran sehingga memungkinkan terjadinya transmisi sosial yaitu terjadinya interaksi dan kerja sama seseorang dengan orang lain atau dengan lingkungannya, misalnya interaksi dan kerjasama antara siswa, guru, dan siswa-siswa.
5) Memanfaatkan berbagai media termasuk komunikasi lisan dan tertulis sehingga pembelajaran menjadi lebih aktif.
6) Melibatkan siswa secara emosional dan sosial sehingga pembelajaran menjadi menarik siswa mau belajar.

Harlen (1992 : 51) mengembangkan model konstruktivisme dalam pembelajaran di kelas. Pengembangan model konstruktivisme tersebut mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:
1. Orientasi dan Elicitasi Ide. Merupakan proses untuk memotivasi siswa dalam mengawali proses pembelajaran. Melalui Elicitasi siswa mengungkapkan idenya dengan berbagai cara.
2. Restrukturisasi ide. Meliputi beberapa tahap yaitu klarifikasi terhadap ide, merombak ide dengan melakukan konflik terhadap situasi yang berlawanan, dan mengkonstruksi dan mengevaluasi ide yang baru.
3. Aplikasi. Menerapkan ide yang telah dipelajari.
4. Review. Mengadakan tinjuan terhadap perubahan ide tersebut
( Wilantara,2003).
Tahapan belajar-mengajar konstruktivisme menurut Mulyasa (2004:243) adalah sebagai berikut
1. Pemanasan-apersepsi
a. Pembelajaran dimulai dengan hal-hal yang diketahui dan dipahami peserta didik.
b. Motivasi peserta didik dengan bahan ajar yang menarik dan berguna bagi peserta didik.
c. Peserta didik didorong agar tertarik untuk mengetahui hal-hal yang baru.
2. Eksplorasi
a. Materi/keterampilan baru dikenalkan
b. Kaitkan materi ini dengan pengetahuan yang sudah ada pada peserta didik.
c. Cari metodologi yang paling tepat dalam meningkatkan penerimaan peserta didik akan materi baru tersebut.

3. Konsolidasi pembelajaran
a. Libatkan peserta didik secara aktif dalam menafsirkan dan memahami materi ajaran baru.
b. Libatkan siswa secara aktif dalam problem solving.
c. Letakkan penekanan pada kaitan structural, yaitu kaitan antara materi ajar yang baru dengan berbagai aspek kegiatan/kehidupan di dalam lingkungan.
d. Cari metodologi yang paling tepat sehingga materi ajar dari dapat terproses menjadi bagian dari pengetahuan peserta didik.
4. Pembentukan sikap dan prilaku
a. Peserta didik didorong untuk menerapkan konsep/pengertian yang dipelajarinya dalam kehidupan sehari-hari.
b. Peserta didik membangun sikap dan perilaku baru dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan pengertian yang dipelarjari.
c. Cari metodologi yang paling tepat agar terjadi perubahan pada sikap dan perilaku peserta didik.
5. Penilaian formatif
a. Kembangkan cara-cara untuk menilai hasil pembelajaran peserta didik.
b. Gunakan hasil penilaian tersebut untuk melihat kelemahan atau kekurangan peserta didik dan masalah-masalah yang dihadapi guru.
c. Cari metodologi yang paling tepat yang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
2.2 Aktivitas belajar siswa
Dalam belajar diperlukan aktivitas, sebab pada prinsipnya belajar adalah berbuat, berbuat untuk mengubah tingkah laku, jadi melakukan kegiatan. Tidak ada belajar kalau tidak ada aktivitas. Itulah sebabnya aktivitas merupakan prinsip atau asas yang sangat penting didalam interaksi belajar mengajar.
Aktivitas belajar menurut Hamalik (2002:34) adalah suatu proses atau kegiatan yang dilakukan untuk mencapai pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap. Oleh karena itu, guru yang bertindak sebagai fasilitator dan mediator dalam pembelajaran hendaknya mampu menciptakan pembelajaran yang dapat mengikut sertakan siswa secara aktif baik indivindu maupun kelompok dalam kegiatan pembelajaran.
Menurut Usman (1995:22) aktivitas belajar murid dapat digolongkan ke dalam beberapa hal:
1. Aktivitas visual (visual activities) seperti membaca, menulis, melakukan eksperimen, dan demonstarsi.
2. Aktivitas lisan (oral activities) seperti bercerita,.membaca sajak, Tanya jawab, diskusi, menyanyi.
3. Aktivitas mendengarkan (listening activities) seperti mendengarkan penjelasan guru, ceramah, pengarahan.
4. Aktivitas gerak (motor activities) seperti senam, menari, atletik, melukis.
5. Aktivitas menulis (writing activities) seperti mengarang, membuat makalah, membuat surat.

Dalam diri masing-masing siswa terdapat �prinsip aktif� yakni keinginan berbuat dan bekerja sendiri. Sehubungan dengan hal tersebut, sistem pembelajaran dewasa ini menekankan pada pendayagunaan asas aktifitas (keaktifan) dalam proses belajaran dan pembelajaran untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Azas aktivitas adalah azas yang mengaktifkan jasmani dan rohani. Azas ini hendaknya guru dalam memberikan setiap pengajaran berusaha membangkitkan aktivitas, baik jasmani maupun rohani kepada murid pada waktu menerima pelajaran. Keaktifan jasmani adalah kegiatan yang nampak bila murid sibuk bekerja seperti melakukan percobaan, membuat konstruksi model dan lain-lain. Sedengkan keaktifan rohani adalah kegiatan yang nampak bila murid sedang mengamati dengan teliti, mengingat memecahkan persoalan dan mengambil kesimpulan (_ _ _ _, 1981:25).
Menurut Hamalik (2003:175) Penggunaan asas aktivitas besar nilainya bagi pengajaran para siswa, oleh karena:
1. Para siswa mencari pengalaman sendiri dan langsung mengalami sendiri.
2. Berbuat sendiri akan mengembangkan seluruh aspek pribadi siswa secara integral.
3. Memupuk kerja sama yang harmonis dikalangan siswa.
4. Para siswa bekerja menurut minat dan kemampuan sendiri.
5. Memupuk disiplin kelas secara wajar dan suasana belajar menjadi demokratis.
6. Mempererat hubungan sekolah dan masyarakat, dan hubungan antara orang tua dengan guru.
7. Pengajaran diselengggarakan secara realistis dan konkret sehingga mengembangkan pemahaman dan berpikir kritis serta menghindarkan verbalistis.
8. Pengajaran disekolah menjadi hidup sebagaimana aktivitas dalam kehidupan di masyarakat.

Jadi dapat disimpulkan bahwa aktivitas belajar dapat membangkitkan minat dan motivasi dalam diri siswa melalui pengalaman langsung tanpa adanya paksaan dari orang lain sehingga belajar akan menjadi lebih bermakna.
Didalam aktivitas belajar siswa, terdapat 6 (enam) indikator pada penilaian aktivitas siswa yang masing-masing indikator terdapat 4 (deskriptor), antara lain sebagai berikut:
1. Kesiapan siswa dalam mengikuti dan menerima materi pelajaran
a. Siswa menyiapkan alat kelengkapan belajarnya
b. Siswa mengikuti arahan yang diberikan oleh guru
c. Siswa menjawab pertanyaan guru mengenai materi yang berhubungan dengan materi yang sedang dipelajari
d. Siswa tidak mengerjakan pelajaran lainnya
2. Interaksi siswa dengan guru
a. Siswa mengajukan pertanyaan kepada guru terkait dengan hal yang belum jelas
b. Siswa mengemukakan pendapatnya jika ada yang perlu disampaikan kepada guru
c. Siswa berusaha menjawab dengan baik pertanyaan guru
d. Siswa berusaha memperbaiki jawaban pertanyaan yang sudah dijawab salah sebelumnya
3. Interaksi siswa dengan siswa
a. Siswa bertanya kepada rekannya yang lebih mampu
b. Siswa menjawab pertanyaan temannya
c. Siswa memperhatikan penjelasaan temannya
d. Siswa mencoba memperbaiki kesalahan temannya dalam mengerjakan soal
4. Kerjasama kelompok
a. Melakukan diskusi bersama anggota kelompoknya
b. Adanya pembagian tugas dalam kelompok
c. Saling membantu antar sesama kelompok
d. Mengerjakan tugas kelompok dengan seksama
5. Keterampilan siswa dalam Eksperimen/demonstrasi
a. Siswa mampu menggunakan alat percobaan dengan benar
b. Siswa melakukan pengukuran dengan benar
c. Siswa mencatat data hasil pengukuran
d. Siswa bertanggung jawab terhadap alat percobaan yang digunakan
6. Partisipasi dalam kegiatan pembelajaran
a. Siswa melakukan observasi demonstrasi/eksperimen
b. Siswa mempresentasikan hasil karya pada teman sekelasnya
c. Siswa menanggapi hasil karya rekannya
d. Siswa mempu menarik kesimpulan dari kegiatan pembelajaran



2.3 Prestasi Belajar
Prestasi belajar merupakan suatu gambaran dari suatu penguasaan kemampuan para peserta didik sebagaimana telah ditetapkan untuk suatu pelajar tertentu. Setiap usaha yang dilakukan dalam kegiatan pembelajaran baik oleh guru sebagai pengajar, maupun oleh peserta didik sebagai pelajar bertujuan untuk mencapai prestasi yang setinggi-tingginya. Prestasi belajar adalah sebuah kata yang terdiri dari dua kata, yakni �prestasi� dan �belajar�.
�Prestasi adalah hasil dari suatu kegiatan yang telah dikerjakan, diciptakan, baik secara individual maupun kelompok�. Prestasi tidak akan pernah dihasilkan selama seseorang tidak melakukan suatu kegiatan (Djamarah, 1994:19).
Belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungan (Ahmadi dan Supriyono, 2004:128).
Prestasi belajar adalah hasil penilaian pendidikan tentang kemajuan siswa setelah melakukan aktivitas belajar. Ini berarti prestasi belajar tidak akan bisa diketahui tanpa dilakukan penilaian atas hasil aktivitas belajar siswa. Fungsi prestasi belajar bukan saja untuk mengetahui sejauhmana kemajuan siswa setelah menyelesaikan suatu aktivitas, tetapi yang lebih penting adalah sebagai alat untuk memotivasi setiap siswa agar lebih giat belajar, baik secara individu maupun kelompok (Djamarah, 1994:24).
Sedangkan Menurut Nurinasari (2004), �Prestasi belajar merupakan suatu gambaran dari penguasaan kemampuan para peserta didik sebagaimana telah ditetapkan untuk suatu pelajaran tertentu�. Setiap usaha yang dilakukan dalam kegiatan pembelajaran baik oleh guru sebagai pengajar, maupun oleh peserta didik sebagai pelajar bertujuan untuk mencapai prestasi yang setinggi-tinginya.
Menurut Ahmadi dan Supriyono (2004:138) prestasi belajar yang dicapai seseorang merupakan hasil interaksi berbagai faktor yang mempengaruhinya baik dari dalam diri (faktor internal) maupun dari luar diri (faktor eksternal) individu.
Yang tergolong faktor internal adalah:
1. Faktor jasmaniah (fisiologi) baik yang bersifat bawaan maupun yang diperoleh. Yang termasuk faktor ini misalnya penglihatan, pendengaran, struktur tubuh, dan sebagainya.
2. Faktor psikologis baik yang bersifat bawaan maupun yang diperoleh terdiri atas:
a. Faktor intelektif yang meliputi :
1. Faktor potensial yaitu kecerdasan dan bakat.
2. Faktor kecakapan nyata yaitu prestasi yang dimiliki.
b. Faktor non-intelektif, yaitu unsur-unsur kepribadian tertentu seperti sikap, kebiasaan, minat, kebutuhan, motivasi, emosi, penyesuaian diri.
3. Faktor kematangan fisik maupun psikis.
Yang tergolong faktor eksternal, ialah:
a. Faktor sosial yang terdiri dari atas:
1. Lingkungan keluarga;
2. Lingkungan sekolah;
3. Lingkungan masyarakat;
4. Lingkungan kelompok;
b. Faktor budaya seperti adat istiadat, ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian.
c. Faktor lingkungan fisik seperti fasilitas rumah, fisilitas belajar dan iklim.
24 Kerangka Berfikir
Prestasi belajar fisika di SMU Negeri 1 Sakra Timur tergolong rendah. Disamping itu metode yang digunakan masih dominan menggunakan metode ekspositori. Peran guru lebih dominan yang menyebabkan keterlibatan siswa atau peran aktif siswa dalam pembelajaran kurang.
Dalam proses belajar mengajar, guru dituntut untuk memiliki kemampuan dan keterampilan dalam memilih dan melaksanakan metode, strategi belajar yang baik dan menentukan pendekatan pembelajaran yang digunakan untuk menyampaikan materi pelajaran yang dapat membuat siswa belajar secara efektif dan efisien sehingga tujuan pengajaran dapat dicapai secara maksimal. Selain itu juga, guru harus kreatif menciptakan proses kegiatan belajar mengajar yang tidak lagi bersifat ekspositori yaitu guru menulis papan ditulis, siswa mengerjakan soal dibuku LKS serta pemberian PR yang sifatnya monoton dan kurang variasi. Namun siswa juga diikut aktifkan dalam kegiatan belajar mengajar sehingga suasana kelas menjadi lebih hidup. Di dalam memilih dan menentukan metode atau model yang digunakan oleh guru akan berdampak pada tinggi rendahnya aktivitas siswa dalam mengikuti proses pembelajaran yang mengakibatkan akan berdampak pula pada prestasi belajar.
Salah satu model pembelajaran yang dapat meningkatkan keterlibatan langsung siswa belajar salah satunya menggunakan model pembelajaran konstruktivisme yang dikemas dalam nuansa yang menarik untuk membangkitkan minat dan membuat siswa lebih aktif dalam belajar. Karena model pembelajaran ini menuntut keterlibatan siswa secara penuh dan aktif belajar. Guru hanya bersifat sebagai fasilitator pembelajaran. Materi pembelajaran terintegrasi, menggunakan pemikiran, pengalaman, dan minat siswa untuk mengarahkan pembelajaran. Siswa terlibat dalam proses pembelajaran, sehingga suasana belajar akan menjadi menarik, karena siswa telah diajak untuk belajar.
Pengajaran yang berasaskan pendekatan Konstruktivisme memberi peluang kapada guru untuk memilih kaedah-kaedah pengajaran dan pembelajaran yang sesuai dan menentukan sendiri yang diperlukan untuk memperoleh sesuatu konsep atau pengetahuan.
Menurut Mulyasa (2004:239), Model pembelajaran konstruktivisme memperlihatkan bahwa pembelajaran merupakan proses aktif dalam membuat sebuah pengalaman menjadi masuk akal, dan proses ini sangat dipengaruhi oleh apa yang sudah diketahui orang sebelumnya. Karena itu, dalam setiap kegiatan pembelajaran guru harus memperoleh, atau sampai pada, persamaan pemahaman dengan murid. Dalam model konstruktivisme, pembelajaran melibatkan negosiasi (pertukaran pikiran) dan interprestasi. Wacana penyesuaian pikiran ini dapat dilakukan antara murid dengan guru, atau antara sesama murid. Karena itu strategi pembelajaran kooperatif (kerjasama) adalah sangat ideal. Dalam model konstruktivisme harus tercipta hubungan kerjasama antara guru dengan murid, atau antara sesama murid.
Dengan demikian untuk mengatasi masalah yang dihadapi di SMU Negeri 1 Sakra Timur akan dicoba diterapkan model pembelajaran konstruktivisme sehingga diharapkan aktivitas siswa dalam proses pembelajaran dapat meningkat yang pada akhirnya nanti berdampak pada prestasi belajar siswa.
2.5 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan uraian kajian teori dan kerangka berfikir di atas, maka hipotesis tindakan penelitian ini adalah �Penerapan model pembelajaran konstruktivisme akan dapat meningkatkan aktivitas dan prestasi belajar fisika siswa kelas X1 semester 2 di SMA Negeri 1 Sakra Timur Tahun Ajaran 2007/2008�











BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (classroom action research), yang pada hakekatnya merupakan bentuk kajian yang dilakukan oleh pelaku tindakan pada saat mengajar di kelas yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas proses belajar mengajar dan memperdalam pemahaman terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan.
3.2 Subyek dan Obyek Penelitian
Subyek penelitian ini adalah siswa kelas X1 semester 2 tahun pelajaran 2007/2008 di SMA Negeri 1 Sakra Timur. Adapun jumlah siswa yang menjadi subyek penelitian ini adalah 41 orang yang terdiri dari 20 orang siswa yang berjenis kelamin laki-laki dan 21 orang siswa yang berjenis kelamin perempuan.
Obyek penelitian ini adalah 1) aktivitas, dan 2) Prestasi terhadap penggunaan model pembelajaran konstruktivisme dengan model demonstrasi.pada pokok bahasan Suhu.
3.3 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan 2008 di SMU Negeri 1 Sakra Timur tahun pelajaran 2006/2007



3.4 Faktor yang Diselidiki
Berdasarkan permasalahan yang dirumuskan ada beberapa faktor yang ingin diselidiki yaitu sebagai berikut:
1. Faktor siswa: dengan melihat peningkatan hasil belajar siswa melalui hasil evaluasi yang diperoleh pada setiap siklus.
2. Faktor pengajar: dengan melihat cara pengajar merencanakan pengajaran dan pelaksanaan pembelajaran di kelas dengan menggunakan model pembelajaran konstruktivisme melalui metode demonstrasi.
3. Proses belajar mengajar: dengan melihat aktivitas siswa dan pengajar selama kegiatan belajar mengajar berlangsung.
3.5 Prosedur Penelitian
Penelitian ini tergolong penelitian tindakan kelas (classroom action research). Oleh karenanya prosedur yang digunakan dalam penelitian ini adalah prosedur penelitian tindakan kelas. Prosedur pelaksanaan penelitian tindakan kelas ini terdiri dari beberapa siklus. Untuk dapat melihat kemampuan siswa dalam belajar, maka pengajar mengumpulkan data hasil tes belajar siswa untuk materi sebelumnya yang berfungsi sebagai evaluasi awal. Sedangkan observasi awal dilakukan untuk dapat mengetahui tindakan yang tepat yang akan diberikan dalam meningkatkan hasil belajar siswa. Adapun tiap siklus itu, akan dilaksanakan sesuai dengan skenario yang telah dibuat dan tiap siklus dibagi menjadi 4 (empat) tahap kegiatan yaitu: perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi dan evaluasi dan refleksi.

Adapun kegiatan tiap tahap untuk masing-masing siklus dirinci sebagai berikut:
1. Perencanaan, kegiatan yang dilakukan pada tahap perencaaan ini adalah:
1. Membuat skenario pembelajaran.
2. Membuat lembar observasi.
3. Merencanakan analisis hasil tes.
2. Pelaksanaan tindakan, dengan langkah-langkah kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah melaksanakan skenario pembelajaran yang telah direncanakan.
Langkah-langkah kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah:
a. Tahap Apersepsi meliputi:
1. Guru menyampaikan materi pelajaran yang akan dipelajari.
2. Guru menyampaikan manfaat mempelajari materi tersebut.
3. Guru mengaitkan materi yang dipelajari dengan materi yang telah dipelajari sebelumnya.
b. Tahap Eksplorasi melliputi:
1. Guru mendemonstarsikan cara kerja alat sebelum siswa melakukan kegiatan eksperimen.
2. Guru memberikan LKS kepada masing-masing kelompok sehingga siswa dihadapkan pada masalah yang tertuang dalam LKS.
3. Guru memberikan kesempatan kepada setiap kelompok untuk berdiskusi.


c. Tahap Diskusi dan Penjelasan konsep meliputi:
1. Memberikan kesempatan kepada setiap perwakilan kelompok untuk mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya.
2. Memberikan kesempatan kepada kelompok lain untuk menanggapi hasil kerja kelompok yang tampil sehingga di temukan suatu konsep.
3. Guru Memberikan kesempatan kepada setiap siswa untuk bertanya maupun menjawab permasalahan yang muncul dari kelompok lain.
d. Tahap Pengembangan dan Aplikasi meliputi:
1. Guru memberikan penegasan, penguatan dan pembenaran terhadap jawaban kelompok yang presentasi.
2. Memberikan kesempatan siswa bertanya.
3. Mengarahkan siswa membuat kesimpulan materi yang telah dipelajari.
4. Memberikan tugas rumah untuk mengerjakan soal latihan yang ada pada buku paket.
4. Observasi dan evaluasi, pada tahap ini dilakukan proses observasi terhadap pelaksanaan tindakan dengan menggunakan lembar observasi yang telah dibuat peneliti, dimana pada tahap ini peneliti diobservasi oleh guru bidang studi tentang pelaksanaan kegiatan belajar mengajar apakah sudah sesuai dengan skenario pembelajaran dan siswa diobservasi oleh observer. Pada akhir siklus dilakukan evaluasi belajar yang dilakukan dengan memberikan tes dalam bentuk obyektif dan subyektif

5. Refleksi, pada tahap ini guru dan peneliti mengkaji pelaksanaan dan hasil yang diperoleh dalam pemberian pada siklus I. Sebagai acuan dalam refleksi ini adalah observasi dan evaluasi. Hasil ini digunakan sebagai dasar memperbaiki serta menyempurnakan perencanaan pada siklus selanjutnya.
Adapun langkah kegiatan yang dilakukan untuk masing-masing siklus II dan III hampir sama seperti siklus I yang terdiri dari 4 tahapan kegiatan yaitu perencanaan, pelaksanakan tindakan, observasi, dan evaluasi serta refleksi, tetapi pada siklus II tahapan-tahapan kegiatan yang dilakukan tergantung pada hasil refleksi siklus I, begitu juga dengan siklus III yang tergantung pada hasil refleksi siklus II.



















3.6 Teknik Pengumpulan Data
Data tentang aktivitas siswa dalam proses belajar mengajar dikumpulkan melalui metode observasi yang berisikan deskriptor-deskriptor dalam indikator yang telah ditentukan. Observasi dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh gambaran secara langsung tentang aktivitas belajar siswa dan aktivitas guru/peneliti selama proses belajar mengajar berlangsung. Dalam hal ini Hasil observasi guru/peneliti dijadikan sebagai masukan bagi guru/peneliti yang bersangkutan untuk lebih meningkatkan kualitas dirinya pada pengajaran selanjutnya.
Instrumen penelitian yang digunakan dalam pengumpulan data aktivitas belajar siswa dan aktivitas guru/peneliti adalah dengan menggunakan lembar observasi yang berisikan deskriptor-deskriptor dalam indikator kegiatan.siswa dan guru/peneliti. Setiap deskriptor yang tampak pada masing-masing indikator selama observasi dicatat pada daftar observasi dengan memberikan nilai sesuai dengan banyaknya deskriptor yang tampak. Skor 4 diberikan jika semua deskriptor yang tampak, skor 3 diberikan jika ada 3 deskriptor yang tampak, skor 2 diberikan jika ada 2 deskriptor yang tampak, skor 1 diberikan jika ada 1 deskriptor yang tampak, skor 0 diberikan jika tidak ada deskriptor yang tampak
Sedangkan pengumpulan data tentang hasil belajar siswa diambil dengan menggunakan instrumen yang berupa tes tertulis yang bersifat obyektif dan subyektif pada tiap siklus. Data hasil belajar siswa digunakan untuk mengetahui peningkatan prestasi belajar siswa.

3.7 instrumen Penelitian
Instrumen yang dipakai dalam penelitian ini berupa tes tertulis yang bersifat obyektif dan subyektif. Namun sebelum dilakukan ujicoba instrumen. Ujicoba instrument dilakukan di SMU Negeri 1 Sakra Timur Kelas II. Uji instrumen ini bertujuan untuk mengetahui baik atau tidaknya butir soal yang diberikan, maka perlu dilakukan analisis butir soal. Menurut Suharmo (1984), tes yang baik adalah tes yang memenuhi syarat: validitas, reabilitas, indeks daya beda, indeks kesukaran, objektifitas, dan kepraktisan.
3.7.1 Validitas
Validitas adalah suatu ketelitian dan ketepatan suatu alat pengukuran, yang bila alat pengukuran tersebut (dalam hal ini tes) dipergunakan untuk mengukur memberikan hasil sesuai dengan besar kecilnya gejala yang diukur. Untuk menghitung validitas item tes digunakan rumus sebagai berikut :

Keterangan:
koefisien korelasi biserial
Mean skor dari subjek-subjek yang menjawab betul item yang dicari korelasinya dengan tes
Mean skor total (skor rata-rata dari seluruh pengikut tes)
Standar deviasi skor total
proposi subjek yang menjawab betul item tersebut

(Arikunto,1998:270)
3.7.2 Reliabilitas
Reliabilitas adalah suatu keajegan (ketetapan/kemantapan) suatu alat pengukuran yang bila alat pengukuran tersebut (dalam hal ini tes) dipergunakan untuk mengukur, selalu memberikan hasil yang ajeg (tetap/mantap). Dalam menentukan reliabilitas tes dapat menggunakan teknik belah dua ganjil atau awal akhir, selanjutnya meng-korelasikan skor belah pertama dan skor belah kedua dengan rumus sebagai berikut:

Keterangan:
Koefisien korelasi antar x dan y
Jumlah subyek
Skor belahan pertama
Skor belahan kedua
(Arikunto, 1998:162)
Oleh karena indeks korelasi yang diproleh baru menunjukkan hubungan antar dua belahan instrumen, maka untuk memproleh indeks reliabilitas tes ke-seluruhan dihitung dengan persamaan Spearman-Brown yaitu:

Keterangan:
= Reabilitas tes
Koefisien korelasi antara x dan y
(Arikunto, 1988:173)
3.7.3 Indeks Daya Beda
Indeks daya beda menunjukkan angka besarnya daya beda. Indeks daya beda suatu tes adalah bagaimana kemampuan tes itu untuk membedakan siswa-siswa yang termasuk kelompok atas atau pandai dengan siswa-siswa yang termasuk kelompok bawah atau kurang. Daya pembeda tes dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

Keterangan:
Daya pembeda
Banyak kelompok atas yang menjawab item itu dengan benar
Banyak kelompok bawah yang menjawab item itu dengan benar
Jumlah peserta kelompok atas
Jumlah peserta kelompok bawah
Proporsi peserta kelompok atas yang menjawab benar
(P = Indeks kesukaran item)
Proporsi peserta kelompok bawah yang menjawab benar (Arikunto , 1999:88)
Adapun ketentuan indeks daya beda yaitu: (Suharmo:1984)
1. 0,00 = D = 0,20 : jelek
2. 0,21 = D = 0,40 : cukup
3. 0,41 = D = 0,70 : baik
4. 0,71 = D = 1,00 : baik sekali.
3.7.4 Indeks Kesukaran Soal
Indeks kesukaran soal ialah bilangan yang menyatakan mudah dan kesukaran suatu tes. Soal yang baik adalah soal yang tidak terlalu mudah atau tidak terlalu sukar. Untuk menghitung indeks kesukaran soal suatu tes di-pergunakan rumus:

Keterangan :
TK = Indeks tingkat kesukaran soal
U = Jumlah siswa kelompok atas yang menjawab benar
L = jumlah siswa kelompok bawah yang menjawab benar
T = Jumlah siswa seluruhnya
(Purwanto :1990)


Menurut ketentuan yang sering diikuti, indeks kesukaran item di klasifikasikan sebagai berikut :
Soal dengan 0,00 = P = 0,30 adalah soal sukar
Soal dengan 0,31 = P = 0,70 adalah soal sedang
Soal dengan 0,71 = P = 1,00 adalah soal mudah
(Purwanto:1990)
3.7.5 Objektivitas
Obyektif berarti tidak adanya unsur pribadi yang mempengaruhi. Sebuah tes dikatakan memiliki obyektivitas apabila dalam melaksanakan tes itu tidak ada faktor subyektif yang mempengaruhi. Hal ini terutama terjadi pada system skoringnya. Objektivitas suatu tes ditentukan oleh tingkat atau kwalitas kesamaan skor- skor yang dipropleh dengan tes tersebut, meskipun hasil tes itu dinilai oleh beberapa orang penilai.
3.7.6 Praktikabilitas
Suatu tes dikatakan mempunyai kepraktisan yang tinggi, apabila tes tersebut bersifat praktis yaitu : 1) Mudah dilaksanakan. 2) Mudah pe-meriksaannya. 3) Mempunyai petunjuk yang jelas.





3.8 Teknik Analisis Data
1. Aktivitas Belajar Siswa
Peningkatan aktivitas belajar siswa dapat diketahui melalui observasi terhadap perilaku siswa selama mengikuti proses pembelajaran dengan lembar observasi yang terdiri dari indikator-indikator dengan beberapa deskriptor.
Data aktifitas belajar siswa dianalisis dengan cara sebagai berikut:
a. Menentukan skor untuk tiap indikator aktivitas siswa pada penelitian ini peneliannya mengikuti aturan berikut: Skor 4 diberikan jika semua diskriptor nampak, skor 3 diberikan jika 3 deskriptor nampak, skor 2 diberikan jika 2 deskriptor nampak, skor 1 diberikan jika 1 deskriptor nampak, dan skor 0 diberikan jika tidak ada deskriptor nampak.
b. Menghitung Aktivitas belajar siswa dengan rumus:

Keterangan: A = Rata-rata skor aktivitas belajar siswa
S = Total skor = Jumlah skor yang diperoleh oleh siswa
n = Banyak siswa
i = Banyak item
c. Menentukan Mi rerata (Mean) ideal dan SDi simpangan baku ideal dengan rumus sebagai berikut:
(Skor tertinggi + Skor terendah)
(Skor tertinggi � Skor terendah)
Keterangan: Mi = Rerata(Mean Ideal)
SDi = Standar depiasi ideal
Sehingga
Untuk menentukan kriteria aktivitas siswa, dianalisis secara diskriptif kualitatif dengan menggunakan skor skala 1-5, sehingga diperoleh skor maksimal ideal (SMI) adalah skor maksimalnya 4 dikalikan dengan jumlah item aktivitas siswa yang dinilai.
Kualifikasi aktivitas belajar siswa ditentukan berdasarkan pedoman konversi seperti pada tabel 3.1 berikut:
Interval Nilai Kriteria

30,00
Sangat aktif


Aktif


Cukup aktif


Kurang aktif


Sangat kurang aktif
(Nurkencana, 1992)




2. Prestasi Belajar Siswa
Data prestasi belajar fisika yang diperoleh siswa dianalisis dengan mencari ketuntasan belajar dan rata-rata kelas. Sedangkan kualifikasi prestasi belajar siswa diperoleh dengan pedoman konversi seperti pada table 3.3 berikut:
Tabel 3.2 Pedoman Konversi Skor Prestasi Belajar Siswa
NO SKOR KATEGORI
1 85-100 Sangat Baik
2 70-84 Baik
3 55-69 Cukup
4 40-54 Kurang
5 0-39 Sangat Kurang
(Depdikbud,1995)
Untuk mengetahui ketuntasan belajar siswa pada pembelajaran yang dicapai pada tiap siklus, digunakan rumus sebagai berikut:
a. Menentukan nilai rata-rata kelas

Keterangan: R = Nilai rata-rata kelas
SX = Jumlah nilai yang diperoleh siswa
N = Jumlah siswa yang ikut tes (Sudjana,1992)
Prestasi belajar siswa dikatakan meningkat apabila terdapat peningkatan rata-rata nilai dari rata-rata sebelumnya.



b. Menentukan ketuntasan individual
Untuk mengetahui ketuntasan belajar siswa, data dianalisis dengan rumus:

Keterangan: KK = Ketuntasan Klasikal
X = Jumlah Siswa yang memperoleh nilai
Z = Jumlah siswa yang ikut tes. (Sudjana,1992)

Kelas dapat dikatakan tuntas secara klasikal terhadap materi pelajaran yang diajarkan jika ketuntasan klasikal mencapai 85 %.












DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu dan Supriyono, Widodo. 2004.Psikologi Belajar (Edisi Revisi). Jakarta: PT Rineka Cipta.

Azhar, M. 1993. Proses Belajar Mengajar Pola CBSA. Surabaya: Usaha Nasional.
Depdikbud. 1995. Garis-Garis Besar Program Pengajaran (GBPP). Suplemen 1999: Jakarta.

Djamarah, Syaiful. 1994. Prestasi Belajar Dan Kompetensi Guru. Surabaya: Usaha Nasional.

Djamarah, Syaiful dan Zain, Aswan. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Ghozali, Abbas. 2003. Jurnal Pendidikan Dan Kebudayaan. http://www.depdiknas.go.id/jurnal/40/editorial 40.html

Hamalik, Oemar. 2003. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Karso, dkk. 1993. Dasar-Dasar Pendidikan MIPA. Jakarta: Universitas Terbuka, Depdikbud.

Mulyasa, E. 2004. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset.

Nurkencana dan Sumartama. 2001. Evaluasi Hasil Belajar. Surabaya: Usaha Nasional.

Nurinasari, Betha. 2004. Sistem Pembelajaran KBK Terhadap Motivasi Belajar Para Peserta Didik Pada Bidang Studi Fisika. http: // artikel.us/art 05-07.html.

Sudjana. 1992. Metode Statistik. Bandung: Tarsito.

Syah, Muhibbin. 1999. Psikologi Belajar. Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu.

Syah, Muhibin. 2005. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset.

_ _ _ _ . 1981. Pengantar Didaktik Metodik Kurikulum PBM. Jakarta: C.V. Rajawali.

Usman, Uzer. 2006. Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Yulaelawati, Ella. 2004. Kurikulum Dan Pembelajaran Filosofi Teori Dan Aplikasi. Bandung: Pakar Raya.

Jumat, 27 Mei 2011

Pemanfaatan Kit sederhana Untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Fisika Siswa

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Mata pelajaran fisika yang merupakan bagian dari rumpun sains saat ini pembelajarannya belum dapat berjalan dengan semestinya. Hal ini disebabkan karena konsep fisika sering disampaikan oleh guru sebagai sebuah fakta dan bukan merupakan sebagai gejala alam yang harus diamati, diukur dan didiskusikan. Menurut Priyono (2004) dalam Kunandar (2007), �bekal kecakapan yang diperoleh dari lembaga pendidikan tidak memadai untuk dipergunakan secara mandiri, karena yang dipelajari di lembaga pendidikan sering kali hanya terpaku pada teori, sehingga peserta didik kurang inovatif dan kreatif�.Mata pelajaran fisika
sebenarnya dapat digunakan untuk mengembangkan kemampuan siswa baik aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Namun dari hasil ujian tengah semester untuk mata pelajaran fisika di SMA Negeri 1 Terara kelas X tahun ajaran 2008/2009 sebagian besar siswa memiliki nilai yang tergolong dalam kategori sangat rendah. Hasil ujian tengah semester kelas X SMA Negeri 1 Terara pada mata pelajaran fisika sebagai berikut:
Tabel 1.1Nilai MID semester fisika kelas X SMA Negeri 1 Terara
tahun 2008/2009
Nilai X 1 X 2 X 3 X 4 X 5 X 6
Tertinggi 75 66,67 75 41,67 58,33 75
Terendah 0 8,33 16,67 0 8,33 16,67
Rerata 38,02 39,85 40,33 25 32,58 43,38
(sumber SMA Negeri 1 Terara)
Dari kondisi diatas, peningkatan kualitas pendidikan dan mutu pembelajaran di SMA telah diupayakan antara lain melalui pendekatan yang berpusat pada siswa (Student Center), dimana siswa berperan sebagai subyek didik dan bukan sebagai obyek. Fokus program sekolah bukan pada guru dan yang akan dikerjakannya, melainkan pada siswa dan yang akan dikerjakannya sehingga siswa itu sendiri yang mengalami proses belajar. Selain itu juga di SMA Negeri 1 Terara sudah diupayakan mulai diterapkannya sistem pembelajaran dengan mengggunakan sistem kelas berjalan yang terdiri dari beberapa siswa yang disebut dengan rombongan belajar.
Namun kegiatan belajar mengajar akan lebih bermakna dan berkesan jika siswa itu sendiri yang terlibat secara langsung dengan menggunakan seluruh indera yang dimilikinya. Dengan mendengar, melihat, merasakan, dan mengamati secara langsung siswa akan mengalami internalisasi konsep-konsep fisika secara mendalam dan menyeluruh. Lebih-lebih lagi melalui kegiatan percobaan yang kreatif dan menyenangkan, maka siswa akan merasa antusias dan temonivasi mengikuti kegiatan pembelajaran.
Agar hal tersebut dapat terealisasi, maka diperlukan alat atau bahan yang dapat menanamkan konsep fisika siswa SMA seperti sebuah Kit Fisika. Namun dari hasil survei, sebagian besar SMA di Lombok Timur tidak memiliki lab yang menunjang. Ini berarti secara otomatis sebagian beasar SMA dilombok timur tidak memiliki sebuah Kit atau alat-alat yang menunjang kegiatan percobaan-percobaan fisika. Hal ini disebabkan karena untuk pengadaan sebuah Kit diperlukan biaya tinggi. Oleh sebab itu diperlukan suatu solusi sebagai pengganti Kit tersebut yang dapat menanamkan konsep-konsep yang sama. Alat dan bahan-bahan sederhana yang terdapat dilingkungan dapat dirangkai dan dirakit menjadi sebuah Kit sederhana yang nantinya memiliki fungsi sama. Oleh sebab itu peneliti tertarik melakukan penelitian dengan judul �Pemanfaatan Kit sederhana Untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Fisika Siswa� .
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka dapat dirumuskan permasalahannya sebagai berikut:
1. Bagaimanakah desain Kit sederhana yang menanamkan konsep-konsep fisika?
2. Apakah pemanfaatan Kit sederhana berpengaruh terhadap peningkatan prestasi belajar fisika siswa?
3. Bagaimanakah respon siswa di SMAN 1 Terara terhadap pemanfaatan Kit sederhana yang menanamkan konsep fisika?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Membuat Kit sederhana yang menanamkan konsep-konsep fisika.
2. Untuk mengetahui pengaruh pemanfaatan Kit sederhana terhadap prestasi belajar fisika siswa.
3. Untuk mengetahui respon siswa SMAN 1 Terara terhadap pemanfaatan Kit sederhana yang menanamkan konsep fisika


D. Batasan Masalah
Untuk mempersempit permasalahan dalam penelitian ini, maka peneliti memberikan batasan sebagai berikut:
1. Penelitian ini dilakukan di SMAN 1 Terara kelas X Tahun ajaran 2008/2009.
2. Pokok bahasan yang diambil dalam penelitian ini adalah optik geometrik yang mengacu pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
3. Aspek prestasi belajar siswa yang dinilai adalah academic skill.
E. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagi Siswa
Pemanfaatan Kit sederhana ini dapat membantu siswa untuk memahami konsep-konsep fisika secara nyata, dan menumbuhkembangkan sikap ilmiah yang nantinya dapat meningkatkan prestasi belajar fisika siswa.
2. Bagi Guru
Memberikan pengetahuan pada guru sekaligus menumbuhkembangkan sikap kreatif dan inovatif dalam proses pembelajaran fisika di kelas.
3. Bagi Mahasiswa
Memberikan pengetahuan dan pengalaman tersendiri bagi penulis tentang penyusunan karya ilmiah.

F. Definisi Operasional
1. Kit sederhana adalah sebuah kotak yang berisi seperangkat alat-alat IPA(fisika) yang mudah dikemas dan dibawa kedalam kelas saat diadakan percobaan atau kegiatan mengajar yang bahan dasarnya mudah diperoleh dan harganya murah, cara pembuatannya mudah, dan penggunaanya tidak sulit.
2. Prestasi belajar adalah hasil usaha yang telah dicapai setelah melakukan kegiatan belajar yang dinyatakan dalam bentuk angka atau simbol.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Deskripsi Teori
1. Tinjauan Tentang Kit Fisika
Untuk mencapai suatu tujuan yang diharapkan dilembaga pendidikan sangatlah sukar tanpa menggunakan sebuah alat. Oleh karena itu siapapun yang menerjunkan dirinya ke dunia pendidikan perlu memperhatikan asfek ini bila ingin menjadi guru yang berhasil dan profesional. Djamarah (2005), menyatakan bahwa alat diartikan sebagai apa saja yang dapat dijadikan sebagai prantara untuk mencapai tujuan pendidikan.
Wens Tanlainm dkk (1989) dalam Djamarah (2005) mengatakan bahwa perbuatan mendidik berlangsung dengan alat pendidikan. Alat pendidikan merupakan faktor pendidikan yang sengaja dibuat dan digunakan demi mencapai tujuan pendidikan tertentu. Sedangkan faktor-faktor pendidik lainnya seperti guru, anak didik, tujuan, dan lingkungan dapat menjadi alat pendidikan bilamana digunakan dan direncanakan dalam perbuatan atau tindakan mendidik.
Kaitannya dengan alat pendidikan, kit merupakan salah satu alat pendidikan yang tergolong sebagai salah satu bentuk alat peraga dalam proses belajar mengajar Fisika. Alat peraga dalam kegiatan belajar mengajar Fisika sangat besar peranannya bagi siswa, karena alat peraga dapat menyeragamkan pengertian dan pemahaman siswa terhadap suatu konsep fisika ataupun materi pelajaran yang disajikan guru.
Menurut Soelarko (1995) dalam Awan (2008), bahwa �alat peraga adalah tiap-tiap benda yang dapat menjelaskan suatu ide, prinsip, gejala atau hukum alam yang dapat memvisualisasikan sesuatu yang tidak dapat dilihat atau sukar dilihat, hingga nampak jelas dan dapat menimbulkan pengertian atau meningkatkan persepsi seseorang�. Kristanto (2007), �dalam bahasa inggris alat peraga disebut visual aid atau alat bantu untuk penglihatan mata. Tetapi alat peraga yang baik tidak hanya merangsang mata saja , tetapi juga keempat indera yang lainnya�. Penggunaan alat peraga merupakan bagian yang terintegral dari keseluruhan situasi mengajar. Alat peraga dalam pengajaran lebih diutamakan untuk mempercepat proses belajar mengajar dan membantu siswa dalam menangkap pengertian yang diberikan guru sehingga penggunaan alat peraga dalam pengajaran diutamakan untuk mempertinggi mutu belajar mengajar (Awan, 2008).
Dari beberapa uraian definisi alat peraga diatas dapat ditarik pendekatan mengenai kit. Dalam Webster�s New Colligiate Dictionery dijelaskan bahwa Kit is a box, bag in wich such a kit is carried (Webster, 1953). Jadi Kit fisika merupakan sebuah kotak yang berisi seperangkat alat-alat fisika yang mudah dikemas dan dapat dibawa ke dalam kelas saat diadakan percobaan atau kegiatan mengajar fisika.
Dengan memanfaatkan Kit yang tersedia maka siswa dapat melatakkan dasar-dasar yang nyata untuk berfikir, yang nantinya dapat mengurangi terjadinya verbalisme. Lebih-lebih lagi dengan memanfaatkan Kit sederhana yang terbuat dari bahan-bahan yang mudah didapatkan dilingkungan sekitar yang dapat menanamkan konsep-konsep Fisika yang sama. Selain mengurangi terjadinya verbalisme, penggunaan Kit akan memberikan manfaat yang cukup besar kepada siswa karena siswa dapat berhadapan dengan peralatan secara lansung dan berbuat. Berikut disajikan beberapa gambar bentuk-bentuk kit:






a b





c
Gambar 2.1. beberapa jenis Kit fisika :(a) Kit optik, (b) Kit mekanika,
(c) Kit suhu dan kalor



