SEMUA ibu hamil tentu ingin persalinannya lancar dan normal. Sayangnya, kadang-kadang ada yang mengalami komplikasi.
"Komplikasi ini dialami oleh sekitar 20 persen ibu hamil," sergah dr Indah Fauziah SpOG dari RS MH. Thamrin Internasional. Parahnya, hanya kurang dari 10 persen yang tertangani.
Kendalanya adalah tiga terlambat, yaitu terlambat mengenali bahaya, terlambat mengambil keputusan merujuk, dan terlambat memperoleh pelayanan yang optimal di fasilitas rujukan.
Tertinggi: Perdarahan
"Sayangnya sampai saat ini masih banyak calon ibu yang tidak mengetahui apa saja komplikasi persalinan itu dan bagaimana cara mencegahnya," sesalnya. Padahal, sebenarnya komplikasi persalinan pada ibu hamil, sejak dulu tidak banyak berubah, yaitu perdarahan, eklampsia (hipertensi), persalinan yang lama, dan infeksi.
Perdarahan bertanggung jawab atas sekitar 28 persen kematian ibu. Eklampsia (kejang akibat hipertensi) merupakan penyebab nomor dua, yaitu sebanyak 13 persen kematian ibu. "Sesungguhnya kematian karena eklampsia dapat dicegah dengan asuhan antenatal yang baik," ungkapnya.
Lebih lanjut dokter lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini menjelaskan, penyebab kematian ibu lainnya adalah infeksi, yang menjadi kontributor 10 persen kematian ibu. Sebetulnya infeksi dapat dicegah dengan melakukan pertolongan persalinan bersih dan perawatan nifas yang baik. Sedangkan persalinan lama berkontribusi sekitar 9 persen atas kematian ibu di Indonesia.
Besar kecilnya risiko terkena komplikasi dipengaruhi oleh usia, jumlah kehamilan yang sudah dialami (paritas), dan jarak waktu persalinan. Risiko ini dipengaruhi pula oleh kesehatan si ibu, status gizi, dan fasilitas kesehatan yang tersedia.
Perdarahan Pascapersalinan
Setelah persalinan pun seringkali ibu akan mengalami pendarahan. Menurut dokter kelahiran Jakarta, 2 April 1977 ini, penyebab tersering perdarahan pascapersalinan adalah atonia. Atonia adalah kegagalan rahim untuk berkontraksi segera setelah bayi dilahirkan. Pada kehamilan cukup bulan, kecepatan aliran darah yang masuk ke rahim adalah 450cc/menit. Sehingga bila perdarahan ini tidak cepat ditangani, dapat mengakibatkan kematian ibu dalam 10-15 menit persalinan akibat kehabisan darah.
Banyak faktor yang dapat menyebabkan atonia rahim, antara lain peregangan rahim berlebihan. "Misalnya pada kehamilan kembar dan kehamilan dengan ketuban yang sangat banyak, kelahiran lebih dari lima kali, persalinan yang sangat cepat, dan kekurangan kalsium. Ingat kalsium sangat penting untuk kontraksi. Sisa plasenta dan gumpalan darah yang tertinggal dalam rahim, serta obat-obatan, seperti magnesium sulfat. Dan biasanya jika terjadi atonia, ibu akan diberikan obat-obatan untuk menimbulkan kontraksi. Seperti oksitosin, prostaglandin, atau ergonovine. Bila ini tidak berhasil maka akan dilakukan pengikatan pembuluh darah yang menuju ke rahim. Dan terakhir dapat dilakukan pengangkatan rahim bila cara-cara tadi tidak mampu menghentikan perdarahan," paparnya panjang lebar.
Penyebab perdarahan pascapersalinan lainnya adalah retensio plasenta (plasenta tertahan) yang derajatnya bervariasi dari mulai kegagalan plasenta untuk lahir spontan sampai dengan plasenta akreta (menembus otot rahim). Bila terdapat sisa bagian plasenta, maka penolong persalinan akan melakukan eksplorasi ke dalam rahim untuk mengeluarkan sisa plasenta tersebut, atau melakukan kuret. Risiko terjadinya plasenta akreta meningkat pada ibu dengan riwayat operasi cesar sebelumnya.