2. Tinjauan Tentang Model Pembelajaran
Model pembelajaran merupakan salah satu cara yang dipergunakan dalam mengadakan hubungan dengan siswa pada saat berlangsungnya pembelajaran, oleh karena itu peranan model pembelajaran sebagai alat untuk menciptakan proses belajar mengajar. Suatu model mengajar dapat diartiakan sebagai suatu rencana atau pola yan digunakan dalam menyusun kurikulum, mengatur materi pengajaran dan memberi petunjuk kepada pengajar dikelas dalam setting pengajaran atau setting lainnya (Dahlan, 1984).
Menurut PPPG (2006), model adalah bentuk representasi akurat, sebagai proses aktual yang memungkinkan seseorang atau sekelompok orang mencoba bertindak berdasarkan model itu. Pengertian model pembelajaran dalam konteks ini merupakan landasan praktik pembelajaran hasil penurunan teori psikologi pendidikan dan teori belajar yang dirancang berdasarkan proses analisis yang diarahkan pada implementasi kurikulum dan implikasinya pada tingkat operasional di depan kelas.
Winataputra (2003), menyatakan �istilah model diartikan sebagai strategi kerangka konsep sebagai pedoman dalam melakukan suatu kegiatan�. Menurut Depdiknas (2004), model merupakan suatu konsep untuk mengajar suatu materi dalam mencapai tujuan tertentu. Sedangkan menurut Suherman (1992), model diartikan sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan suatu kegiatan.
Dari beberapa uraian diatas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran merupakan kerangka konsep sebagai pedoman dalam mengatur materi pelajaran untuk mencapai tujuan tertentu.
Istilah model pembelajaran mempunyai empat ciri khusus yang tidak dimiliki oleh strategi atau metode tertentu yaitu: rasional teoritik yang logis yang disusun oleh penciptanya, tujuan pembelajran yang akan dicapai, tingkah laku mengajar yang diperlukan agar model tersebut dapat dilaksanakan secara berhasil, dan lingkunagan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran itu dapat tercapai (Ismail, 2003).
Menurut Joice dan Weil dalam Winataputra (1992), model mengajar memiliki beberapa unsur. Unsur-unsur tersebut adalah sintaks, sistem sosial, prinsip reaksi, sistem pendukung, dampak intruktusional, dan pengiring. Sintaks merupakan tahapan-tahapan atau urutan kegiatan dari model itu, sedangkan sistem sosial merupakan situasi, norma, suasana yang berlaku dalam model tersebut. Prinsip reaksi adalah suatu pola kegiatan yang menggambarkan bagaimana seharusnya guru melihat dan memperlakukan siswa, termasuk bagaimana memberikan respon terhadap siswa. Sistem pendukung merupakan semua sarana dan alat yang dibutuhkan untuk melaksanakan model tersebut. Dampak instruktusional merupakan hasil belajar yang dicapai langsung dengan cara mengarahkan siswa pada tujuan yang hendak diharapkan, dan hasil belajar lainnya yang dihasilkan oleh suatu proses belajar mengajar sebagai akibat tanpa pengarahan langsung dari guru disebut dengan pengiring.
3. Tinjauan Tentang Prestasi
Prestasi belajar merupakan suatu gambaran dari penguasaan kemampuan para peserta didik sebagaimana telah ditetapkan untuk suatu pelajaran tertentu. Prestasi belajar dinyatakan dengan skor hasil tes atau angka yang diberikan guru berdasarkan pengamatannya belaka atau keduanya yaitu hasil tes serta pengamatan guru pada waktu peserta didik melakukan diskusi kelompok (Sari, 2004).
Arikunto (2006), �prestasi adalah hasil usaha kegiatan yang mencerminkan tingkatan-tingkatan siswa sejauh mana telah dapat mencapai tujuan yang dinyatakan dalam bentuk simbol. Simbol digunakan untuk menyatakan nilai, baik huruf maupun angka. Unsur pertimbangan atau kebijaksanaan tentang usaha dan tingkah laku siswa tidak dibicarakan dalam nilai tersebut�. Menurut W.J.S. Purwadarminta dalam Djamarah (1994), berpendapat bahwa �prestasi adalah hasil yang telah dicapai (dilakukan, dikerjakan dan sebagainya)�.
Dari dua pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa prestasi merupakan hasil yang diperoleh setelah melakukan kegiatan dalam waktu tertentu yang dinyatakan dalam bentuk simbol, angka, hurup atau kalimat.
Prestasi belajar bukan sesuatu yang dapat berdiri sendiri, tetapi merupakan kombinasi antara beberapa faktor yang melatarbelakanginya. Menurut Admin (2004), faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar antara lain:

a. Pengaruh pendidikan dan pembelajaran unggul
Seorang secara genetis telah lahir dengan suatu organisme yang disebut dengan intelegensi yang bersumber dari otaknya. Struktur otak telah ditentukan secara genetis, namun berfungsinya otak tersebut menjadi kemampuan umum yang disebut intelegensi, sangat dipengaruhi oleh interaksi dengan lingkungan.
b. Perkembangan dan pengukuran otak
Cara penggunaan sistem kompleks dari proses pengelolaan otak sangat menentukan intelegensi maupun kepribadian dan kualitas kehidupan yang dialami seorang manusia, serta kualitas manusia itu sendiri.
c. Kecerdasan (intelegensi) emosional.
Emosi selain mengandung perasaan yang dihayati seseorang, juga mengandung kemampuan mengetahui (menyadari) tentang perasaan yang dihayati dan kemampuan bertindak terhadap perasaan itu. Bahkan pada hakekatnya emosi itu adalah impuls untuk bertndak.
4. Tinjauan Tentang Fisika
Mata pelajaran fisika merupakan salah satu mata pelajaran dalam rumpun sains yang mengembangkan kemampuan berpikir analitis, induktif, dan deduktif dalam menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan alam sekitar, baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif dengan menggunakan matematika. Serta dapat mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan sikap percaya diri (Depdiknas, 2003).
Sebagai salah satu cabang dari sains, maka karakteristik sains juga merupakan karakterisrik pelajaran fisika, dapat ditandai sebagai berikut:
a. Fisika merupakan kumpulan ilmu pengetahuan yang terdiri dari fakta-fakta, konsep, prinsip, hukum dan teori tentang gejala alam.
b. Fisika merupakan kegiatan keilmuan berupa pemikiran, penelitian, obsevasi dan eksperimen. Melalui observasi dapat dipahami konsep fisika secara tepat.
c. Fisika selau bersifat progresif dan komulatif. Bersifat progresif maksudnya selalu berkembang maju ke arah yang lebh sempurna, bersifat komulatif maksudnya setiap penemuan selalu berdasarkan penemuan sebelumnya.
Berdasarkan karakteristik fisika diatas, maka fisika harus dipelajari atau dipahami melalui kegiatan empirik. Itulah sebabnya fisika merupakan ilmu yang lahir dan berkembang melalui langkah observasi, perumusan masalah, penyusunan hipotesis melalui eksperimen dan penemuan teori atau konsep-konsep (Memes, 1990).
Dalam kamus fisika Isaacs (1994), fisika merupakan ilmu yang mempelajari hukum-hukum yang menentukan struktur alam semesta dengan mengacu pada materi dan energi yang dikandungnya. Fisika mempelajari bukan mengenai perubahan kimiawi yang terjadi namun mengenai gaya-gaya yang ada antara benda-benda dan hubungan timbal balik antara materi dan energi. Menurut tradisi, fisika dibagi menjadi beberapa bidang yang terpisah: panas, cahaya, bunyi, listrik magnet, dan mekanika. Menurut Gem (1998), Fisika merupakan ilmu yang mempelajari benda dan energi serta bagaimana mereka saling mempengaruhi.
Sedangkan menurut Sari (2004), �Fisika merupakan bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), yaitu suatu ilmu yang mempelajari gejala dan pristiwa atau fenomena alam serta berusaha untuk mengungkap segala rahasia dan hukum semesta �.
5. Tinjauan tentang Pokok Bahasan Optik Geometrik
Optik geometrik adalah cabang dari ilmu yang mempelajari tentang cahaya yang berkaitan dengan bayangan, bagaimana proses terbentuknya bayangan dan bagaimana cara memanipulasi bayangan. Optik geometrik memerlukan cahaya sebagai sinar-sinar cahaya, sehingga pembahasan dengan perumusan sifat pemantulan dan pembiasan cahaya benar-benar dapat dijelaskan berdasarkan hukum-hukum geometris (Anonim, 2008). Menurut Hadiat (2004), �Optik geometik merupakan bagian optika yang menyangkut hal-hal yang berhubungan dengan pemantulan dan pembiasan cahaya dan mengangap bahwa cahaya merambat lurus. Penjelasan-penjelasan terutama didasarkan atas ilmu ukur (geometri). Hakikat cahaya dan sifat gelombang cahaya tidak ditinjau�.
Sedangkan dalam kamus fisika Wilardjo (1997), �optik geometrik adalah cabang fisika yang memperlakukan cahaya seolah-olah terdiri atas berkas yang menyebar dalam lintasan-lintasan lurus ke berbagai arah dari sumber dan secara tiba-tiba dibelokkan oleh pembiasan atau dibalikkan oleh pemantulan ke lintasan-lintasan tertentu, mengikuti hukum-hukum yang telah diketahui�.
Pada mata pelajaran fisika kelas X, pokok bahasan optik geometri meliputi subpokok bahasan yaitu pemantulan cahaya, pembiasan cahaya, peralatan optik. Subpokok pemantulan cahaya meliputi jenis dan hukum pemantulan, pemantulan pada cermin datar, pemantulan pada cermin lengkung, pemantulan pada cermin cekung, pemantulan pada cermin cembung. Pada subpokok pembiasan cahaya meiliputi hukum pembiasan, pemantulan sempurna, pembiasan pada lensa. Sedangkan pada subpokok peralatan optik meliputi mata, kamera, lup, mikroskop, teropong (Kanginan, 2007).
B. Hipotesis
Dari beberapa uraian tinjauan pustaka di atas, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
1. Hipotesis nol (Ho): tidak ada pengaruh pemanfaatan kit sederhana terhadap peningkatan prestasi belajar fisika siswa di SMA 1 Terara Tahun Ajaran 2008/2009.
2. Hipotesis altenatif (Ha): ada pengaruh pemanfaatan kit sederhana terhadap peningkatan prestasi belajar fisika siswa di SMA 1 Terara Tahun Ajaran 2008/2009
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Penelitian yang dilakukan adalah penelitian tindakan kelas yang terdiri dari beberapa siklus yang masing-masing siklus meliputi tahapan-tahapan yaitu: perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi.
B. Waktu dan Tempat Penelitian
1. Waktu penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan november 2008 sampai dengan bulan januari 2009 yang meliputi dua tahap yaitu:
2. Tempat penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kelas X SMA Negeri 1 Terara Tahun Ajaran 2008/2009
C. Variabel Penelitian
Dalam penelitian ini ada 2 variabel yaitu: variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah kit sederhana. Sedangkan variabel terikat dalam peneltian ini adalah prestasi belajar fisika siswa.
D. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X SMA Negeri 1 Terara tahun ajaran 2008/2009 yang terdiri dari 6 kelas. Teknik pengambilan sampel adalah secara acak. Dalam penelitian ini yang menjadi sampel adalah kelas___
E. Prosedur Penelitian
Langkah-langkah yang dilakukan dalam tahap perlakuan mengikuti tahapan-tahapan tindakan kelasbdalam 3 siklus sebagai berikut:
a. Siklus I
? Perencanaan
Dalam perencanaan ini dilakukan kegiatan-kegiatan: merancang kit sederhana, menganalisis materi, menentukan pokok bahasan yang akan diberikan kepada siswa, merancang percobaan fisika, merancang model pembelajaran yang memanfaatkan kit sederhana, menyusun lembar observasi, angket dan tes hasil belajar.
? Tindakan
Pada tahapan ini dilakukan kegiatan pembelajaran yang memanfaatkan kit sederhana yang telah dibuat.
? Observasi
Kegiatan observasi dilakukan untuk mengetahui aktivitas kegiatan pembelajaran yang sesuai dengan model pembelajaran yang memanfaatkn kit sederhana.
? Refleksi
Pada tahap ini peneliti mengkaji temuan selama kegiatan perencanaan, tindakan, dan observasi serta mengevaluasi hasil belajar dengan maksud untuk mengetahui kualitas model pembelajaran dengan memanfaatkan kit sederhana sebagai langkah lebih lanjut untuk melakukan revisi pada siklus berikutnya.
b. Siklus II
? Perencanaan
Berdasarkan data yang diperoleh dari siklus I, peneliti memperbaiki model pembelajaran dengan menyusun langkah-langkah yang tepat untuk pembelajaran dengan
? Tindakan

? Observasi
? Refleksi
c. Siklus III
? Perencanaan
? Tindakan
? Observasi
? Refleksi
F. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan tes dan angket. Tes digunakan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan prestasi belajar fisika siswa. Sedangkan angket digunakan untuk memperoleh informasi respon siswa terhadap perlakuan pembelajaran dengan memanfaatkan kit sederhana.
G. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian sangat menentukan berhasil atau tidaknya suatu penelitian, dimana dalam penelitian ini digunakan tes. Arikunto (2002), menyatakan bahwa baik-buruknya suatu tes dapat dilihat dari beberapa kriteria yaitu validitas (kesahihan), reliabel (dapat dipercaya), tingkat kesukaran, dan daya beda.
Dalam penelitian ini tes diberikan setelah diterapkannya pembelajaran yang memamanfaatkan kit sederhana pada siswa yang menjadi sampel. Sebelum tes diberikan terlebih dahulu dilakukan pengujian yang meliputi uji validitas, uji reliabilitas, uji tingkat kesukaran dan uji daya beda sebagai berikut:
1. Validitas butir soal atau validitas item
Suatu instrumen atau alat untuk mengevaluasi harus dapat memberikan hasil sesuai dengan keadaan yang dievaluasinya atau disebut dengan valid. Arikunto (2006), menyatakan bahwa untuk menentukan validitas butir soal digunakan rumus korelasi point biserial sebagai berikut :
(3.1)
Keterangan:
rpbi = koefisien korelasi point biserial
Mp = rata-rata skor siswa yang menjawab benar
Mt = rata-rata skor total
St = standar deviasi skor total
p = proporsi siswa yang menjawab benar
p =

q = proporsi siswa yang menjawab salah (q = 1 � p)

Nilai rpbi akan dikonsultasikan dengan tabel r product moment kriteria pengujian yaitu:
a jika rpbi > rtabel maka soal dikatakan valid
b jika rpbi < rtabel maka soal dikatakan tidak valid 2. Reliabilitas butir soal Suatu tes yang baik harus memiliki kepercayaan yang tinggi atau disebut reliabel. Tes dikatakan mempunyai reliabel yang tinngi jika tes tersebut memberikan hasil yang tetap untuk beberapa kali pengukuran bila mengukur objek yang sama. Untuk menentukan reliabilitas butir soal digunakan rumus KR-20 sebagai berikut (Arikunto, 2006): (3.2) Keterangan: r11 = reliabilitas butir soal secara keseluruhan p = proporsi siswa yang menjawab soal dengan benar q = proporsi siswa yang menjawab soal dengan salah Spq = jumlah hasil perkalian antara p dan q n = banyaknya soal S = standar deviasi dari tes Suatu soal akan reliabel jika r11 = rtabel dan soal dikatakan tidak reliabel apabila r11 = rtabel. Berikut ini adalah tabel kriteria untuk reliabilitas butir soal: Tabel 3.1: Kriteria Nilai Reliabilitas No Nilai Kategori 1 2 3 4 5 0,80 � 1,00 0,60 � 0,80 0,40 � 0,60 0,20 � 0,40 0,00 � 0,20 Sangat tinggi Tinggi Cukup tinggi Rendah Sangat rendah (Arikunto, 2006) 3. Tingkat kesukaran soal Menurut Arikunto (2006), soal yang baik adalah soal yang tidak terlalu mudah dan tidak terlalu sukar. Soal yang terlalu mudah tidak merangsang siswa untuk mempertinggi usaha memecahkannya. Sebaliknya soal yang terlalu sukar akan menyebabkan siswa menjadi putus asa dan tidak mempunyai semangat untuk mencoba lagi karena diluar jangkauannya. Untuk menentukan taraf kesukaran soal digunakan rumus sebagai berikut : (3.3) Keterangan: P = indeks kesukaran JS = jumlah seluruh siswa peserta tes B = banyaknya siswa yang menjawab tes dengan benar Berikut ini adalah tabel klasifikasi indeks kesukaran soal. Tabel 3.2: Klasifikasi indeks kesukaran soal No Nilai Kategori 1 2 3 0,00 � 0,30 0,30 � 0,70 0,70 � 1,00 Sukar Sedang Mudah (Arikunto, 2006) 4. Daya beda soal Menurut Arikunto (2006), �daya beda soal merupakan kemampuan suatu soal untuk membedakan siswa yang berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan rendah�. Rumus untuk menentukan daya beda soal (D) sebagai berikut: (3.4) Keterangan: JA = banyaknya peserta kelompok atas JB = banyaknya peserta kelompok bawah BA = banyaknya peserta kelompok atas yang menjawab benar BB = banyaknya peserta kelompok bawah yang menjawab benar PA = proporsi peserta kelompok atas yang menjawab benar PB = proporsi peserta kelompok bawah yang menjawab benar Berikut ini adalah tabel klasifikasi daya beda butir soal. Tabel 3.3: Klasifikasi Daya Beda No Nilai Kategori 1 2 3 4 0,00 � 0,20 0,20 � 0,40 0,40 � 0,70 0,70 � 1,00 Jelek Cukup Baik Baik sekali (Arikunto, 2006) H. Teknik Analisis Data 1. Homogenitas sampel Uji homogenitas dipergunakan untuk membuktikan apakah kedua sampel yang menjadi obyek penelitian homogen atau tidak. Uji homogenitas ini dilakukan sebelum pemberian perlakuan. Riduwan (2004), menyatakan bahwa uji homogenitas dilakukan dengan menggunakan uji-F: (3.5) Dengan kriteria pengujian sebagai berikut: data homogen jika Fhitung = Ftabel dan data tidak homogen jika Fhitung = Ftabel pada taraf signifikan 5% . 2. Normalitas data Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah data tes akhir terdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas dicari dengan menggunakan rumus chi-kuadrat (Riduwan, 2004): (3.6) Dimana fo menyatakan frekuensi hasil pengamatan dan fe menyatakan frekuensi harapan berdasarkan distribusi frekuensi kurva normal teoritis. Suatu data akan terdistribusi normal jika dan tidak terdisribusi normal jika pada taraf signifikansi 5% dengan derajat kebebasan, db = k� 1, dimana k menyatakan jumlah kelas interval. 3. Uji hipotesis Untuk mengetahui pengaruh pemberian perlakuan pembelajaran dengan memanfaatkan Kit sederhana terhadap prestasi belajar fisika siswa, maka data tes akhir dianalisis dengan menggunakan uji-t (Sudjana,2002): (3.7) Keterangan: = nilai rata-rata kelas eksperimen = nilai rata-rata kelas kontrol S1 = standar deviasi kelas eksperimen S2 = standar deviasi kelas kontrol n1 = jumlah sampel kelas eksperimen n2 = jumlah sampel kelas kontrol. Dengan kriteria pengujian adalah Ho diterima jika -ttabel ? thitung ? ttabel pada taraf signifikansi ? = 0,05 dan dk1 = n1 � 1 dan dk2 = n2 � 1 4. Respon siswa terhadap pembelajaran yang memanfaatkan KIT sederhana Data respon siswa terhadap perlakuan pembelajaran dengan memanfaatkan KIT sederhana yang diperoleh dari angket dianalisis secara deskriptif kualitatif dengan menggunakan penilaian skala 5. Dimana skor maksimal untuk setiap item adalah 5, sehingga total skor dari 10 item diperoleh skor maksimal 50. Analisis data respon siswa menggunakan Mi dan Si. Rata-rata Mi dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (3.9) Sedangkan simpangan ideal dapat dihitung dengan menggunakan rumus (3.10) Berikut tabel kualifikasi respon siswa berdasarkan pedoman konversi (Nurkancana, 1992): Tabel 3.4: Pedoman Konversi Penilaian Skala 1 � 5 Interval Konversi Penilaian Kualifikasi (Mi + 1,5 Si) � (Mi + 3,0 Si) (Mi + 0,5 Si) � (Mi + 1,5 Si) (Mi + 0,5 Si) � (Mi + 0,5 Si) (Mi + 1,5 Si) � (Mi + 0,5 Si) (Mi + 3,0 Si) � (Mi + 1,5 Si) 76% - 100% 59% - 75% 43% - 58% 25% - 42% 0% - 25% Sangat baik Baik Cukup Kurang Sangat kurang Kriteria keberhasilan tindakan, apabila respon siswa minimal berkualifikasi cukup atau berada pada konversi nilai 43% � 58%.

Kamis, 26 Mei 2011

Upaya Meningkatkan Aktivitas dan Prestasi Belajar Siswa Kelas XI IPS 3 MAN 2 Mataram Tahun Pelajaran 2007/2008 Pada Pokok Bahasan Peluang Melalui Pendekatan RME (Realistic Mathematic Education)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu masalah mendasar dalam pendidikan matematika di Indonesia adalah rendahnya prestasi murid serta kurangnya motivasi dan keinginan terhadap pembelajaran matematika di sekolah. Beberapa faktor penyebab rendahnya prestasi belajar tersebut antara lain kurangnya kualitas materi pembelajaran, metode pembelajaran, metode pengajaran yang mekanistik yang lebih menekankan pada latihan dan penghafalan rumus, serta buruknya sistem penilaian (Depdiknas,
2004: 32)
Aspek penting dalam pengajaran matematika adalah
agar siswa mampu mengaplikasikan konsep-konsep matematika dalam berbagai keterampilan serta mampu menggunakannya sebagai strategi untuk memecahkan berbagai masalah (Putman dalam Asmin, 2007: 3)
Salah satu pokok bahasan yang diajarkan di Sekolah Menengah kelas XI pada pelajaran matematika adalah peluang. Ditinjau dari karakteristik materi, peluang merupakan materi yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, sehingga dibutuhkan pemahaman siswa terhadap konsep, penalaran, ketelitian kemampuan berfikir kritis dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada. Tujuan pembelajaran materi peluang pada kelas XI IPS adalah agar siswa dapat menyusun dan menggunakan aturan perkalian, permutasi, dan kombinasi, dan agar siswa dapat menentukan banyak kemungkinan kejadian dari beberapa situasi (Depdiknas: 2003: 49). Peluang adalah materi dalam pelajaran matematika yang sangat erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari. Dengan memahami konsep peluang dengan baik akan melatih siswa untuk lebih memahami kejadian sehari-hari yang berkaitan dengan konsep peluang.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari salah satu guru matematika MAN 2 Mataram kelas XI, bahwa pada kelas XI telah dilakukan penjurusan kelas. Ada tiga penjurusan yaitu, XI IPA, XI IPS, dan XI Bahasa. Terdapat beberapa permasalahan akibat dari penjurusan kelas pada kelas XI IPS yakni:
(1) Apabila dibandingkan dengan kelas XI IPA, siswa kelas XI IPS lebih banyak mengalami kesulitan dalam memahami materi matematika.
(2) Siswa pada umumnya mengambil jurusan IPS karena ingin menghindari mata pelajaran matematika yang mereka anggap sulit. Namun, sejak beberapa tahun yang lalu matematika pada jurusan IPS diikutsertakan pada ujian nasional, sehingga mata pelajaran matematika juga diajarkan pada jurusan IPS.
(3) Materi pelajaran matematika pada semester I kelas XI IPS membahas mengenai statistika dan peluang. Hal ini berarti bahwa, prestasi belajar siswa pada konsep peluang akan memberikan pengaruh yang besar pada prestasi belajar siswa secara keseluruhan semester I.
(4) Siswa dalam proses pembelajaran lebih sering bermain-main dan tidak berkonsentasi dalam belajar. Hal ini berpengaruh pada kemampuan siswa untuk menerima pelajaran yang diberikan guru.
Informasi yang diperoleh dari guru matematika kelas XI IPS ada beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya hasil belajar siswa. Faktor-faktor tersebut antara lain:
(1) Siswa-siswa tersebut berasal sekolah-sekolah lanjutan tingkat pertama yang berbeda-beda, sehingga terdapat siswa yang tidak terlatih untuk mengembangkan pola pikir matematis.
(2) Penyajian materi yang kurang menarik menyebabkan siswa bosan dan jenuh dalam proses pembelajaran, sehingga aktivitas siswa saat belajar rendah. Hal ini berakibat pada rendahnya hasil belajar siswa.
(3) Pembelajaran matematika di kelas masih bersifat mekanistik, dimana pembelajaran lebih menekankan pada latihan dan penghafalan rumus.
Berdasarkan hasil wawancara, bahwa pada pokok bahasan statistika yang mendahului pokok bahasan peluang, siswa tidak terlalu bermasalah, hanya saja membutuhkan waktu yang lebih lama. Selanjutnya, guru matematika kelas XI IPS menambahkan bahwa lebih sulit menjelaskan pokok bahasan peluang daripada statistika, karena karakteristik pokok bahasan peluang lebih kompleks.
Melihat karakteristik peluang dan permasalahan yang dihadapi siswa, maka diperlukan suatu pendekatan pembelajaran yang dapat mengatasi permasalahan tersebut. Salah satu pendekatan yang menjanjikan dapat mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan menerapkan pembelajaran melalui pendekatan RME (Realistic Mathematic Education). Pada pandangan RME, dalam semua kasus, bahan ajar dimatematisasikan, dipengalamankan secara nyata untuk siswa. Hal ini tidak berarti bahwa RME selalu menggunakan masalah kehidupan yang nyata (Lange, 1987), tetapi juga dapat menggunakan hal-hal yang sudah dialami atau dipahami siswa atau sesuatu yang dapat dibayangkan oleh siswa (Slettenhaar dalam Amin, 2004: 145). Salah satu prinsip yang dikembangkan dalam RME adalah bahwa pembelajaran tidak bermula dari proses formal. Prinsip ini cocok diterapkan pada kelas dimana pada proses pembelajaran siswa lebih banyak bermain-main dan kurang berkonsentrasi.
Pembelajaran dengan pendekatan RME dapat diterapkan pada pokok bahasan peluang karena memiliki cakupan materi yang sesuai dengan kehidupan sehari-hari siswa. Melalui pembelajaran dengan pendekatan RME diharapkan dapat membangun minat dan motivasi siswa dalam proses belajar. RME juga diharapkan dapat memudahkan guru untuk dapat menggalakkan keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran. Sehingga aktivitas siswa dalam pembelajaran akan lebih meningkat. Dengan demikian, materi yang dipelajari siswa akan lebih mudah dipahami dan dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari siswa.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari guru matematika kelas XI IPS bahwa siswa kelas XI IPS 3 prestasi belajarnya lebih rendah bila dibandingkan dengan kelas XI IPS yang lain, hal ini terlihat dari hasil ujian tengah semester yang telah dilakukan yakni kelas XI IPS 1 nilai rata-ratanya 71, 4, kelas XI IPS 2 nilai rata-ratanya 75, 1, XI IPS 3 rata-ratanya 68, 7. Penyebab hasil belajar siswa kelas XI IPS 3 rendah adalah kurangnya aktivitas siswa dalam kegiatan belajar mengajar. Siswa dalam proses pembelajaran lebih banyak bermain-main dan tidak berkonsentrasi sepenuhnya pada kegiatan belajar. Hal ini mendorong peneliti menggunakan kelas XI IPS 3 sebagai objek penelitian.
Berdasarkan uraian diatas, peneliti merasa perlu mengetahui pengaruh pembelajaran dengan pendekatan RME (Realistic Mathematic Education) terhadap aktivitas dan prestasi belajar siswa. Untuk itu, peneliti melakukan penelitian yang diberi judul �Upaya Meningkatkan Aktivitas dan Prestasi Belajar Siswa Kelas XI IPS 3 MAN 2 Mataram Tahun Pelajaran 2007/2008 Pada Pokok Bahasan Peluang Melalui Pendekatan RME (Realistic Mathematic Education)�. Untuk selanjutnya, pada tulisan ini Realistic Mathematic Education akan disebut sebagai Pendidikan Matematika Realistik (PMR).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat diangkat beberapa rumusan masalah antara lain:
1. Bagaimana penerapan pendekatan Pendidikan Matematika Realistik (PMR) dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa kelas XI IPS 3 MAN 2 Mataram pada pokok bahasan peluang tahun pelajaran 2007/2008 ?.
2. Bagaimana penerapan pendekatan Pendidikan Matematika Realistik (PMR) dapat meningkatkan prestasi belajar siswa kelas XI IPS 3 MAN 2 Mataram pada pokok bahasan peluang tahun pelajaran 2007/2008 ?.

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan diadakannya penelitian ini adalah meningkatkan aktivitas dan prestasi belajar siswa kelas XI IPS 3 MAN 2 Mataram pada pokok bahasan peluang tahun pelajaran 2007/2008 melalui pendekatan Pendidikan Matematika Realistik (PMR).
D. Manfaat Penelitian
Beberapa manfaat yang dapat diperoleh melalui penelitian ini antara lain:
1. Bagi siswa, sebagai acuan untuk dapat memahami konsep peluang dengan lebih baik dan dapat meningkatkan hasil belajar.
2. Bagi guru, penelitian ini dapat memberikan tambahan wawasan dalam menerapkan pendekatan Pendidikan Matematika Realistik (PMR) di dalam kelas sebagai upaya peningkatan hasil belajar siswa khususnya pada pokok bahasan peluang.
3. Bagi sekolah, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan untuk meningkatkan mutu proses belajar mengajar dan dapat memberikan solusi alternatif dari masalah pembelajaran yang ada guna meningkatkan hasil belajar matematika.
4. Bagi peneliti selanjutnya, sebagai tambahan referensi dan perbandingan untuk penelitian selanjutnya.

Peningkatan Prestasi Belajar Biologi dan Motivasi Siswa Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Examples Non Examples di Kelas XI IPA SMA Negeri 1 Empang Tahun Ajaran 2010/2011

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perkembangan yang cepat di luar bidang pendidikan menjadi tantangan-tantangan yang harus dijawab oleh dunia pendidikan. Jika cara pengajaran dan pendidikan di Indonesia tidak dirubah, bangsa Indonesia akan ketinggalan dibandingkan dengan negara-negara lain. Dalam menghadapi tantangan tersebut pemerintah melakukan berbagai macam cara yaitu antara lain dengan memberikan pelatihan terhadap guru-guru, pengembangan kurikulum dan penyediaan sarana dan prasarana yang dapat menunjang kegiatan belajar mengajar. Selain itu juga pemerintah melakukan standarisasi terhadap ujian nasional.