"Bila terjadi plasenta akreta, untuk menghentikan perdarahan akan dilakukan pengangkatan rahim," terangnya.
Menurut dr Indah, perdarahan pascapersalinan juga dapat disebabkan oleh robekan jalan lahir (vagina, serviks) yang dapat terjadi pada persalinan pervaginam yang berlangsung sangat cepat atau persalinan dengan bantuan alat (vakum atau forceps). Robekan bahkan bisa terjadi pada rahim, risiko lebih tinggi pada ibu dengan riwayat cesar pada kehamilan sebelumnya, bayi besar, dan persalinan dengan induksi yang tidak terpantau. Pada ibu dengan riwayat cesar pada kehamilan sebelumnya, pengawasan antenatal dan persalinan harus dilakukan oleh dokter kandungan.
Kejang Eklampsia
Kejang bisa terjadi terjadi pada pasien dengan tekanan darah tinggi (hipertensi) yang tidak terkontrol saat persalinan. Hipertensi dapat terjadi karena kehamilan, dan akan kembali normal bila kehamilan sudah berakhir. Namun ada juga yang tidak kembali normal setelah bayi lahir. Kondisi ini akan menjadi lebih berat bila hipertensi sudah diderita ibu sebelum hamil.
"Sayangnya sampai saat ini belum diketahui penyebab hipertensi pada kehamilan. Namun risikonya meningkat pada ibu berusia kurang dari 20 dan lebih dari 35 tahun, ibu dengan riwayat penyakit ginjal, diabetes, SLE, gizi buruk, dan sosial-ekonomi yang rendah. Semakin dini usia kehamilan saat hipertensi muncul, semakin besar risiko yang dihadapi ibu," kata pehobi traveling ini.
Pada ibu dengan hipertensi, pengawasan antenatal harus dilakukan oleh dokter. Ibu akan diberikan obat penurun tekanan darah dan pencegah kejang (magnesium sulfat) saat menjelang persalinan. Bila tekanan darah terkontrol, maka persalinan dapat dilakukan normal. Namun bila pada saat bayi akan lahir, tekanan darah menjadi tidak terkontrol, persalinan akan dipercepat dengan alat (forceps atau vakum).
"Untuk tindakan operasi cesar akan dipertimbangkan bila bayi harus segera dilahirkan untuk menyelamatkan nyawa ibu atau bayi, atau bila ada penyulit untuk lahir melalui vagina," imbuhnya.
Infeksi Pascapersalinan
Dr Indah menghimbau agar ibu hamil mewaspadai infeksi yang terjadi pada organ reproduksi setelah persalinan. Biasanya terjadi 3-4 hari setelah persalinan.
Kuman yang paling sering menyebabkan infeksi adalah Gardnerella vaginalis, Streptokokkus grup B, Escherichia coli, Bacteroides, dan Mycoplasma. Gejala yang timbul adalah demam, nyeri di perut bawah dan kemaluan serta lokhia (darah nifas) yang berbau, yang dapat disertai mual dan muntah.
"Faktor risiko terjadinya infeksi adalah, ketuban pecah dini, pemeriksaan dalam terlalu sering saat persalinan, operasi cesar pada ibu dengan persalinan lama ataupun terhambat, robekan pada jalan lahir (serviks atau vagina), anemia atau kurang gizi," paparnya panjang lebar.
Untuk mencengah terjadinya infeksi, sebaiknya ibu hamil melakukan pembatasan pemeriksaan dalam, dan lakukan dengan sarung tangan yang steril. Pada ibu dengan risiko tinggi infeksi yang akan menjalani operasi cesar, berikan antibiotika 1 kali sebelum dan 1 kali setelah operasi.
"Jika terjadi infeksi pasca persalinan, dokter akan memberikan cairan infus, antibiotika dan obat-obatan untuk merangsang kontraksi rahim. Bila infeksi sangat berat, perawatan akan dilakukan di unit perawatan intensif," imbuh dr Indah.