Oleh karena itu guru dan siswa diharapkan mampu mencapai standar yang telah ditetapkan oleh pemerintah demi terwujudnya

tujuan dari pendididkan nasional yaitu untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan yang maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Ilmu biologi adalah cabang ilmu pengetahuan alam (IPA) yang mempelajari tentang semua mahluk hidup di muka bumi. Biologi secara universal mengkaji aspek penting tentang kehidupan dari semua mahluk hidup di alam semesta ini. Pada abad ke- 19 perkembangan ilmu biologi semakin meluas setelah adanya penemuan-penemuan baru oleh para ilmuan. Dari hasil penemuan itu disimpulkan bahwa semua organisme memiliki karakteristik pokok. Karakteristik pokok yang melekat pada setiap kelompok organisme tidaklah sama. Maka, muncullah istilah-istilah botani, zoologi, dan mikrobiologi yang merupakan cabang dari biologi yang mengkaji secara khusus tentang karakteristik pokok dari setiap kelompok organisme. Seirama dengan perkembangan peradaban manusia, biologi kini berkembang mengarah ke aspek yang mengkaji tentang kemungkinan berevolusinya mahluk hidup pada masa yang akan datang dan kemungkinan adanya mahluk hidup di plaanet-planet lain selain bumi (Bekti R, Sawaldi, 2007).
Terkadang siswa banyak mengalami kesulitan untuk mempelajari dan memahami materi yang ada dalam pelajaran biologi. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar materi diajarkan dengan metode yang masih bersifat tradisional dan selama ini proses belajar mengajar didominasi dengan metode ceramah. Untuk itu perlu diterapkan metode mengajar yang sesuai, agar siswa mudah memahami materi tersebut. Metode mengajar adalah stategi pengajaran sebagai alat untuk mencapai tujuan yang diharapkan (Djamarah dan Aswan, 2006).
Dalam menghadapi keadaan tersebut, guru memiliki peran dan tanggung jawab yang sangat besar dalam pencapaian tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan. Namun pencapaian tujuan pembelajaran juga dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satu diantaranya model pembelajaran yang digunakan. Oleh karena itu peneliti ingin menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Examples Non Examples yang mungkin dapat meningkatkan prestasi belajar biologi dan motivasi siswa.
Dari hasil observasi awal yang dilakukan di SMA Negeri 1 Empang kelas XI IPA 1 dan XI IPA 2 banyak siswa yang mengalami kesulitan dalam proses belajar biologi. Hal ini dapat dilihat dari hasil nilai ulangan harian siswa yang masih banyak dibawah kriteria ketuntasan minimal (KKM). Kriteria ketuntasan minimal (KKM) mata pelajaran Biologi SMA Negeri 1 Empang adalah 60. Berikut adalah hasil ulangan harian siswa kelas XI IPA SMA Negeri 1 Empang :
Tabel 1.1 Data ketuntasan belajar Biologi siswa kelas XI IPA SMA Negeri 1 Empang Tahun Ajaran 2010/2011

No Kelas Nilai
Rata-rata Jumlah siswa Total siswa Persentase ketuntasan
Tuntas Tidak tuntas
1 XI IPA 1 50,96 8 20 28 28,57 %
2 XI IPA 2 51,48 10 17 27 37,04 %
(Sumber : Ulangan harian kelas XI IPA SMA Negeri 1 Empang)
Berdasarkan data di atas terlihat bahwa siswa kelas XI IPA SMA Negeri 1 Empang mengalami kesulitan dalam proses belajar biologi. Rendahnya prestasi belajar biologi pada siswa yang mengalami masalah secara komperhensif dalam pembalajaran biologi yaitu faktor internal siswa misalnya kesiapan belajar siswa, kemampuan kognitif maupun faktor eksternal seperti kondisi sosial, sarana dan prasarana serta gaya/pendekatan dalam mengajar.
Setelah melakukan wawancara dengan guru bidang studi biologi SMA Negeri 1 Empang, salah satu penyebab rendahnya prestasi belajar dan motivasi siswa khususnya pelajaran biologi adalah sebagian metode yang digunakan masih bersifat tradisional. Selama ini proses belajar mengajar didominasi dengan metode ceramah, sehingga dalam waktu yang relatif singkat guru dapat menyelesaikan bahan pelajaran, kenyataan ini diperkuat oleh alasan guru yaitu mengejar target kurikulum. Dan dengan metode yang masih didominasi dengan metode cerama membuat siswa merasa jenuh dan kaku didalam proses belajar biologi yang secara langsung hal ini dapat mengurangi motivasi siswa pada mata pelajaran biologi.
Hal yang demikian merupakan faktor yang menjadikan biologi termasuk pelajaran yang sulit dan akhirnya kurang diminati. Oleh sebab itu, peneliti mencoba dengan pendekatan kooperatif Examples Non Examples karena pendekatan ini lebih menfokuskan pada materi yang berkaitan dengan contoh-contoh.
Dari uraian di atas peneliti akan melakukan penelitian tentang �Peningkatan Prestasi Belajar Biologi dan Motivasi Siswa Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Examples Non Examples di Kelas XI IPA SMA Negeri 1 Empang Tahun Ajaran 2010/2011�.

1.2. Rumusan Masalah
Masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah �Apakah model pembelajaran Kooperatif tipe Examples Non Examples dapat meningkatkan prestasi belajar biologi dan motivasi siswa di kelas XI IPA SMA Negeri 1 Empang Tahun Ajaran 20010/2011 ?�.

1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan prestasi belajar biologi dan motivasi siswa di kelas XI IPA SMA Negeri 1 Empang Tahun Ajaran 2010/2011 melalui model pembelajaran kooperatif tipe Examples Non Examples.


1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian ini dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu :
1.4.1. Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai metode alternatif dalam menentukan metode pengajaran agar dapat meningkatkan prestasi belajar biologi dan motivasi siswa khususnya dalam penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe Examples Non Examples.
1.4.2. Manfaat praktis
1.4.2.1. Memberi masukan bagi tenaga pendidik tentang upaya memperbaiki proses pembelajaran kearah perbaikan bagi siswa yang merasa kurang mampu menangkap lebih cepat materi yang diberikan guna meningkatkan prestasi belajar.
1.4.2.2. Menjadi acuan bagi peneliti selanjutnya yang tertarik untuk mengembangkan metode pengajaran sehingga dapat meningkatkan kualitas pengajaran.

1.5. Lingkup Penelitian
1.5.1. Lokasi penelitian
Lokasi penelitian ini adalah di SMA Negeri 1 Empang Jalan Lintas Sumbawa-Bima Kecamatan Empang Kabupaten Sumbawa.

1.5.2. Subyek penelitian
Subyek penelitian ini adalah siswa SMA Negeri 1 Empang kelas XI IPA Tahun Ajaran 2010/2011.
1.5.3. Obyek penelitian
Obyek penelitian ini adalah penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Examples Non Examples dalam meningkatkan prestasi belajar serta motivasi siswa.

1.6. Definisi Operasional
Untuk menghindari terjadinya kesalah pahaman penafsiran beberapa istilah pada judul penelitian ini perlu dijelaskan istilah-istilah sebagai berikut:


1.6.1. Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang secara sadar dan sengaja mengembangkan interaksi yang saling asuh antar siswa untuk menghindari ketersinggungan dan kesalahpahaman yang dapat menimbulkan permusuhanm (Isjoni,2009). Selanjutnya menurut Lie (2002), Pembelajaran kooperatif merupakan sistem pengajaran yang memberikan kesempatan kepada anak didik untuk bekerja sama dengan sesama siswa dalam tugas-tugas yang terstruktur. Dalam hal ini guru bertindak sebagai fasilitator.
Dari kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif ini merupakan alur poroses belajar tidak harus berasal dari guru menuju siswa, tetapi siswa juga saling mengajar dengan sesama siswa yang lainnya sehingga terjadi perubahan ke arah yang lebih baik.
1.6.2. Examples Non Examples
Examples Non Examples adalah metode belajar yang menggunakan contoh-contoh. Contoh-contoh dapat dari kasus/gambar yang relevan dengan kompetensi dasar (Kiranawati,2007). Selanjutnya menurut Kusuma (2008), Examples Non Examples adalah salah satu model pembelajaran kooperatif yang penyampaian materinya berupa contoh-contoh.
Berdasarkan definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa istilah Examples Non Examples yang di maksud dalam penelitian ini adalah suatu model pembelajaran kooperatif yang metode belajarnya menggunakan contoh-contoh dapat berupa gambar, bagan, skema yang relevan dengan kompetensi dasar.
1.6.3. Prestasi Belajar
Prestasi adalah hasil dari suatu kegiatan yang telah dikerjakan, diciptakan, baik secara individual maupun kelompok. Sedangkan belajar adalah suatu aktivitas yang dilakukan secara sadar untuk mendapatkan sejumlah kesan dari bahan yang dipelajari (Djamarah,1994).
Jadi, prestasi belajar adalah hasil yang diperoleh berupa kesan-kesan yang mengakibatkan perubahan dalam diri individu sebagai hasil dari aktvitas dalam belajar.
1.6.4. Motivasi Belajar
Motivasi belajar adalah dorongan internal dan eksternal pada siswa yang sedang belajar untuk mengadakan perubahan tingkah laku, pada umumnya dengan beberapa indikator atau unsur yang mendukung. (Hamzah, 2006;23)
Selanjutnya Sardiman (2010;75), menyatakan bahwa motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin dari arah belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subjek belajar itu dapat tercapai.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pembelajaran Kooperatif
2.1.1. Pengertian Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif atau cooperative learning merupakan strategi belajar dengan sejumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil yang memilki tingkat kemampuan berbeda. Dalam menyelesaikan tugas kelompoknya setiap siswa anggota kelompok harus saling bekerja sama dan saling membantu untuk memahami materi pembelajaran. Dalam cooperative learning, belajar dikatakan belum selesai jika salah satu teman dalam kelompok belum menguasai bahan pelajaran (Isjoni,2009). Selanjutnya Slavin dalam isjoni (2009), pembelajaran kooperatif adalah suatu pembelajaran dimana siswa belajar dan bekerja dalam kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya 4-6 orang dengan struktur kelompok heterogen.
Pembelajaran kooperatif tidak sama dengan sekedar belajar dalam kelompok. Ada unsur-unsur dasar pembelajaran kooperatif yang membedakannya dengan pembagian kelompok yang dilakukan asal-asalan. Pelaksanaan prosedur model pembelajaran kooperatif dengan benar akan memungkinkan guru mengelola kelas lebih efektif.
Model pembelajaran kooperatif akan menumbuhkan pembelajaran efektif yaitu pembelajaran yang bercirikan : (1) �memudahkan siswa belajar� sesuatu yang �bermanfaat� seperti, fakta, keterampilan, nilai, konsep, dan bagaimana hidup serasi dengan sesama; (2) Pengetahuan, nilai, dan keterampilan diakui oleh mereka yang berkompeten menilai (Suprijono,2009).
Menurut Roger dan David Johnson dalam Suprijono (2009) mengatakan bahwa tidak semua belajar kelompok bisa dianggap pembelajaran kooperatif. Untuk mencapai hasil yang maksimal, lima unsur dalam model pembelajaran kooperatif harus diterapkan. Lima unsur tersebut adalah Positive interdependence (saling ketergantungan positif), Personal responsibility (tanggung jawab perorangan), Face to face promotive interaction (tatap muka), Interpersonal skill (komunikasi antar anggota), dan Group processing (pemrosesan kelompok).
2.1.2. Ciri-ciri Pembelajaran Kooperatif
Menurut Isjoni (2009) pembelajaran kooperatif memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a. Setiap anggota memiliki peran
b. Terjadi hubungan interaksi langsung di antara siswa
c. Setiap anggota kelompok bertanggung jawab atas belajarnya dan juga teman-teman kelompoknya
d. Guru membantu mengembangkan keterampilan-keterampilan interpersonal kelompok
e. Guru hanya berinteraksi dengan kelompok saat di perlukan
Sedangkan menurut Suprijono (2009), model pembelajaran kooperatif akan dapat menunumbuhkan pembelajaran efektif yaitu pembelajaran yang bercirikan : (1) �memudahkan siswa belajar� sesuatu yang �bermanfaat� seperti, fakta, konsep, dan bagaimana hidup serasi dengan sesama; (2) pengetahuan, nilai, dan keterampilan diakui oleh mereka yang berkompeten menilai.
2.1.3. Tujuan Pembelajaran Kooperatif
Tujuan utama dalam penerapan model belajar mengajar coopertive learning adalah agar peserta didik dapat belajar secara kelompok bersama teman-temannya dengan cara saling menghargai pendapat dan memberikan kesempatan kepada orang lain untuk mengemukakan gagasannya dengan menyampaikan pendapat mereka secara berkelompok (Isjoni,2009).
2.1.4. Keterampilan Kooperatif
Laundgren (dalam Isjoni, 2009), membagi keterampilan kooperatif sebagai berikut:
a. Keterampilan kooperatif tingkat awal.
Keterampilan kooperatif tingkat awal, meliputi : Menggunakan kesepakatan, menghargai kontribusi, mengambil giliran dan berbagi tugas, berada dalam kelompok, berada dalam tugas, mendorong partisipasi, mengundang orang lain untuk berbicara, menyelesaikan tugas pada waktunya, dan menghormati pekerjaan individu.
b. Keterampilan kooperatif tingkat menengah.
Keterampilan kooperatif tingkat menengah, meliputi: menunjukan penghargaan dan simpati, mengungkapkan katidak setujuan dengan cara yang dapat diterima, mandengarkan dengan aktif, bertanya, membuat ringkasan, mengatur dan mengorganisir, menerima tanggung jawab, dan mengurangi ketegangan.
c. Keterampilan kooperatif tingkat mahir.
Keterampilan kooperatif tingkat mahir, meliputi: mengelaborasi, memeriksa dengan cermat, menanyakan kebenaran, menetapkan tujuan, dan berkompromi.
2.1.5. Pendekatan dalam pembelajaran kooperatif
Pendekatan pembelajaran kooperatif dilaksanakan oleh guru dengan teknik-teknik antara lain sebagai berikut :
a. Teknik Sebaran Prestasi (Student Teams-Achievement Division (STAD)).
Siswa berkelompok mengerjakan soal latihan dalam lembar kerja. Tiap kelompok terdiri dari 4 atau 5 orang, yang terdiri dari seorang berkemampuan rendah, seorang berkemampuan tinggi, dan sisanya berkemampuan sedang. Setelah semua kelompok selesai bekerja, guru memberi kunci jawaban soal dan meminta memeriksa hasil kerja. Kemudian guru mengadakan ulangan/kuis.
b. Teknik Susun Gabung (Jigsaw).
Dalam kelompok, tiap-tiap siswa mempelajari satu bagian materi pelajaran dan kemudian menjelaskan bagian itu kepada semua anggota kelompok. Kemudian guru mengadakan ulangan/kuis.
c. Teknik Penyelidikan Berkelompok (Group Investigation).
Tiap-tiap kelompok mempelajari satu bagian materi pelajaran dan kemudian menjelaskan bagian itu kepada semua siswa di kelas.
d. Teknik Cari Pasangan.
Tiap siswa di kelas memperoleh 1 lembar kartu, tiap kartu berisi 1 bagian materi pelajaran, kemudian mereka harus mencari siswa-siswa pemegang kartu yang isinya berkaitan dengan isi kartunya. Para siswa yang isi kartunya berkaitan lalu berkelompok dan mendiskusikan keseluruhan materi.
e. Teknik Tukar Pasangan.
Siswa berkelompok mengerjakan soal latihan dalam lembar kerja. Kemudian mereka berganti pasangan kelompok, dan mendiskusikan hasil kerja dari kelompok semula.


f. Examples Non Examples
Mempersiapkan gambar-gambar sesuai dengan tujuan pembelajaran, membagi kelompok siswa, menempelkan gambar di papan atau ditayangkan melalui OHP, memberi petunjuk dan memberikan kesempatan pada siswa untuk memperhatikan/menganalisis gambar, melalui diskusi kelompok 2�3 orang siswa, hasil diskusi dari analisa gambar tersebut dicatat pada kertas, tiap kelompok diberi kesempatan membacakan hasil diskusinya, mulai dari komentar/hasil diskusi siswa, guru mulai menjelaskan materi sesuai tujuan yang ingin dicapai, Kesimpulan.
2.1.6. Langkah-langkah Pembelajaran Kooperatif
Adapun urutan langkah-langkah yang dilakukan oleh guru dalam pembelajaran kooperatif yang diuraikan oleh Suprijono, (2009) adalah sebagaimana terlihat pada tabel 2.1.
Tabel 2.1. Langkah-langkah Pembelajaran Kooperatif
Fase-fase Prilaku guru
Fase 1 : Present goals and set.
Menyampaikan tujuan dan mempersiapkan peserta didik Menjelaskan tujuan pembelajaran dan mempersiapkan peserta didik siap belajar
Fase 2 : Present information.
Menyajikan informasi Mempresentasikan informasi kepada peserta didik secara verbal
Fase 3 : Organize students into learning teams.
Mengorganisir peserta didik ke dalam tim dan belajar Memberikan penjelasan kepada peserta didik tentang tata cara pembentukan tim belajar dan membantu kelompok melakukan transisi yang efisien
Fase 4 : Assist team work and study.
Membantu kerja team dan belajar Membantu tim-tim belajar selama peserta didik mengerjakan tugasnya
Fase 5 : Test on the materials.
Mengevaluasi Menguji pengetahuan peserta didik mengenai berbagai materi pembelajara atau kelompok-kelompok mempresentasikan hasil kerjanya
Fase 6: Provode recongnition.
Memberikan pengakuan atau penghargaan Mempersiapkan cara untuk mengakui dan presentasi individu maupun kelompok

2.2. Pembelajaran Kooperatif Tipe Examples Non Examples
2.2.1. Pengertian Examples Non Examples
Examples Non Examples adalah metode belajar yang menggunakan contoh-contoh. Contoh-contoh dapat dari kasus/ gambar yang relevan dengan kompetensi dasar (Kiranawati, 2007 ). Sedangkan menurut Kusuma (2008), Examples Non Examples adalah salah satu model pembelajaran kooperatif yang penyampaian materinya berupa contoh-contoh.
Berdasarkan definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa istilah Examples Non Examples yang di maksud dalam penelitian ini adalah suatu model pembelajaran kooperatif yang metode belajarnya menggunakan contoh-contoh yang berupa gambar, bagan, skema yang relevan dengan kompetensi dasar.


2.2.2. Kelebihan dan Kekurangan Examples Non Examples
Adapun kelebihan dan kekurangan dari tipe Examples Non Examples (Kusuma, 2008) adalah :
a. Kelebihan Examples Non Examples
1. Membuat siswa lebih aktif dan berpikir kritis dalam menganalisa gambar dari contoh-contoh materi pembelajaran pada saat proses kegiatan belajar mengajar.
2. Materi dapat disajikan dalam bentuk yang lebih praktis berupa contoh-contoh yang berupa bagan, gambar, maupun skema.
3. Siswa dapat mengetahui aplikasi dari materi berupa contoh gambar dan diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya.
b. Kekurangan Examples Non Examples
1. Tidak semua materi dapat disajikan dalam bentuk bagan, gambar, maupun skema.
2. Hanya materi pembelajaran yang bersifat eksperimen saja yang dapat diaplikasikan pada tipe Examples Non Examples.
3. Membutuhkan waktu yang lama untuk proses kegiatan belajar mengajar.



2.2.3. Langkah-langkah Examples Non Examples
Menurut Suprijono (2009), adapun langkah-langkah pembelajaran kooperatif tipe Examples Non Examples adalah sebagai berikut :
a. Guru mempersiapkan gambar-gambar sesuai dengan tujuan pembelajaran.
b. Guru membagi kelompok siswa
c. Guru menempel gambar di papan atau ditayangkan melalui OHP.
d. Guru memberi petunjuk dan memberikan kesempatan pada siswa untuk memperhatikan/menganalisis gambar.
e. Melalui diskusi kelompok 2 � 3 orang siswa, hasil diskusi dari analisa gambar tersebut dicatat pada kertas.
f. Tiap kelompok diberi kesempatan membacakan hasil diskusinya.
g. Mulai dari komentar/hasil diskusi siswa, guru mulai menjelaskan materi sesuai tujuan yang ingin dicapai.
h. Kesimpulan.

2.3. Prestasi Belajar
2.3.1. Pengertian Prestasi Belajar
Prestasi belajar adalah sebuah kalimat yang terdiri dari dua kata yakni �prestasi� dan �belajar�. Prestasi adalah hasil dari suatu kegiatan yang telah dikerjakan, diciptakan, baik secara individual maupun kelompok. Sedangkan belajar adalah suatu aktivitas yang dilakukan secara sadar untuk mendapatkan sejumlah kesan dari bahan yang dipelajari (Djamarah,1994).
Jadi prestasi belajar adalah hasil yang diperoleh berupa kesan-kesan yang mengakibatkan perubahan dalam diri individu sebagai hasil dari aktvitas dalam belajar.
2.3.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar
Slameto (2009), mengatakan bahwa faktor yang mempengaruhi prestasi belajar ada dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
a. Faktor-faktor internal
Faktor internal adalah faktor yang berada dalam diri siswa, meliputi :
1. Faktor Jasmani
a) Faktor kesehatan
Proses belajar seseorang akan terganggu jika kesehatan seseorang akan terganggu, selain itu juga ia akan cepat lelah, kurang bersemangat, mudah pusing, ngantuk jika badannya lemah, kurang darah ataupun ada gangguan kelainan fungsi alat inderanya serta tubuhnya.


b) Cacat tubuh
Keadaan cacat tubuh juga mempengaruhi belajar. Siswa yang cacat belajarnya akan terganggu. Jika hal ini terjadi, hendaknya, ia belajar pada lembaga pendidikan khusus atau diusahakan alat bantu agar dapat menghindari atau menurangi pengaruh kecacatannya itu.
2. Faktor Psikologis
a) Inteligensi
Inteligensi adalah kecakapan yang terdiri dari tiga jenis yaitu kecakapan untuk menghadapi dan menyusaikan ke dalam situasi yang baru dengan cakap yang efektif, mengetahui menggunakan konsep-konsep yang abstrak secara efektif , mengetahui relasi dan mempelajarinya dengan cepat.
b) Perhatian
Perhatian adalah keaktifan jiwa yang dipertinggi, jiwa itu pun semata-mata tertuju kepada sesuatu obyek (benda/hal) atau sekumpulan objek.
c) Minat
Minat besar pengaruhnya terhadap belajar, karena bila bahan pelajaran yang dipelajari tidak sesuai dengan minat siwa, siswa tidak akan belajar dengan sebaik-baiknya, karena tidak ada daya tarik baginya. Ia segan-segan untuk belajar, ia tidak memperoleh kepuasaan dari pelajaran itu. Bahan pelajaran yang menarik minat siswa, lebih mudah dipelajari dan disimpan, karena minat menambah kegiatan belajar.
d) Bakat
Bakat adalah kemampuan untuk belajar. Kemampuan itu baru akan terealisasi menjadi kecakapan yang nyata sesudah belajar atau berlatih.
e) Motif
Dalam proses belajar haruslah diperhatikan apa yang dapat mendorong siswa agar dpat belajar dengan baik atau padanya mempunyai motif untuk berpikir dan memusatkan perhatian, merencanakan dan melaksanakan kegiatan yang berhubungan atau menunjang belajar.
f) Kematangan
Kematangan adalah suatu tingkat atau fase dalam pertumbuhan seseorang, di mana alat-alat tubuhnya sudah siap untuk melaksanakan kecakapan baru.
g) Kesiapan
kesiapan adalah kesediaan untuk memberi respon atau bereaksi.


3. Faktor Kelelahan
Kelelahan dapat mempengaruhi belajar. Agar siswa dapat belajar dengan baik harus menghindari jangan sampai terjadi kelelahan dalam belajarnya. Sehingga perlu diusahakan kondisi yang bebas dari kelelahan.
Kelelahan dapat dihilangkan baik secara jasmani maupun rohani dapat dihilangkan dengan cara berikut:
a) Tidur
b) Istirahat
c) Mengusahan variasi dalam belajar, juga dalam bekerja
d) Menggunakan obat-obat yang bersifat melancarkan peredaran darah
e) Rekreasi dan ibadah yang teratur
f) Olahraga secara teratur
g) Mengimbangi makanan dengan makanan yang memenuhi syarat-syarat kesehatan, misalkan makanan yang memenuhi empat sehat lima sempurna.
h) Jika kelehan sangat serius cepat-cepat menghubungi seorang ahli, misalnya, dokter, psikiater, konselor, dan lain-lain.
b. Faktor-faktor eksternal
Faktor eksternal adalah faktor yang berada di luar diri siswa, meliputi :
1. Faktor Keluarga
a) Cara orang tua mendidik
Cara orang tua mendidik anaknya besar pengaruhnya terhadap belajar anaknya. Keluarga yang sehat besar artinya untuk pendidkan dalam ukuran kecil, tetapi bersifat menentukan untuk pendidikan dalam ukuran besar yaitu pendidikan bangsa, negara dan dunia. Melihat pernyataan diatas, dapatlah dipahami betapa pentingnya peranan keluarga didalam pendidikan anaknya. Cara orang tua mendidik anak-anaknya akan berpengaruh terhadap belajarnya.
b) Relasi antar anggota keluarga
Relasi antar anggota keluarga yang terpenting adalah relasi orang tua dengan anaknya. Selain itu relasi anak dengan saudaranya atau dengan anggota keluarga yang lain pun turut mempengaruhi belajar anak. Wujud relasi itu misalnya apakah hubungan itu penuh dengan kasih sayang dan pengertian, ataukah diliputi oleh kebencian, sikap yang terlalu keras, ataukah sikap yang acuh tak acuh, dan sebagainya.
c) Suasana rumah
Suasana rumah yang gaduh atau ramai dan semrawut tidak akan memberi ketenangan pada anak yang belajar. Suasana rumah tersebut dapat terjadi pada keluarga yang besar yang terlalu banyak penghuninya. Suasana rumah yang tegang, ribut dan sering terjadi cekcok, pertengkaran antara anggota keluarga atau dengan keluarga lain menyebabkan anak menjadi bosan di rumah, suka keluar rumah, akibatnya belajarnya kacau.
d) Keadaan ekonomi keluarga
Keadaan ekonomi keluarga erat hubunganya dengan belajar anak. Anak yang sedang belajar selain harus terpenuhi kebutuhan pokoknya, misalnya makan, pakaian, perlindungan kesehatan dan lain-lain juga membutuhkan fasilitas belajar seperti ruang belajar, meja, kursi, penerangan, alat tulis menulis, buku-buku dan lain-lain. Fasilitas belajar itu hanya dapat terpenuhi jika keluarga mempunyai cukup uang.
e) Pengertian orang tua
Anak belajar perlu dorongan dan pengertian orang tua. Bila anak sedang belajar jangan ganggu dengan tugas-tugas dirumah. Kadang-kadang anak mengalami lemah semangat, orang tua wajib memberi pengertian dan mendorongnya, membantu sedapat mungkin kesulitan yang dialami anak disekolah.
f) Latar belakang kebudayaan
Tingkat pendidikan atau kebiasaan di dalam keluarga mempengaruhi sikap anak dalam belajar. Perlu kepada anak ditanamkan kebiasan-kebiasaan yang baik, agar mendorong semangat anak dalam belajar.
2. Faktor Sekolah
a) Metode mengajar
Metode mengajar adalah suatu cara atau jalan yang harus dilalui di dalam mengajar. Di dalam lembaga pendidikan, orang lain yang disebut sebagai murid atau siswa dan mahasiswa, yang dalam proses belajar agar dapat menerima, menguasai dan lebih-lebih mengembangkan bahan pelajaran itu, maka cara-cara mengajar serta cara belajar haruslah setepat-tepatnya dan seefisien serta seefekfif mungkin.
b) Kurikulum
Kurikulum diartikan sebagai sejumlah kegiatan yang diberikan kepada siswa. Kegiatan itu sebagian besar adalah menyajikan bahan pelajaran agar siswa menerima,menguasai dan mengembangkan bahan pelajaran itu. Jelaslah bahan pelajaran itu mempengaruhi belajar siswa. Kurikulum yang kurang baik berpengaruh tidak baik terhadap belajar. Kurikulum tidak baik itu misalnya kurikulum yang terlalu padat, di atas kemampuan siswa, tidak sesuai dengan bakat, minat dan perhatian siswa.
c) Relasi guru dengan siswa
Proses belajar mengajar terjadi antara guru dengan siswa. Proses itu juga dipengaruhi oleh relasi yang ada dalam proses itu sendiri. Jadi cara belajar siswa juga dipengaruhi oleh relasinya dengan gurunya. Di dalam relasi (guru dengan siswa) yang baik, siswa akan menyukai gurunya, juga akan menyukai mata pelajaran yang diberikannya sehingga siswa berusaha mempelajari sebaik-baiknya.
d) Disiplin sekolah
Kedisiplinan sekolah erat hubungannya dengan kerajinan siswa dalam sekolah dan juga dalam belajar. Kedisiplinan sekolah mencakup kedisiplinan guru dalam mengajar dengan melaksanakan tata tertib, kedisiplinan pegawai atau karyawan dalam pekerjaan administrasi dan kebersihan kelas, gedung sekolah, halaman dan lain-lain.
e) Alat pelajaran
Alat pelajaran erat hubungannya dengan cara belajar siswa, karena alat pelajaran yang dipakai oleh guru pada waktu mengajar dipakai pula oleh siswa untuk menerima bahan yang diajarkan itu. Alat pelajaran yang lengkap dan tepat akan memperlancar penerimaan bahan pelajaran yang diberikan kepada siswa. Jika siswa mudah menerima pelajaran dan menguasainya, maka belajarnya akan menjadi lebih giat dan lebih maju.
f) Waktu sekolah
Waktu sekolah ialah waktu terjadinya proses belajar mengajar di sekolah, waktu itu dapat pagi hari, siang, sore atau malam hari. Waktu sekolah juga mempengaruhi belajar siswa. Jika terjadi siswa masuk sore hari, sebenarnya kurang dapat dipertanggungjawabkan. Dimana siswa harus beristirahat, tetapi terpaksa masuk sekolah, hingga mereka mendengarkan pelajaran sambil mengantuk dan sebagainya.
g) Standar pelajaran di atas ukuran
Guru berpendirian untuk mempertahankan wibawanya, perlu memberi pelajaran di atas ukuran standar. Akibatnya siswa merasa kurang mampu dan takut kepada guru. Bila banyak siswa yang tidak berhasil dalam mempelajari mata pelajarannya, guru semacam itu merasa senang. Tetapi berdasarkan teori belajar, yang mengingat perkembangan psikis dan kepribadian siswa yang berbeda-beda, hal tersebut tidak boleh terjadi.
h) Keadaan gedung
Dengan jumlah siswa yang banyak serta variasi karakteristik mereka masing-masing menuntut keadaan gedung dewasa ini harus memadai di dalam setiap kelas. Bagaimana mungkin mereka dapat belajar dengan enak, kalau kelas itu tidak memadai bagi setiap siswa.
i) Metode belajar
Dengan cara belajar yang tepat akan efektif pula hasil belajar siswa itu. Juga dalam pembagian waktu untuk belajar. Kadang-kadang siswa belajar tidak teratur, atau terus menerus, karena besok akan tes.dengan belajar demikian siswa akan kurang beristirahat, bahkan mungkin dapat jatuh sakit.
j) Tugas rumah
Waktu belajar terutama di sekolah, disamping untuk belajar waktu di rumah biarlah digunakan untuk kegiatan-kegiatan lain. Maka diharapkan guru jangan terlalu banyak memberi tugas yang harus dikerjakan di rumah, sehingga anak tidak mempunyai waktu lagi untuk kegiatan yang lain.

3. Faktor Masyarakat
a) Kegiatan siswa dalam masyarakat
Kegiatan siswa dalam masyarakat dapat menguntungkan terhadap perkembangan pribadinya. Tetapi jika siswa ambil bagian dalam kegiatan masyarakat yang terlalu banyak, misalnya berorganisasi, kegiatan-kegiatan sosial, keagamaan dan lain-lain, belajarnya akan terganggu, lebih-lebih jika tidak bijaksana dalam mengatur waktu.
b) Mass media
Yang termasuk dalam mass media adalah bioskop, radio, TV, surat kabar, majalah, buku-buku, komik dan lain-lain. Semuanya itu ada dan beredar dalam masyarakat.
c) Teman bergaul
Pengaruh-pengaruh dari teman bergaul siswa lebih cepat masuk dalam jiwanya daripada yang kita duga. Teman bergaul yang baik akan berpengaruh baik terhadap diri siswa, begitu juga sebaliknya, teman bergaul yang jelek pasti mempengaruhi yang bersifat buruk juga.
d) Bentuk kehidupan masyarakat
Kehidupan masyarakat di sekitar siswa juga berpengaruh terhadap belajar siswa. Masyarakat yang terdiri dari orang-orang yang tidak terpelajar, penjudi, suka mencuri dan mempunyai kebiasaan yang tidak baik, akan berpengaruh jelek kepada anak (siswa) yang berada di situ.
2.4. Motivasi Belajar
Motivasi dalam belajar adalah faktor yang penting karena hal tersebut merupakan keadaan yang mendorong keadaan siswa untuk melakukan belajar. Persoalan mengenai motivasi dalam belajar adalah bagaimana cara mengatur agar motivasi dapat ditingkatkan. Demikian pula dalam kegiatan belajar mengajar sorang anak didik akan berhasil jika mempunyai motivasi untuk belajar.
2.5. Kerangka Berfikir
Prestasi belajar siswa merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan belajar mengajar, karena kegiatan belajar merupakan proses, sedangkan prestasi hasil dari proses belajar. Prestasi belajar siswa SMA Negeri 1 Empang tahun ajaran 2010/2011 masih jauh yang diharapkan dan masih banyak siswa yang mengalami kesulitan. Oleh karena itu, guru dituntut untuk melakukan inovasi dalam proses pembelajaran dengan memilih pendekatan yang sesuai dengan karakteristik materi pelajaran. Pendekatan pembelajaran yang digunakan tersebut harus dapat membangkitkan semangat belajar dan motivasi siswa selain itu juga harus dapat meningkatkan prestasi belajar siswa.
Dalam menghadapi keadaan tersebut, guru memiliki peran dan tanggung jawab yang sangat besar dalam pencapaian tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan. Oleh karena itu, peneliti ingin menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Examples Non Examples yang di mana konsep dasar dari model pembelajaran ini adalah menyusun materi pembelajaran dalam bentuk contoh-contoh berupa skema, gambar maupun bagan sehingga nantinya dapat memudahkan siswa dalam memahami materi pembelajaran. Dengan demikian model pembelajaran kooperatif tipe Examples Non Examples dapat meningkatkan prestasi belajar dan motivasi siswa.

2.6. Hipotesis
Hipotesis adalah sebagai suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui data yang terkumpul (Arikunto, 2006). Berdasarkan kerangka berpikir tersubut, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah �Penerapan Model pembelajaran kooperatif tipe Examples Non Examples dapat meningkatkan prestasi belajar biologi dan motivasi siswa di kelas XI IPA SMA Negeri 1 Empang Tahun Ajaran 2010/2011�.








BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (Class Room Action Research), Penelitian tindakan kelas adalah suatu pencermatan terhadap kegiatan belajar berupa sebuah tindakan, yang sengaja dimunculkan dan terjadi dalam sebuah kelas secara bersama, tindakan tersebut diberikan oleh guru atau dengan arahan dari guru yang dilakukan oleh siswa. (Arikunto,dkk. 2007;3)
Penelitian tindakan kelas ini akan berjalan dengan menggunakan siklus pembelajaran dan masing-masing siklus terdiri dari 2 pertemuan yaitu, 1 kali pertemuan pemberian materi pelajaran dan satu kali pertemuan diakhir siklus peneliti akan melakukan evaluasi sebagai akhir dari siklus pertama.
Pada siklus kedua juga akan mendapat perlakuan yang sama dengan siklus pertama, dengan melihat segala kekurangan yang terjadi pada siklus pertama akan diperbaiki pada proses pembelajaran pada siklus ke dua.

3.2. Pendekatan penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk mendapatkan data mengenai prestasi belajar siswa pada materi pelajaran dengan menggunakan soal tes. Sedangkan pendekatan kualitatif dilakukan oleh peneliti dalam bentuk kalimat, kata atau gambar. Pendekatan kualitatif digunakan untuk mendapatkan data mengenai motivasi melalui angket.

3.3. Tempat dan waktu penelitian
3.1.1. Tempat penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri 1 Empang.
3.1.2. Waktu penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada semester genap (II) Tahun Ajaran 2010/2011.

3.4. Rancangan Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan dengan penelitian tindakan kelas, pada penelitian tindakan kelas ini rancangan penelitiannya terdiri atas dua siklus dengan ciri-ciri sebagai berikut:
3.4.1 Tahapan siklus pertama
a) Tahap Perencanaan
Tahap yang dilakukan pada tahap ini antara lain:

1. Peneliti mensosialisasikan tentang model pembelajaran kooperatif tipe Examples Non Examples kepada guru di sekolah.
2. Membuat rencana program pengajaran (RPP).
3. Menyusun format-format instrument penelitian, angket (Quesioner) serta tes hasil belajar siswa.
b) Tahap aksi atau Tindakan
1. Peneliti memperkenalkan tentang model pembelajaran kooperatif tipe Examples Non Examples dan menjelaskan alur-alur kegiatan yang akan dilaksanakan
2. Melaksanakan semua hal yang telah direncanakan pada tahap perencanaan dan melaksanakan kegiatan belajar mengajar di kelas sesuai dengan rencana yang telah dituangkan dalam skenario pembelajaran.
c) Evaluasi
Evaluasi merupakan kegiatan menafsirkan hasil proses pembelajaran. Evaluasi dilakukan untuk mengetahui tingkat pencapaian indikator pembelajaran dan tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan sesuai dengan model pembelajaran yang diterapkan.
d) Tahap Refleksi
Hasil yang diperoleh dari hasil evaluasi belajar siswa disimpulkan secara analisis, sehingga dari hasil tersebut peneliti dapat merefleksi diri dengan melihat data hasil tes tulis maupun tes angket yaitu identifikasi kekurangan, analisis sebab kekurangan dan menentukan perbaikan pada siklus berikutnya.

3.5.1. Siklus II
Tahap siklus kedua ini urutannya sama dengan urutan siklus pertama, akan tetapi umumnya tindakan yang dilakukan pada siklus kedua mempunyai berbagai tambahan perbaikan dari siklus pertama yang tentu saja ditunjukkan untuk memperbaiki berbagai hambatan yang ditemukan dalam siklus pertama.
Tahapan pada Siklus II sama dengan Siklus I yaitu :
1. Perencanaan
2. Pelaksanaan tindakan (implementasi)
3. Evaluasi
4. Analisis dan refleksi

Siklus PTK secara skematis dapat digambarkan sebagai berikut:










Skema : 3.1. Model Penelitian Tindakan Kelas ( Suharsimi, 2007;16 ).
3.5. Populasi dan sampel Penelitian
3.5.1. Populasi Penelitian
Populasi adalah keseluruhan subyek penelitian (Arikunto, 2006). Sedangkan menurut Mardalis (2007), populasi adalah semua individu yang menjadi sumber pengambilan sampel. Pada kenyataannya populasi itu adalah sekumpulan kasus yang perlu memenuhi syarat-syarat tertentu yang berkaitan dengan masalah penelitian. Jadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XI IPA SMA Negeri 1 Empang Tahun Ajaran 2010/2011, dengan jumlah siswa yang tersebar dalam dua kelas yaitu XI IPA1 berjumlah 28 siswa dan XI IPA2 berjumlah 27 siswa.
3.5.2. Sampel Penelitian
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimilki oleh populasi tersebut (Sugiyono, 2009). Selanjutnya, menurut Arikunto (2009) sampel adalah sebagian atau wakil dari populasi yang diteliti. Jadi yang dimaksud dengan sampel dalam penelitian ini adalah sebagian atau wakil dari seluruh siswa/kelas yang diteliti.
Menurut Arikunto (2009), Apabila populasi kurang dari 100 lebih baik diambil semuanya sehingga penelitian merupakan penelitian populasi. Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XI IPA Semester II SMA Negeri 1 Empang Tahun Ajaran 2010/2011, jumlah keseluruhan siswa kelas XI IPA berjumlah 55 siswa. Dengan demikian penelitian ini merupakan penelitian populasi.
Pada penentuan sampel untuk kelas eksperimen dan kelas kontrol dilakukan dengan melihat nilai hasil ulangan harian siswa kelas XI IPA SMA Negeri 1 Empang Tahun Pelajaran 2010/2011 didapatkan persentase ketuntasan belajar untuk kelas XI IPA1 28,57%, dan untuk kelas XI IPA2 37,04%. Dengan demikian sebagai kelas kontrol adalah kelas XI IPA2 dan sebagai kelas eksperimen adalah kelas XI IPA1, karena persentase ketuntasan belajar untuk kelas XI IPA2 lebih besar dari kelas XI IPA1 (37,04%>28,57%).

3.6. Teknik pengumpulan data
Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan metode angket dan pemberian post tes (tes hasil belajar) yang telah diuji coba pada kelas yang lain. Data hasil tes kemudian dianalisis menggunakan statistik uji-t.
Untuk memperoleh data yang valid, reliabel dan dapat dipercaya sehingga akan memberikan hasil yang optimal, maka dalam penelitian ini ditetapkan teknis pengumpulan datanya sebagai berikut :
3.6.1. Angket
Angket merupakan teknit pengupulan data yang palinag efesien bila peneliti tau dengan pasti variable yang akan diukur dan tau apa yang bisa diharapkan dari responden (Sugiyono,2009;199). Dalam penelitian ini penyusunanan angket berdasarkan pada skala Likert dengan standar skala adalah 1 sampai 5.
Setelah ditentukan respondennya maka dilanjutkan dengan membagikan angket. Angket dibagikan kepada responden dengan ketentuan lembar angket dan angket diisi kemudian angket ditarik kembali untuk dilakukan pembahasan.
3.6.2. Tes
Tes adalah serentetan pertanyaan atau latihan serta alat lain yang digunakan untuk mengukur keterampilan, pengetahuan inteligensi, kemampuan atau bakat yang dimiliki oleh individu atau kelompok (Arikunto, 2006).
3.7. Instrument Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih baik, dalam arti lebih cermat, lengkap dan sistematis sehingga lebih mudah diolah (Arikunto, 2006).
3.7.1. Lembar angket
Angket atau (Quisioner) adalah daftar pertanyaan atau pernyataan yang di distribusikan kepada responden baik secara langsung atau tdak langsung (melalui pos atau perantara). (Amirul, dkk.1998;99)


Angket digunakan untuk mendapatkan keterangan dari sampel atau sumber yang beraneka ragam. Selain itu angket juga secara umum meminta keterangan tentang fakta yang diketahui responden atau juga mengenai pendapat atau sikap. (Nasution. S. 2008;128).
Angket dalam penelitian ini yaitu berupa pertanyaan-pertanyaan yang dibuat sedemikian rupa untuk memperoleh data tentang motivasi belajar siswa sebagai pengaruh dari model pembelajaran artikulasi. Angket yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket tertutup, item-item disusun dalam bentuk pernyataan dengan alternatif, jawaban :Jika memilih e diberi skor 1, b diberi skor 2, c diberi skor 3, b diberi skor 4, dan a diberi skor 5.
3.7.2. Soal Tes
Jenis tes yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes tertulis yang terdiri dari 20 item soal yang semuanya adalah pilihan ganda (multiple chois). Soal tes dalam penelitian ini diambil dari materi pelajaran yang telah disampaikan. Instrumen pengumpulan data dalam penelitian ini berupa perangkat tes hasil belajar (THB).
3.7.3 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
Rencana pelaksanaan pembelajaran biasanya lebih efektif dan efisien dalam menyampaikan materi yang akan disampaikan di dalam kelas dimana rencana ini berisi gambaran global dari materi yang akan disampaikan.
3.8. Teknik analisis data
Data yang telah terkumpul dianalisis dengan statistik deskriptif sebagai berikut :
3.8.1. Analisis data angket motivasi dan pengetahuan siswa
Data angket motivasi dapat dianalisis secara kuantitatif dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Tiap-tiap soal memilki item yaitu a, b, c, d, e masing-masing item mempunyai nilai berturut-turut 5, 4, 3, 2, dan 1 denagn menentukan skor penilaian sesuai dengan indikator yang ditetapkan oleh penulis.
b. Berdasarkan skor tertentu dapat dijumlahkan skor total motivasi siswa.
c. Berdasarkan jumlah skor total tersebut dapat ditentukan motivasi siswa apakah termasuk kategori sangat baik, baik, cukup, kurang, sangat kurang.
d. Penetuan motivasi siswa sesuai interval yang telah dibuat, yaitu interval 92-100 termasuk kategori sangat baik, 72-91 termasuk kategori baik, 49-71 termasuk kategori cukup, 25-48 termasuk kategori kurang, 0-24 termasuk kategori sangat kurang.
e. Penentuan tingkat motivasi siswa sesuai dengan interval yang ditentukan.
Rumus analisis angket
Pedoman kriteria penilaian skala 1-5 motivasi siswa terhadap model pembelajaran kooperatif tipe examples non examples.
Pada sekala Likert data interval dapat dianalisis dengan menghitung rata-rata jawaban berdasarkan skor setiap jawaban responden (Sugiyono, 2009;137)
Berdasarkan skor yang telah ditetapkan dapat dihitung sebagai berikut :
jumlah skor yang di peroleh responden
skor ideal (kriterium) seluruh item
Konversi kategori angket motivasi
Selanjutnya kualifikasi motivasi siswa ditentukan berdasarkan pedoman konversi seperti pada tabel 3.1 (Suprijono, 2009) :
Tabel 3.1. Pedoman Konversi Penilaian Skala 1-5 Motivasi Siswa

No Konversi Nilai Kategori Mnat
1
2
3
4
5 92 � 100
72 � 91
49 � 71
25 � 48
0 � 24 Sangat Baik
Baik
Cukup
Kurang
Sangat Kurang


3.8.2. Analisis hasil belajar
Setelah memperoleh data tes hasil belajar, maka data tersebut dianalisis dengan mencari nilai rata-rata, ketuntasan individu dan ketuntasan klasikal. Kemudian dianalisis secara kuantitatif.
Untuk mengetahui ketuntasan belajar siswa digunakan kriteria sebagai berikut :
1. Ketuntasan individu
Hasil belajar siswa ditentukan berdasarkan acuan patokan, skor yang diperoleh siswa melalui tes hasil belajar akan digunakan untuk menentukan ketuntasan individual terhadap indikator yang telah ditetapkan. Ketuntasan individu ditentukan dengan rumus :
N =

Keterangan :

N = Nilai
X = Skor yang dicapai siswa
Z = Skor maksimal


Setiap siswa dalam proses belajar dikatakan tuntas terhadap materi pelajaran yang telah diberikan apabila memperoleh nilai 60.
2. Ketuntasan klasikal
Ketuntasan klasikal dapat dihitung dengan menggunakan persaman sebagai berikut (Sudjana, 2003) :
KK=
Keterangan:
KK = Ketuntasan klasikal
X = Jumlah siswa yang memperoleh nilai 60
Z = Jumlah siswa yang mengikuti tes

Sesuai dengan teknik penilaian, siswa dikatakan tuntas secara klasikal terhadap materi yang telah diajarkan jika mencapai 85% siswa tuntas secara individu.